"Sudah lama aku nggak menginjakkan kaki di Jakarta, ternyata ada yang nggak berubah juga. Hmm!" ujar Emmy menatap lautan kendaraan bermotor bagaikan sekumpulan cendol di minuman favoritnya; es cendol.
William tertawa mendengar perkataan sarkastik gadis mungil di sampingnya dalam taksi yang terjebak kemacetan lalu lintas kota metropolitan. "Welcome to Jekardah, Emmy!" tukasnya.
"Om William aslinya mana sih? Bule blasteran 'kan, Om?" tanya Emmy terkesan kepo.
"Aku kelahiran Birmingham, Inggris. Papaku asli sana, mama yang orang Indonesia. Sejak usia tiga tahun, aku dibawa menetap di Jakarta jadi fasih berbahasa Indonesia begini sekalipun juga setiap hari masih ngomong pake bahasa Inggris terkait pekerjaanku," tutur William santai seolah tak keberatan dengan keingin tahuan gadis belia itu tentang asal usulnya.
Emmy pun ber-oh beberapa kali. Dia mencerna setiap patah kata William dengan baik karena terbiasa mengikuti kuliah yang sulit di Harvard University, Massachussets. Sementara itu taksi kembali melaju usai kemacetan lalu lintas terurai.
"Kalau kamu gimana, Emmy? Om juga pengin denger dong tentang keluarga kamu," ujar William menatap gadis itu dengan sepasang mata cokelat madunya yang teduh.
"Ehm ... aku yatim piatu, digedein sama kakek nenekku sejak usia tiga tahun sampai remaja. Aku sekolah ke Amrik pake jalur beasiswa penuh, Om. Kalau nggak mana mampu kakek nenek biayainnya, itu mahal banget. Dan aku part time jadi tukang cuci piring selama tinggal di Amrik!" jawab Emmy tanpa menutup-nutupi asal usulnya dari keluarga yang sederhana.
Tentu saja informasi yang mencengangkan bagi William baru saja membuat pria itu menjadi simpatik. Ternyata di balik tubuh mungil dan muka imut Emmy tersembunyi kegigihan bak wonder woman. 'Itu artinya selama sekitar empat tahun pendidikan, gadis belia tersebut menghidupi dirinya sendiri sembari berkuliah. Keren!' batin William terkesan dengan kerja keras Emmy.
"Terus kamu pulang ke Indonesia apa sudah dapat pekerjaan?" tanya William yang makin tertarik mengenal Emmy.
"Sudah dong, Om. Kalau nggak mendingan aku kerja jadi tukang cuci piring aja di sono, gede bayarannya kok!" sahut Emmy tanpa merasa malu.
"Ohh good luck kalau begitu buat kerjaan baru kamu ya!" ujar William lalu dia mengarahkan sopir taksi karena rumahnya sudah dekat lokasinya.
Akhirnya mobil sedan biru itu berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi tempa megah dengan ujung-ujung teralis runcing di atasnya. William pun berkata kepada Emmy, "Terima kasih buat traktiran di coffee shop dan tumpangan taksinya, Emmy Sayang!"
"Sama-sama, Om William. Sampai ketemu kapan-kapan ya, kali aja jodoh!" canda riang Emmy seolah tanpa beban.
Mendengar perkataan gadis itu, William sempat tercenung. Dia pun bertanya iseng sambil memegangi daun pintu taksi karena tadinya dia sudah mau turun, "Kamu mau jadi istriku?"
"Haaahh, nggak ... nggaklah, tadi cuma becandaan aja kok!" Emmy merutuki dirinya yang asal bicara dalam hatinya. Dia pun melanjutkan, "Om, nanti sopir taksinya nunggu kelamaan. Turun dulu deh!"
"Hmm ... okay. Byebye, Emmy!" William pun turun dari taksi biru itu dan menerima kopernya yang telah diturunkan sopir taksi dari bagasi belakang.
Sembari menunggu satpam membukakan pintu gerbang depan untuknya, William menatap kepergian taksi yang membawa Emmy. Mengobrol bersama gadis imut itu tak ada bosannya seolah mereka cocok satu sama lain, padahal ada jurang usia lima belas tahun.
"Pak—Pak William!" panggil satpam rumah karena majikannya malah bengong entah sedang melihat apa di depan pintu gerbang yang telah dibukakan.
"Ehh ... Pak Asep, iya. Makasih, Pak. Saya masuk dulu!" jawab William lalu menyeret kopernya melewati halaman depan rumahnya yang bagaikan istana Disneyland. Dia yang merancangnya sendiri. Sayangnya, pangeran yang satu ini tak kunjung menemukan sang puteri cantik nan baik hati.
