Share

Bab 5. Puaskan Semua Pria yang Memesanmu!

Amira masih mengekspor villa sederhana ini seiring mencoba merapihkannya dan membersihkan debu-debu tipis di beberapa tempat. Namun, kini Fatma kembali menyusup ke dalam ingatannya. Panggilan disambungkan lewat telepon yang terpasang di rumah. “Ma, maaf Ami belum bisa pulang ....” Gadis ini bertindak sebagaimana seorang anak penurut.

“Sudah, tidak perlu pulang!” larang Fatma yang mengira jika hari ini Amira sudah tidak memiliki kesucaian, sedangkan dirinya berhasil mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta dari madam.

“Maaf Ami buat Mama cemas ...,” tulus seorang gadis berusia delapan belas tahun ini.

“Tidak, tidak sama sekali. Lebih baik malam ini kamu minta pada madam untuk membiarkanmu disewa!” Frontal Fatma.

Dahi Amira berkerut dalam. “Disewa bagaimana, Ma?”

“Astaga ..., kamu sudah melakukannya semalam dengan seorang pria. Lakukan lagi!”

Seketika, kalimat Fatma membuat tubuh Amira bergetar hebat. ‘Apa benar mama menjualku?’

Fatma kembali berkata, “Lakukan yang benar, puaskan semua pria yang memesanmu. Dengan cara itu hidupmu akan lebih baik!” Wanita ini dijanjikan uang sepuluh juta oleh madam-wanita yang tidak diketahui nama aslinya, dirinya juga dijanjikan bahwa putrinya akan menadapatkan hidup lebih layak karena pemesan akan memberikan tips saat service yang diberikan melebihi ekspektasi, bahkan beberapa wanita sudah memiliki aset pribadi dari hasil menjual diri.

Selama ini kehidupan Fatma dan Bagas hanya berada di lingkaran kesederhanaan. Fatma membawa seorang putri dari pernikahan sebelumnya. Setelah Bagas tiada, kehidupan mereka semakin terpuruk maka tidak ada alasan memelihara Amira. Jadi, dengan teganya Fatma menjual anak tirinya pada madam.

Tut ....

Panggilan terputus begitu saja, bukan oleh Amira, tapi Fatma yang melakukannya. Sementara, gadis ini terkulai lemas, memikirkan sikap ibunya yang di luar dugaannya. “Ami bukan wanita jalang Ma ..., kenapa Mama menjual Ami ...,” ringisannya saat dadanya seakan ditusuk ribuan duri.

Niatnya untuk kembali segera kandas, tetapi dia juga tidak bisa jika harus berada di dalam rumah orang asing terus menerus. Maka, Amira memutuskan pergi menggunakan gaun yang ditimpa dengan kemeja supaya dirinya tidak berkeliaran dengan pakaian terbuka.

Namun, entah kemana tujuan Amira. Kini, langkahnya sudah tertatih walaupun baru saja menyapa halaman. “Aku tidak punya uang sama sekali, aku juga tidak punya tempat tujuan ...,” lirihnya.

Bayangan sang ayah menelusup. Bagas pernah berpesan sebelum akhirnya embusan napas terakhir dibuang, “Nak, jika Papa sudah tidak ada jaga mama dan adikmu walau mamamu bukan yang melahirkanmu dan walaupun adik perempuanmu tidak memiliki aliran darah yang sama.”

“Ami janji akan menjaga mama dan Tasya,” ucap tanpa keraguan Amira setahun sebelum ayahnya meninggal, tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun. Jadi, saat kawan-kawannya berbangga diri karena menginjak usia dewasa awal, justru Amira harus kehilangan sang ayah hingga satu tahun berikutnya dirinya hanya tinggal bersama Fatma dan Tasya-adiknya yang berbeda satu tahun.

Sepeninggalan sang ayah, sikap Fatma memang berubah perlahan. Tidak ada senyuman sama sekali padahal sebelum Bagas tiada, wanita ini masih bisa membentuk senyuman pada Amira walaupun hanya di hadapan suaminya saja. Amira memang tetap diperlakukan manusiawi hanya saja setahun ke belakang dirinya sering diabaikan atau kalaupun diajak bicara, Fatma hanya membanding-bandingkan Amira dan Tasya.

Namun, bagaimanapun sikap Fatma, Amira tidak pernah ambil hati toh semua ucapannya benar. Sejak lulus sekolah menengah atas dirinya belum bisa mendapatkan pekerjaan, maka keuangan keluarga sepenuhnya ditanggung Fatma, sedangkan Tasya sudah bisa menghasilkan uang walaupun masih di bangku sekolah menengah atas, gadis itu memiliki bakat menyanyi, dia memanfaatkan sosial media dan jalan mulus yang dibukakan pihak sekolah untuk mewadahi bakatnya.

