Sebelum belanja kami makan bersama di tempat makan yang menyediakan masakan padang. Entah mengapa aku ingin sekali makanan itu. Mungkin, ini yang dinamakan mengidam.
Bukan hal baru lagi ketika ada orang yang memandang kehamilanku lalu saling berbisik. Aku sudah tak memedulikan hal itu lagi. Yang terpenting saat ini aku berusaha memperbaiki diri agar lebih baik lagi.Usai makan kami lantas menuju ke swalayan yang cukup besar di kota kami. Ibu membawaku baik ke lantai dua. Ibu hendak membelikanku beberapa baju karena memang kebanyakan baju yang aku miliki mulai tidak muat. Terutama pada bagian perut.Ketika melewati deretan gamis, aku berhenti. Ada perasaan ingin merubah diri. “Mir, ada apa? Kamu mau?” Ibu bertanya padaku.Perlahan aku mengangguk. Ibu memintaku untung mengambil sebuah gamis berwarna merah muda dan mencobanya.“Masha Allah, kamu cantik sekali, Mir.” Aku memandang diri pada cermin. Memang kelihatan s“Mbak ini siapa, ya?” Aku memandang wanita yang tak pernah sekali pun kutemui itu. Wanita cantik dengan wajah dan badan yang tampak terawat.“Saya, Sandra. Ibunya Mira.” Entah dari mana wanita itu tahu alamat kami.Aku juga tak bisa memercayainya begitu saja. Mas Doni tak pernah membicarakannya. Dia hanya mengatakan tak tahu di mana keberadaan ibunya Mira.“Mbak, bolehkan saya bertemu Mira?” Wanita itu kembali bertanya.Belum sempat aku menjawab, Mira sudah menghampiri kami. Sandra jalan begitu saja melewatiku dan memeluk Mira.Gadis itu tampak bingung. Dia memandangku, dengan mengangkat kedua alisnya, aku tahu maksud gadis itu. Aku menjawab dengan menggeleng.Mira melepaskan pelukan wanita yang mengaku bernama Sandra. Dia lantas memandang wanita di hadapannya. “Maaf, Ibu siapa, ya?”Sebelum mendengar jawaban wanita itu, aku terlebih dahulu memintanya untuk duduk di ruang tamu. Rasanya tid
Setibanya di dapur, gegas aku menghapus air mata. Tak tahan melihat mereka. Sungguh menyedihkan. Hanya karena keadaan keduanya terpisah. Setelah sedikit lega, aku membuatkan teh hangat untuk wanita itu lalu kembali ke depan. “Silakan diminum, Mbak.” Aku meletakan cangkir ke atas meja lantas duduk di sofa yang berbeda dengan Mira. Sengaja aku melakukannya agar mereka memiliki sedikit ruang untuk melepas rindu. “Ibu tahu Mira ada di sini dari mana?” Sandra memandangku dan Mira bergantian. “Suami Ibu.” Sandra menjelaskan kalau suaminya ikut menangani kasus Mira. “Dari suami ibu pula, ibu tahu keadaanmu, Mir.” Aku terbelalak mendengar penjelasan wanita itu. Berarti selama ini keluarga Sandra dekat dengan kami. “Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, nama suami Mbak siapa?” Aku coba memberanikan diri untuk bertanya daripada penasaran. “Yuda.” Deg! Lagi-lagi wanita itu mengejutkanku. Ternyata suami wanita itu tak lain adalah teman Mas Doni sendiri. Harusnya dia tahu keberadaan ibunya Mira. En
Bukan Sandra yang keluar dari mobil, tapi Pak Yuda. Pria itu keluar lalu membuka pintu di sebelah kemudi. Aku begitu terkejut ketika dia membantu Mas Doni turun. Entah apa yang terjadi pada suamiku itu. Aku segera berlari mendekat. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Celana yang dikenakan Mas Doni robek. Ada noda darah di sana. “Bu Santi, biar saya jelaskan di dalam,” kata Pal Yuda. Pria itu memapah Mas Doni masuk. Ketika hendak menyusul, mobil lain memasuki halaman. Mobil Mas Doni. “San.” Ternyata Sandra yang mengemudikan mobil Mas Doni. Aku langsung mempersilakannya untuk masuk. “Terima kasih, San, tapi kami mau langsung pulang. Sudah malam, Doni juga butuh istirahat.” Bersamaan itu, Pak Yuda juga keluar. Mereka langsung pamit pulang. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih pada mereka. Usai mengantar kepergian mereka, bergegas aku masuk untuk melihat kondisi Mas Doni. Pria itu sudah ada di kamar dengan Mira berada di kamarnya. “Papa kenapa?” tanya gadis itu. “Papa
Suasana seketika berubah menjadi panik. Mira tergolek di lantai dengan tangan yang berlumuran darah. Gadis itu melakukan apa yang tak seharusnya dilakukannya. Pak Yuda segera mengecek keadaan Mira. Sedangkan aku hanya bisa termangu melihat kondisi gadis itu. Rasa takut menyelimuti diri. Sandra tak henti-hentinya menangis. Dia merutuki diri karena telah meninggalkannya. “Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang Mas Doni dan Pak Yuda menggendong tubuh Mira keluar. Aku segera mendahului mereka untuk menyiapkan mobil. “San, kamu duduk di belakang. Biar aku yang mengemudikan mobil.” Aku memenuhi permintaan Mas Doni. Aku naik di jok belakang, setelahnya Mas Doni dan Pak Yuda memasukkan Mira. Aku meletakan kepala gadis itu dalam pangkuan. “Aku ikut,” pinta Sandra. Pak Yuda lantas meminta istrinya untuk masuk ke mobil mereka. Mereka berdua mengikuti di belakang kami. Aku memandang wajah Mira. Pucat. Rasanya ngilu ketika melihat darah di tangannya. Entah apa ya