Di teras depan rumahnya, Haikal Sutrimo, kepala asisten rumah tangganya menyambut kepulangannya dengan heboh, "Ya ampun, Pak Willy. Ini kenapa sih, sudah dianter sampai bandara kok malah balik ke rumah lagi?!"
"Mo ... Mo ... udah pokoknya gue batal ke Amrik. Nih bawain koper ke kamar lagi buat dibongkar, jangan dibanting ya!" balas William geli melihat kepala ART-nya yang agak melambai itu menegurnya.
Kemudian dia melenggang masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang terlambat itu sendirian. Koki rumahnya otomatis tidak memasak karena tahu majikannya akan bepergian ke luar negeri selama seminggu.
William mengocok dua butir telur dengan tambahan keju cheddar, tomat, dan daun bawang lalu menggorengnya di wajan teflon. Untungnya nasi putih selalu tersedia karena karyawan-karyawati di rumahnya ada selusin mengurusi pintu gerbang, halaman depan, hingga dapur.
Dalam sekejap menu sederhana yang lezat itu dapat dia santap. William pun mengambil ponselnya dan memeriksa email pribadinya. Nama Emmy Estelia Setiawan itu seperti tidak asing dalam benaknya. Hanya saja dia lupa pernah bersinggungan di mana?
Kotak email terkirim itu iseng dia buka dan William menemukan jawaban rasa penasarannya. Sendok yang tengah mengarah ke mulut urung mencapai tujuan dan diletakkan kembali ke piring di hadapannya. "Asisten arsitek baru itu namanya Emmy Estelia Setiawan. Ini pasti orang yang sama dengan gadis imut tadi!" gumamnya sendirian.
Senyuman lebar menghiasi wajah William, dia senang ternyata tak harus menunggu lama bertemu lagi dengan Emmy. Besok pagi gadis imut itu sendiri yang akan mendatanginya ke rumah karena kantor arsitek miliknya jadi satu dengan hunian pribadinya.
"Emmy, ternyata kita jodoh lho. Awas candaan iseng kamu tadi didenger malaikat lewat! HA-HA-HA," ujar William riang. Tak biasanya dia memerhatikan lawan jenis karena otaknya sudah bertahun-tahun tersetel ramah dengan penghitungan RAB dan desain bangunan.
(RAB: Rancangan Anggaran Belanja, untuk pengajuan tender proyek pembangunan gedung)
"Ehh, apa sih Pak Bos kok ketawa ketiwi sendiri? Jadi takut deh aku! Nggak kesambet Nini Lampir di bandara tadi 'kan?" tegur Haikal Sutrimo yang duduk di seberang island table tempat majikannya menikmati makan siang.
William pun menanggapinya ringan dengan kekehannya, tetapi dia ada tugas khusus untuk asisten andalannya itu. "Suka-suka gue dong, Mo! Pokoknya dibawa happy aja. Oya, gue ada tugas nih buat loe. Urusin KTP yang ilang sama surat kehilangan di kantor polisi buat dibawa ke customer service bank ntar gue list bank mana aja. Dompet gue dicopet di bandara tadi. Duitnya sih nggak seberapa cuma males ngurus kartu debit sama kredit plus KTP, SIM A, SIM C. RIBET!!"
"Amsiong deh, pusing tujuh keliling ngurus semua kartu itu, Pak Bos!" seru Haikal nyaris pingsan. Dia meletakkan kepalanya di atas meja.
"Jangan pura-pura pingsan loe! Pokoknya besok dari pagi loe urusin semua isi dompet gue yang raib dicopet itu, okay?!" desak William dengan bossy. Dia tersenyum-senyum ala onta padang gurun memamerkan sederet giginya yang rapi.
Dengan tampang memelas Haikal pun mematuhi perintah bos besarnya. Namun, belum selesai begitu saja titah William. Pria blasteran bermata cokelat madu itu berkata lagi, "Mo, besok pagi ada tamu spesial. Bilang ke Chef Juno buat masakin sarapan ala western. Bikin muffin isi selai blueberry yang enak. Ini spesial request dari gue langsung, inget ya!"
"Wah siapa tuh, Pak Bos? Cewek ya pasti?" Haikal menggoda William dengan bercieh-cieh heboh hingga pria ganteng itu merona wajahnya.
"Mau tahu aza deh loe!" tukas William jutek lalu menyuap sendok terakhir makan siangnya sebelum naik ke kamar tidurnya.