“Nak Ami ...,” sapa tetangga yang sedang melihat Amira termenung. Dirinya bukanlah wanita muda, usianya sudah sekitar lima puluh lima tahun.

Segera, indera pendengaran Amira menerima gelombang suara tidak asing itu. Maka, lehernya menoleh cukup cepat. “Iya, Bu ...,” ramah nan hangatnya.

“Nak Ami tidak ada teman ya karena Nak Erzhan pergi ke kantor? Kebetulan ibu juga selalu sendiri jika suami sedang pergi ke kantor,” kekeh hangat nan lembutnya.

Amira tersenyum kecil karena niatnya meninggalkan rumah telah sirna, hatinya memenuhi panggilan alam jika dirinya harus menemani tetangga yang telah berbaik hati ini. “Mau Ami temani?”

***

Tengah hari Erzhan kembali, tetapi lagi-lagi dia dikagetkan oleh Amira. “Dress punya siapa yang kamu pakai?” selidiknya seiring memandangi kaki bersinar Amira karena saking mulusnya.

“Ini dari tetangga, katanya dress yang sudah tidak dipakai anaknya.” Senyuman cerah Amira saat melebarkan sedikit roknya hingga pahanya sedikit terekspos. Dress yang dipakainya cukup sopan karena memiliki panjang di bawah lutut.

“Astaga ....” Erzhan mendudukan dirinya di atas sofa, “duduklah!” titahnya pada Amira. Seketika, gadis ini patuh karena dirinya sangat tahu diri telah menumpang berteduh di kediaman si pria.

“Ada apa, apa aku melakukan kesalahan?” tanya polos Amira.

“Tidak.” Erzhan menjeda dua detik, “maksudku, kamu tidak pernah melakukan kebenaran jadi kesalahan kamu tidak terhitung!” Erzhan membuang wajahnya sesaat. Selama ini dirinya hidup dengan misterius di daerah ini, tetapi saat memasukan Amira seakan perlahan privasinya digerogoti kelakuan di luar nalar si gadis.

“Maaf ... aku ....” Kalimat Amira terjeda karena Erzhan mengangkat jari telunjuknya di atas permukaan bibirnya, tetapi tidak bernada sama sekali.

“Apa kamu tetap berniat pulang?” pertanyaan ini tiba-tiba saja meluncur. Maka, Amira dibuat bergeming sendu. Wajahnya menunduk pilu hingga Erzhan mampu membaca jika gadis polos di hadapannya mulai mengerti keadaan. Sebelum mendapatkan jawaban, pria ini melanjutkan kalimatnya, “jadilah pacarku walau hanya pura-pura.”

Seketika, wajah Amira terangkat kaget, “Heuh!”

Saat ini Erzhan memasang tatapan membidik. “Aku akan membayarmu setiap kali kamu mau dikenalkan pada keluargaku. Kamu juga bisa tinggal di sini sesuka hati.”

Amira membelalak, mata indahnya berubah bulat, tetapi justru membuatnya semakin hidup, seolah dirinya adalah sosok yang keluar dari lukisan. Wajahnya lebih memersona dan memancar hingga membuat Erzhan berpikir dirinya tidak salah memilih target. “Ta-tapi ..., mana bisa aku pura-pura jadi pacar Anda.” Sebagai gadis lugu, tentu saja jawaban ini normal.

“Erzhan. Itu namaku!” Pria berperawakan atletis ini mulai memperkenalkan dirinya. Namun, bibir Amira mengatup seolah tidak peduli pada jati diri si pria.

“Tapi ... aku tidak mau ....”

“Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu.” Tatapan Erzhan mengkilatkan sebuah ketulusan karena dirinya memang tidak berselera pada daun muda seperti ini, baginya ini terlalu muda, tidak menantang sama sekali.

“Tapi ....”

Lagi, Erzhan memotong kalimat Amira, “Semua biaya hidup kamu, aku yang tanggung. Bahkan rumah ini bisa kamu tinggali hingga kamu bosan.”

“Aku kan belum mengatakan dengan tegas setuju atau tidak, tapi Anda selalu menawarkan ini dan itu seolah aku harus setuju!” Suara Amira mulai lantang karena sejak tadi seolah Erzhan tidak memberinya kesempatan untuk memberikan jawaban atas tawarannya yang mendekati perintah di ruang dengar Amira.

“Waw, kamu bisa marah. Hm ....” Erzhan mulai menggoda, dagu indah Amira disentuh sensual hingga wajah si gadis terangkat. ‘Apa sosok kedewasaanmu mulai tumbuh, honey!’ Jika benar, maka Erzhan mulai berpikir ulang tentang daun muda yang tadinya tidak membuatnya berselera.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status