Adit terhuyung beberapa langkah ke belakang sambil memegangi sudut bibir-nya yang luar biasa nyut-nyutan. Daffin terus maju meraih kerah Adit dan kembali melancarkan sebuah pukulan tanpa melepaskan cengkramannya pada kerah Adit. Tangan Adit mengepal erat ingin membalas namun serangan Daffin yang tiba-tiba menyebabkan fungsi alat geraknya tak bisa bergerak sesuai dengan kehendaknya.
“Woi, gue senior lo bangsat!” Protes Adit mendorong Daffin sekuat tenaga kemudian meludahkan darah dari mulutnya.
Daffin termundur namun tetap tak melepaskan cengkraman tangannya pada Adit. Daffin menoleh dan melihat Serena yang telah melompat turun dari mobil menatapnya dengan pandangan khawatir. Perempuan itu mendekat lurus pada Adit untuk memastikan kondisinya.
Adit menyeringai hingga terlihat darah yang telah menghiasi giginya. “Kasih tahu si culun ini—”
Plak!
Satu tamparan Serena tambahkan di pipi kanan Adit membuat kepala cowok itu ter
“Gue enggak mau ada adegan jambak-jambakan, ya.” Daffin memperingatkan sambil berbisik.“Ssstt, tenang aja gue cinta damai kok. Lagipula cantikan gue ke mana-mana kali.” Balas Serena juga berbisik kemudian beralih memperhatikan dua orang di sana. Pada laki-laki tinggi yang digandeng itu Serena merasa tak asing.“Hey, Daffin, apa kabar?” Gadis cantik itu mengulang kembali pertanyaan sebelumnya.“Hm? Baik.” Lalu Daffin melirik laki-laki yang digandeng. “Gue enggak akan tanya balik karena lo berdua kelihatan sangat baik-baik saja.”Gadis itu mempertahankan senyumnya mencoba tetap menggunakan nada bersahabat. “Ini siapa? Cewek lo yang sekarang?”Serena langsung memoleskan senyum manisnya tapi tak menjawab, ia ingin mendengar seperti apa jawaban Daffin.“Kelihatannya gimana? Seperti yang lo tahu, gue bukan tipe orang yang suka jalan sama pasangan orang lain.”
Mendapat tawaran untuk mengunjungi rumah Daffin tentu tidak akan Serena lewatkan begitu saja. Sejak awal Serena memang sudah berencana untuk ikut pulang ke tempat Daffin, bukan ke apartementnya sendiri. Ia juga sudah menyiapkan seribu alasan agar laki-laki itu mau membawanya pulang, tapi ternyata Daffin sendiri yang mengajaknya duluan.Itu berarti setidaknya Daffin sudah mulai menggulung jarak yang sedari awal dia bentangkan. Serena tak bisa menyembunyikan senyumnya selama perjalanan. Walau kemudian agak sedikit terkejut ketika sampai di tempat tujuan."Lo seriusan tinggal di sini?"Daffin mendelik. "Apa? Sebuah tindak kriminal kalau mahasiswa tinggal di kost-kostan?""No, bukan gitu. It's odd in a weird way.""Justru yang lebih aneh itu kalau ada mahasiswa tinggal di apartement mewah.""Itu sindiran?"Daffin mengangkat bahunya. "Khusus buat lo enggak aneh, karena bokap lo Ragnala Wijaya." Sahutnya dengan
Mau tahu alasan kenapa Daffin tidak bisa terima saat Serena mengatakan ingin tidur di tempatnya? Karena di dalam ruangan ini, pertahanan terakhir Daffin hanyalah dirinya sendiri. Dan laki-laki itu tak bisa percaya dengan dirinya sendiri. Daffin memulai ciumannya dengan sedikit hentakan sampai Serena terdorong sedikit ke belakang. Gadis itu cukup terkejut hingga tangannya mencengkram erat-erat lengan Daffin. Jari-jari lentik Serena mulai naik menyusuri rahang Daffin dan berakhir di surai laki-lakinya. Serena menyukai sensasi pahit kopi yang menguar begitu saja ketika ia membalas lumatan Daffin. Satu lengan Daffin turun, memeluk pinggang ramping Serena agar makin rapat padanya. Serena mengerti, dalam satu gerakan ia berpindah ke pangkuan Daffin. Hoodie cokelatnya yang hanya menutupi setengah paha makin tersingkap karena posisi yang Serena ambil. Daffin mengelus punggung Serena lembut bersamaan dengan lidahnya yang mulai ikut bermain. Serena mengerang pelan karena lidah mereka yan
Dengan diselimuti cahaya matahari tipis yang menyeruak dari sela jendela, Serena memperhatikan Daffin yang sedang menunggu kopinya dari mesin kopi. Gadis itu menopang kepalanya dengan sebelah tangan tetap pada posisi berbaring menyebabkan kain selimut sedikit jatuh memperlihatkan pundak mulusnya. "Kenapa lo suka kopi?" Daffin berdiri di sana sambil berkacak pinggang dan shirtless. Tubuh Daffin bagus dan cukup, otot-ototnya tercetak samar. Ah, Serena ingin melihat pemandangan seperti ini setiap pagi. "Kenapa gue enggak boleh suka kopi?" Tanya Daffin balik tanpa beralih. "Kalau-kalau lo enggak tahu, cuma ada yang namanya question and answer. Enggak ada konsepnya question and question. Enggak ada yang lebih menyebalkan dari pertanyaan yang juga dijawab dengan pertanyaan." Daffin tersenyum tipis lalu menoleh kemudian meninggalkan mesin kopinya dan berpindah menjejakan tubuh ke pinggir ranjang menghampiri Serena. Tangannya