"Neng, udah sampai nih sesuai alamat yang tadi Neng kasih ke saya!" ujar sopir taksi online yang mengantarkan Emmy ke tempat kerja barunya.Namun, Emmy mendadak salah tingkah sendiri karena seingatnya kemarin siang dia pun sudah sampai ke tempat yang sama. Dengan tujuan berbeda pastinya, dia mengantar Om William pulang dari bandara. "Ehh ... ohh, ya udah deh, Pak. Makasih ya. Aku turun sekarang, kali Bapak mau kejar setoran mumpung masih pagi gitu!" celoteh Emmy lalu turun dari taksi online itu dengan membawa map plastik berisi portofolio dan CV miliknya.Akhirnya mobil Avanza hitam itu berlalu dari depan gerbang besi yang tinggi menjulang dan meninggalkan Emmy sendirian di situ. Dengan ragu-ragu gadis itu menekan tombol bel di samping pagar dan sesaat kemudian wajah satpam muncul di layar monitor di atas tombol bel."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" sapa satpam bernama Asep itu melalui layar kecil."Ehh ... pagi, Pak Satpam. Saya mau bertemu Bu Rita Sundari, apa beliau ad
"Emmy, coba kamu lihat gambar cetak biru kode FPA-20.02.11 bantu hitung RAB dengan catatan perinciannya ya. Sementara tugas kamu itu dulu, selanjutnya aku beri tahu lagi kalau sudah kelar yang ini!" perintah William di kursi kebesarannya.Dengan cekatan Emmy memulai pekerjaan di hari pertamanya sebagai asisten arsitek. Dia sudah paham seperti apa saja tipe tugas yang harus dia lakukan karena sempat menghabiskan waktu satu tahun magang di firma arsitek seniornya dari Harvard University.Dalam waktu kurang dari sejam gadis itu telah menyerahkan hasil pekerjaannya kepada William. "Ini hasil penghitungan RAB beserta rinciannya, Pak!" ujarnya.Tanpa berkomentar apa pun, William memeriksa hasil pekerjaan Emmy. Dia dapat menelitinya dengan mudah karena hapal caranya. Fakta mengejutkannya adalah hasilnya sesuai dengan yang seharusnya. "Mantep ... keren juga kamu ya! Okay, next job. Kamu bikin gambar ilustrasi dengan keterangan yang aku tulis di buku catatan ini sesuai kemampuan kamu saja. Ma
"Hey, Jalang! Untung ya Pak William lagi pergi ke New York berhari-hari, jadi loe bisa ditertibkan di sini!" Vera bersedekap sembari menyandarkan bokong besarnya di tepi meja kerja Emmy. Emmy merasa lidahnya kelu di tengah kebingungannya karena tiba-tiba para karyawati senior di kantor arsitek tempatnya bekerja mengerumuninya.Anneke pun tak ingin ketinggalan membully gadis yang dia benci sedari awal bergabung di tim mereka. Dia mendorong bahu Emmy seraya berkata, "Loe pake pelet apaan sampai Pak Willy kesengsem berat sama muka loe yang pas-pasan ini, hahh?""Biasa cewek kegatelan 'kan bisa digrepe-grepe tuh, Guys! Dasar gampangan!" sembur Virna juga sembari menoyor sisi kiri kepala Emmy.Kesabaran Emmy pun habis, dia merasa tak layak diperlakukan seperti perempuan hina dengan sedemikian banyak predikat yang disematkan oleh para seniornya seenak jidat mereka. Dia pun berkata dengan nada defensif, "Jangan seenaknya ngebully orang ya! Kalian juga sama-sama karyawati Pak William yang Te
"Lho, kamu diantar siapa itu tadi, Emmy?" tanya Nenek Dahlia yang menyambut kedatangan cucunya sepulang kerja. Dengan sopan Emmy mencium tangan neneknya lalu menjawab, "Itu sopir bosnya Emmy, Nek. Ban sepeda motorku digembosi sama senior di kantor. Mereka musuhan sama aku semenjak ditinggal pergi Kak William ke New York. Ternyata bullying tuh nggak cuma ada di sekolah, tapi di kantor juga ada, Nek!"Senyum prihatin terukir di wajah berkerut oleh usia lanjut itu, Nenek Dahlia menghela napas lalu membelai rambut panjang cucu kesayangannya. "Kamu yang sabar, jangan membenci mereka. Biar Tuhan yang balas apa yang ditabur oleh senior-senior kamu, kalau baik maka hasilnya baik dan sebaliknya!" nasihatnya dengan sabar.Emmy pun mengangguk patuh, dia tak pernah melawan perkataan kakek nenek yang membesarkannya sejak kecil. Gadis itu pun celingukan sambil berjalan bersisian dengan neneknya. "Di mana kakek sih? Biasanya ada di rumah, Nek.""Di kebun belakang, sedari pagi panen ubi masih belum
