Orang bijak pernah berkata, ‘Terkadang tempat teraman justru berada di pusat badai’, dan itulah yang dilakukan bocah ini sekarang.
“Masuk!” Tergesa aku turun dan membuka pintu mobil sambil memandang liar sekitar, berharap tak ada seorang pun menjadi saksi peristiwa ganjil yang terjadi. Katanya dipulangkan, nyatanya dibawa serta. Senyum dikulum tercetak jelas pada wajahnya yang ranum, ketika menyandarkan kepalanya di jok mobil.Sementara pendar-pendar rasa tersemai di rongga dada. ‘Pramono, dia masih bocah,’ sebuah suara bergema dalam batok kepala, menjagaku tetap waras.Rinai hujan mendaraskan lantunan zikir, memenuhi tingkap-tingkap langit hingga ke Sidratul Muntaha, ketika kendaraan melaju pelan membelah aspal jalanan. Mang Sugi melempar senyum penuh arti melalui kaca spion di atas dasboard, disusul dendang lawas tembang penyesalan yang mengalun dari speaker mobil. Sempurna!Kau datang padaku saatku lukaLuka dengan sejuta kecewaYang hempaskan tubuh remukkan dadaNamun lembut belaiamu balutlan lukaKau kecup bibirku saat ku muakMuak dengan sesatnya asmaraYang membuatku muntah lepaskan dendamNamun hangat bibirmu redakan dukaMaafkanlah akuAcuhkan dirimuWaktu pertama kali tersenyum padakuMaafkanlah akuJejali dirimu dengan segala kisah sumpah serapahkuSesaat kebekuan melingkup dan tak ada satu pun yang berinisiatif membuka suara, hingga lagu itu berhenti dengan sendirinya.“Kau nekat sekali, Delia.”“Maaf ... saya tak tahu lagi harus ke mana lagi, Tuan.” Mata kejora itu mengerjap penuh penyesalan.“Di mana alamatmu?”“Tuan, tolong ... jangan kembalikan saya.”“Bukan untuk memulangkanmu, Delia. Aku harus membayar tarifmu, minimal sampai seminggu atau sebulan ke depan, atau ... sampai hartaku habis.”“Maafkan saya.”“Kau banyak sekali punya stok kata maaf.”Ia menunduk dan memainkan jarinya di atas pangkuan.“Ng ... telepon aja, Tuan.”“Kau punya hape?”“Tidak. Maksud saya, telepon ke hape mami, saya hapal nomornya.”“Berapa?” Aku merogoh ponsel yang sejak meeting tadi pagi disetel dalam mode diam.Ia menyebut dua belas digit nomor yang segera kuketik dan memencet nada panggil. Tak perlu menunggu lama ketika terdengar suara dari seberang, genit dan menggoda.“Mami Irene speaking, ada yang bisa dibantu?”“Aku mau memperpanjang sewa Delia untuk sebulan ke depan.”“Aih ... mamamia! Layanan memuaskan, Om?” Ia terkikik menjijikkan.“Sebutkan!”“Semalam satu juta ya, Om. Tinggal dikali aja tuh.”“Dua puluh lima juta sebulan, deal!” Aku bersungut.Andai dekat, ingin rasanya meremas wajah perempuan sundal itu. Meski nyatanya kubunuh sekalipun, tak akan melenyapkan praktek prostitusi yang sudah mengiringi kehidupan manusia sejak berabad-abad lamanya. Merudapaksa perempuan lemah yang berakal setengah dengan iming-iming rupiah, atau menguasai mereka karena ketidakberdayaan.“Aduuh, pake nawar segala, deh, ah. Pelayanan nggak pake karting, ya, kan?”“Deal atau batal?”“Ya amplop, jangan ngambekan gitu dong, Darling. Oke oke.”“WA no rekening!” Kututup percakapan memuakkan itu dengan kegeramam tertahan. Menunggu notifikasi masuk, membuka aplikasi i-banking, dan menyelesaikan transaksi. Untung ia germo kelas teri sehingga tak harus menguras rekening.“Terima kasih banyak, Tuan." Kelegaan tersirat dari suaranya.“Kau yakin aku tak akan melakukan hal buruk padamu, Delia?”“Kalau memang mau, bukankah sudah Tuan lakukan sejak tadi malam? Paling tidak, sebulan ini ibu aman, meski saya mungkin belum bisa bertemu.” Suaranya parau menahan kerinduan.Delia kembali menyenderkan kepalanya sambil terpejam, badai kesedihan yang tercetak jelas sejak awal perjumpaan memudar, seiring selarik senyum yang menghiasi bibirnya.Kunikmati sebentuk tabah dan perjuangan kerasnya itu lewat sudut mata. Rindu dan kesepian menikam yang meraja lima belas tahun belakangan dan seperti tak berujung, mulai berganti musim-musim harap akan sesuatu yang lebih hangat dan berwarna.Masa depan mungkin tak akan baik-baik saja, Delia, karena begitulah lakon kehidupan, kadang mesti dihajar pahitnya kenyataan. Namun akan ada asa demi asa yang