“San, kami jangan khawatir. Aku akan mengurus segalanya." Mendengar Mas Doni akan mengurus masalah Zaka, aku merasa tenang. Tentunya, dia akan mengurus pria yang mengancam Mira itu bersama Pak Yuda. Aku kembali melakukan aktivitas walau pikiran masih tak tenang. Mengingat stok bahan makanan di dalam kulkas menipis, aku keluar untuk berbelanja di warung yang berada tak jauh dari rumah. Shakira juga kebetulan sedang tidur. Jadi, tak masalah bila aku meninggalkannya sebentar. “Bu Santi katanya, Mira anu, ya?” Ketika keluar rumah banyak pertanyaan yang aku dapatkan dari para tetangga. Hal itu membuatku jengah. Beberapa dari mereka menyalahkan Mira. Mereka menganggap gadis itu terlalu liar. Beberapa juga menyalahkan orang tuanya yang kurang menjaga. “Bu Santi, katanya Mira coba bunuh diri, ya?” Perkataan Bu Devi membuatku terkejut. Entah dari mana wanita itu tahu. Dengan tatapan mata masih tertuju pada sayuran yang sudah mulai layu, aku menjawab pertanyaan wanita itu. “Tahu dari mana
Suasana seketika berubah hening. Sandra yang baru saja mendapat panggilan telepon justru kembali pada posisinya. Aku yang penasaran, menghampiri wanita itu dan bertanya, “San, apa yang terjadi?” Wanita itu menghela napas berat. “Mereka sudah mendapatkan Zaka. Pria itu mengakui apa yang sudah dilakukannya.” “Terus bagaimana keadaan Mas Doni? Aku tadi tak sengaja mendengar kamu menyebut namanya?’ Aku berbicara pelan, takut Mira akan mendengar. “Doni dan suamiku sedang mengurus segalanya. Kamu istirahat saja.” Sandra memejamkan matanya. Aku masih belum bisa tenang, bila belum melihat Mas Doni pulang dengan selamat. Aku lantas duduk di kursi yang ada di samping ranjang Mira. Karena memang aku belum bisa memejamkan mata. Pandanganku tertuju pada Mira. Gadis malang yang terjerumus dalam tak keberdayaan. Sesekali aku melihat ponsel. Menanti kabar Mas Doni. Aku sempat menghubungi, tapi ponsel pria itu mati. Bisa jadi kehabisan baterai. Malam itu, aku merasa begitu panjang. Beberapa ka
Pagi menjelang siang, aku duduk di ruang tamu, karena semua pekerjaanku telah beres, belum waktunya juga untuk menjemput Shakira. Jadi tak ada salahnya untuk duduk leha-leha sebentar. Suasana rumah sangat sepi waktu itu, Mira juga sedang izin sebentar untuk membeli sesuatu di mini market yang berada tak jauh dari rumah. Akhirnya untuk melepas sepi, aku memilih menyalakan televisi. Mencari acara reality show. Lama-lama, aku merasa bosan. Hingga aku memutuskan untuk keluar.Aku memandang bunga-bunga yang ada di halaman. Semua masih terlihat rapi dan cantik. Tidak ingin tinggal diam, aku mengambil pot-pot kosong yang berada tak jauh dariku. “Bu.” Baru saja hendak memasukkan tanah ke dalam pot, Mira memanggil. Gadis itu berdiri tak jauh dariku dengan tangan kanan memegang kantong berwarna putih dengan logo mini market tempat dia berbelanja.“Mir, kamu sudah pulang?”Mira menjawab pertanyaanku dengan anggukan.“Bu, ada yang ingin Mira Biracakan.”“Bicaralah,” jawabku seraya memasukkan t
“Mas, nanti malam kamu mau aku masakin apa?” “Terserah kamu aja.” Aku meraih tas yang dipegang wanita yang disebut istri itu. Dia memang istriku, tapi tidak dengan hati ini. Tak ada tempat untuknya. Pernikahan kami sudah menginjak usia satu tahun, tapi tetap saja tak ada rasa di hati. Dulu, aku sempat menolak ketika Mama Sandra, ibu angkatku, meminta untuk menikahi putrinya. Wanita bernama Mira saat itu sedang mengandung, dengan status masih gadis. Wanita yang sudah merawat hingga aku dewasa itu mengiba, memintaku untuk menolongnya sebagai ganti atas apa yang selama ini dia lakukan padaku. Wanita itu juga mengatakan, seiring berjalanya waktu rasa cinta akan datang dengan sendirinya. Nyatanya tidak. Akhirnya aku menyetujui permintaan mama angkatku. Kami menikah ketika janin dalam kandungannya sudah tumbuh menjadi bocah kecil berusia satu tahun. “Papa.” Bocah dalam gendongan Mira merentangkan tangan padaku. Aku meraihnya. Sejenak aku menggendong bocah yang bernasib sepertiku tak me