"Suster! Suster, tolong temen eike cedera!" seru Haikal ketika dua paramedis mendorong brankar berisi Emmy yang tak sadarkan diri masuk ke poli IGD."Bawa ke bilik dua yang kosong!" perintah Suster Dewi menunjuk ke tempat yang kosong di ruangan IGD itu.Segera saja Emmy diperiksa oleh dokter jaga poli IGD dengan cermat. Kemudian Haikal yang menemani Emmy ke rumah sakit pun dipanggil karena dokter ingin menjelaskan kondisi pasien."Jadi, Mas, pasien ini perlu cek MRI untuk tahu di mana saja cederanya karena masih hilang kesadaran akibat benturan keras. Saya menduga ada gegar otak ringan atau medium karena kecelakaan jatuh dari tangga itu! Bagaimana, boleh?" tutur Dokter Bima Susanto. "Boleh, Dok. Biar bisa diobatin sampai sembuh. Silakan saja!" sahut Haikal harap-harap cemas. Pasalnya, majikannya akan pulang hari ini juga dari New York. Celaka dua belaslah kalau sampai gadis imut kesayangan Mister William Samsons MacRay itu kenapa-kenapa.Brankar berisi Emmy segera didorong menuju ke
"TOK TOK TOK.""Ya, sebentar!" sahut suara wanita renta dari dalam rumah bertipe sederhana yang genting cokelatnya telah berlumut di sana sini itu.William yang berprofesi sebagai arsitek ternama pun menilai dalam hatinya tentang tempat tinggal gadis imut kesayangannya yang kini tergolek di ranjang rumah sakit. Halaman depan yang asri dengan pohon mangga Manalagi, alpukat, dan durian. Tanaman bunga hias juga menghiasi sepetak tanah berukuran kurang lebih 20 meter persegi itu. Semuanya tanpa sengaja membuat pria itu membersitkan senyuman mahal di bibirnya."Alami banget, sepertinya kakek nenek Emmy suka berkebun!" gumam William sebelum pintu di balik punggungnya terbuka."Ohh ... selamat malam. Anda mencari siapa ya?" sapa Nenek Dahlia kepada pria ganteng yang tinggi menjulang di hadapannya.Mobil sedan Mercy hitam yang tadi pagi dan kemarin sore mengantar jemput cucu kesayangannya terparkir di depan pagar. Wanita berusia lanjut itu menduga bahwa pria ini mungkin bos Emmy. William seg
Seperti saran Dokter Chandra Lukmana, memang Emmy menjalani bed rest selama lima hari penuh di rumah sakit. Kakek neneknya yang menjaga gadis itu. Namun, setiap pagi dan malam bosnya selalu menjenguk dia sambil membawakan makanan favorit Emmy yang dibuat oleh Chef Juno."Siomay udang dan springroll rebung, pesanan kamu, Emmy Sayang! Momo nitip salam buat kamu juga," ujar William menyodorkan kotak bekal berisi makanan ringan berjenis dimsum itu ke hadapan gadis kesayangannya.Wajah Emmy berseri-seri menerimanya lalu mulai mencicipi sebuah siomay udang. "Mmm ... yummy, Kak Willy. Thank you bingits ya, udah lama lho nggak makan ini. Di Amrik agak susah carinya, dan semenjak pulang ke Jakarta belum sempat jalan-jalan!" ujar gadis itu bersemangat lalu mengambil sebuah siomay udang lagi untuk disuapkan ke mulut William."Lezat memang, Chef Juno pinter bikinnya!" puji William untuk koki rumahnya.Emmy pun menyahut, "Sampein terima kasihku buat Chef Juno ya, Kak!" "Okay, besok pas sarapan ku
"Ssttt ... gelo bingits! Ver, kok si bos ganteng sampe bela-belain jemput cewek alay itu buat ke kantor?!" seru heboh Yuni ketika melihat dari balik kaca jendela ruang kerja Fame Palette Artisans Co pagi itu.Vera yang tadinya sedang menata barang bawaan ke mejanya pun buru-buru menghampiri Yuni. "Mana ... mana sih?" ucapnya kepo. Segera sumpah serapah dan kata makian pedas menghambur dari bibir berlipstick plump red devil itu.Rekan-rekannya yang lain pun tak ingin ketinggalan melihat tontonan heboh pagi itu di dekat Yuni dan Vera. Sementara Bu Rita yang bersikap netral menggelengkan kepalanya lalu keluar dari ruangan kerja bersama itu untuk menemui William.Di ruang tengah, William menggandeng Emmy yang melingkarkan tangan dengan manis di lekuk lengannya. Gadis itu menyapa Bu Rita, "Selamat pagi, Bu!""Selamat pagi, Emmy. Syukur kamu sudah pulih kembali. Semangat kerja ya hari ini!" balas Bu Rita dengan senyuman tulus. Dia lalu bertanya ke bosnya, "Pak Willy, apa jadi meeting pagi?"