"Lo masih mau di sini?"Tanya Daffin ketika malam ini Serena keluar dari kamar mandi masih dengan mengenakan hoodie miliknya yang berwarna biru navy. Tak sedikit pun menunjukan tanda-tanda ingin pergi dari kamar kostan milik Daffin.Tapi Serena tak menanggapi hanya melirik pada Daffin yang berada di depan komputer sekilas. Ia lebih memilih untuk fokus mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan handuk."Ck, lo enggak punya hair dryer apa?" Tanya Serena agak sebal karena tangannya mulai lelah mengusap kepala dengan handuk agar rambutnya kering."Rambut gue enggak sepanjang itu sampai butuh pengering rambut." Daffin menyentuh helai rambutnya sendiri yang sudah hampir kering padahal laki-laki itu juga membasahi rambut saat mandi tadi."Okay, besok gue beli satu buat ditaruh di sini."Daffin hanya melengos pelan terlalu malas untuk mendebat hal remeh seperti ini.Akhirnya Serena menyerah. Tangannya sudah pegal dan rambutnya
Mendengar istilah incest langsung membuat hati Serena terasa mencelos seketika. Dadanya terasa sesak. Walaupun tidak sepenuhnya benar, kata itu entah kenapa terdengar sangat menjijikan di telinganya. Tapi sudah terlanjur terucap, Serena berusaha kembali mengais keberaniannya untuk bercerita.“Gue boleh tanya?”Serena menatap pada Bianca sesaat sebelum mengangguk pelan.“Sejak kapan?”“Entah sejak kapan. Tapi gue udah bareng Galendra dari kecil. Ya semuanya berjalan gitu aja, until we realized that we—” Serena melanjutkan dengan suara pelan. “—Loved each other.”Sarah mengulum bibirnya kuat-kuat, dia terlalu bingung hingga sulit sekali kepalanya untuk menyusun kata-kata.Di mata Sarah dan Bianca, dua kakak beradik itu hanya terlihat sebagai kakak-adik biasa yang saling menyayangi. Ternyata rasa itu bukan sekedar rasa sayang untuk saudara. Bahkan Serena terang-terangan menggoda banyak laki-laki. Jadi bagaimana bisa?“Jadi ini alasan selama ini lo enggak pernah mau punya pacar.” Sarah me
Serena sadar bahwa ia harus bicara dengan Galendra secepatnya. Sayangnya Serena masih belum bisa mempercayai dirinya sendiri. Masalah terbesarnya adalah Galendra yang sama sekali tak merubah pandangannya pada Serena. Sebenarnya kenapa? Kenapa Serena harus terlibat dengan masalah perasaan tak berujung begini? Memang seharusnya ia tidak usah memulai sejak awal. “Woy! Capek banget gue ngomong lo-nya malah bengong.” Daffin membanting pelan kertas di gengganan tangannya. Serena agak mengerjap kaget kemudian melengos pelan. “Berarti penjelasan lo yang terlalu membosankan.” “Yaudah lo kerjain aja sendiri!” Sudah seperti kutukan baginya, Serena memang tidak pernah berhasil mengerjakan proyek bersama karena pendapat yang selalu berbeda. Musyawarahnya tak pernah bisa mencapai kata mufakat. Begitu juga dengan tugas kelompok kali ini walaupun partnernya adalah Daffin. “Yaudah enggak usah ngumpul.” Saran Serena kemudian. Paling benar harusnya ia tidak usah mengambil kelasnya Galendra, mengulan
Biasanya setiap orang itu selalu menantikan kebersamaan dalam keluarga. Tanpa terkecuali mereka yang juga mempunyai tittle broken home. Tapi sejak beranjak remaja dan mengerti tentang banyak hal, Serena tak lagi mendambakan sebuah kebahagiaan dalam keluarga meskipun hubungan antara ayah dan ibunya baik-baik saja. Hubungan Serena dengan orang tuanya juga tak bermasalah. Sebagai salah satu keluarga konglomerat, keluarga Wijaya terkenal sebagai keluarga yang harmonis bersih tanpa skandal apa pun—setidaknya terlihat begitu dari luar. Serena mencemooh diri sendiri dalam hati. Bisa-bisanya ia melangkahkan kakinya sendiri menuju acara makan malam keluarganya kali ini. Alasan terbesarnya adalah karena tidak mau terlibat adegan seret-menyeret antara ibu dan anak. Tapi ketika melihat sosok pasangan yang baru menikah beberapa waktu lalu di seberang sana, Serena merasa adegan seret menyeret akan jauh lebih baik. Pandangan Serena tak sengaja bertubrukan dengan Cath. Gadis itu langsung memutar kep