wajib disemai demi menyulut energi menjemput impian esok hari. Senyummu telah mengoyak janji setia pada cinta yang telah bersemayam di tempat peristirahatan.Maafkan aku, Gayatri. Barangkali hadirnya bisa membunuh sepiku, menggantikan posisi Aurora, penghilang dahaga pelipur lara, setelah hanya berbungkus-bungkus racun tembakau yang menjadi karib paling setia disepanjang perjalanan menapaki hari yang memuakkan.Laju mobil terguncang menghajar ceruk jalanan, ketika kepala Delia jatuh dan bersender di pundak. Ada rasa haru yang lindap di relung kalbu. Menimbulkan bongkahan-bongkahan rasa yang sulit dilukiskan.Tragedi semalam sukses membuat mata sulit terpicing, hingga kantuk tak mampu ditahannya.Kendaraan kembali oleng menghindari sepeda motor yang melaju kencang, sehingga Delia terjaga dan menyadari posisinya.“Eh, Tuan. Maafkan saya.”“Tak apa. Tidurlah.”Tanpa sungkan, dia kembali meletakkan kepalanya di pundakku. Delia, jangan kaubuat aku jatuh cinta dengan cara yang salah.Kepalaku berdenyar, seiring berkurangnya enam puluh persen pasokan oksigen yang disuplai darah ke otak untuk berpikir realistis, dialirkan lewat perintah spontan demi sesuatu yang lain dan berdenyut. Jaga kewarasanmu, Pramono! Jangan melukis di atas air, ombak hanya akan memporak porandakan mimpimu!Sesungguhnya godaan setan itu lemah, rayuannya kasat mata, sehingga manusia berakal pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sementara, laki-laki lemah terhadap godaan wanita. Konyolnya, justru fitnah itu sekarang memohon diselamatkan dan minta ikut pulang.Kugaruk rambut yang tidak gatal dan melempar pandangan menatap hujan yang menderas, mengalirkan kesejukan yang semakin membuat syahdu suasana.***Ratusan mobil berbanjar-banjar, berjubel di antara larik-larik tol yang sudah dilebarkan, berebut, berdesakan mencari jalan pulang. Awan telah selesai menunaikan tugas mengumpulkan titik-titik air, bahu membahu bersama angin, mencurahkan hujan ke permukaan bumi. Semesta benderang, digantikan matahari terik yang mengundang fatamorgana serupa anai-anai pada padang-padang tandus dan gurun.“Selamat siang, Pak Pram.” Satpam pos jaga memberi salam sambil membukakan gerbang komplek perumahan.“Siang, Jang. Lanjut ya!”“Siap, Pak.” Senyum tulus orang-orang kelas bawah, menunjukkan keramahan yang mulai ditinggalkan manusia-manusia modern dan menamai diri insan beradab.Delia menggeliat, mengerjap-ngerjap dan membuka penuh kelopak matanya.“Sampai di mana kita, Tuan?”“Rumah.”“Tuan tinggal di sini? Waah!”Gadis kecil itu tak mampu menyembunyikan ketakjuban atas apa yang terekam pancainderanya, kejoranya tak berkedip memandang rumah-rumah besar dan tinggi yang berbaris rapi beraneka bentuk dan rupa, ketika mobil yang dikendarai Mang Sugi melingkar melewati taman, dan berhenti di sebuah gerbang besi tinggi bercat hitam pekat.“Turun!”Sejenak terlukis ragu saat ia menjejakkan kaki di lantai carport samping rumah. Mak Yayah tergopoh membukakan pintu dan melongo melihat siapa yang datang.“Delia, Mak.” Ia meraih tangan Mak Yayah dan diciumnya dengan penuh takzim.“Ya, ampun! Meni cantik pisan si eneng. Tinggal di mana? Ketemu sama Bapak di mana?”“Tadi nemu di jalan, Mak. Lumayan buat jaga rumah.” timpalku sekenanya. Delia bengong sesaat, kemudian tersenyum, manis sekali.“Hayu atuh masuk. Mana sini, emak bawakan barang-barangnya.”Delia terdiam sesaat sebelum menjawab, “Saya cuma bawa badan doang, Mak.”“Oh ... kirain mau menginap.” Mak Yayah melanjutkan ucapannya.Delia menatapku memohon jawaban.**Entah.Apakah aku yang gila karena kepayang sehingga otak tak mampu berpikir realisitis, atau karena empati masih bekerja pada porosnya?Kecantikan Delia yang di atas rata-rata, masih mengkal dan berperilaku manis sanggup meruntuhkan logika. Jangan sampai pada pada akhirnya aku menyesal karena kesadaran yang muncul terlambat.Bisa saja ia kiriman seseorang, pesaing bisnis atau manusia-manusia dajjal yang datang sengaja untuk menipu dan memeras. Kalau memang demikian, uangku sudah raib dua puluh lima juta.“Delia, alamatmu di mana?”“Kenapa, Tuan?” Sorot khawatir kembali dilukiskan kejoranya yang jelita.“Tenang. Aku harus tahu betul di mana tinggalmu, kan? Kita saling nggak kenal, tiba-tiba masuk ke dalam rumahku. Bisa saja suatu malam kamu masuk kamar dengan sebilah belati. Sangat mungkin itu terjadi.”“Iya, Tuan. Saya ngerti. Maaf.” Suaranya terdengar bergetar.“Maaf lagi.”Delia lalu menyebutkan sebuah alamat di Puncak yang kucatat dalam sebuah note. Besok aku harus segera ke sana
Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuaraka
Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.“Pak! Anda pelanggan di sini?”“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.“Bapak ada keperluan apa?”“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kal
Apakah ini teguran? Atau azab atas sikapku selama ini? Segala rasa dan kecemasan bercampur aduk, berputar-putar membingungkan.Aku jadi teringat nasihat ibu, takaran ujian manusia sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Sebagai bentuk kecintaan Tuhan agar ia berjalan di atas muka bumi tanpa dosa, karena ujian dan kesakitan adalah untuk menghapus tiap kesalahan. Sementara, dicoba seperti ini saja, aku berontak dan menjauh, melupakan fitrah bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya.Ia justru menganugerahiku kemudahan. Ujian selanjutnyakah ini, atau istidraj? Kesenangan dan nikmat yang diberikan sebagai azab yang membuatku semakin lalai dan mati dalam kesia-siaan.Hatiku gerimis, serasa diremas, pedih dan menyesakkan. Jebol sudah tanggul keangkuahku selama ini, seiring air mata yang luruh membasahi pipi.“Bapak kenapa?” Mang Sugi bertanya sambal melirik kaca spion di atas dashboard. “Nggak usah cemas, Pak. Insyaallah nggak terjadi apa-apa,” sambungnya menenangkanku.Shit! Kena
Tuhan mengaruniakan air mata itu untuk melerai beban dan kesedihan yang bertumpuk menyesakkan.Menangislah, Delia. Kaummu dianugerahi persediaan air mata lebih, karena kodrat kalian yang harus melakukan banyak hal mempergunakan rasa, meski tak sekali, laki-laki juga butuh menangis. Alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas setiap hal yang berlaku.Aku hanya duduk dan menunggu, hingga kesedihannya benar-benar reda.“Mau jadi apa kalau nggak nerusin sekolah, Delia?” ujarku akhirnya.“Buat apa lagi saya sekolah, Tuan?” Ia tertunduk, memainkan jarinya di pangkuan sambil sesekali masih menyusut air mata dengan ujung jilbab.“Untuk dirimu sendiri, orang-orang di sekitarmu dan biar nggak bernasib seperti ibumu, maaf. Kamu masih punya harapan bertemu, ‘kan? Aku juga pernah hancur ketika ibu meninggal saat aku sedang menempuh pendidikan, sementara bapak sudah mendahului sejak aku masih bayi. Aku tahu rasanya, Delia.”Kepalanya terangkat da
Ujian demi ujian datang menyapa.Aku terkejut alang-kepalang melihat apa yang tersaji di depan mata. Sementara Delia menghambur dan membenamkan wajahnya di dadaku. Dua kejadian luar biasa yang datang secara bersamaan. Perasaanku campur aduk antara kaget dan berbunga-bunga, penuh menyesaki rongga dada. “Tak apa, Delia,” ujarku sambil menepuk pundaknya beberapa kali.Menyadari yang baru saja ia lakukan, Delia tergesa mengangkat wajah dan langkahnya surut ke belakang.“Tuan, maaf.” Ia tersipu.“Siapa yang mengirim ini?” ujarku, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.Seekor ayam mati ditancapkan ke pintu menggunakan sebilah belati, sementara darahnya berceceran di lantai yang putih, sehingga memperlihatkan warna mencolok. Ada tulisan ‘TUNGGU PEMBALASAN!’ di samping genangan darah tanpa ada petunjuk lain. Siapa gerangan pelakunya dan apa maksud semua ini? Rasanya selama ini aku tak memiliki musuh.Kupikir, tak mungkin ada penyusup masuk lewat portal depan yang dijaga satpam. Apakah ula
Pada waktunya, semua hanya akan menjadi kenangan.Tapi, aku belum sanggup kehilangan semua momen ini. Terlebih selama belasan tahun hari-hari hanya berteman sepi yang bisu, tak ada keinginan-keinginan, untuk kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Jika kamu pergi Delia, rumah ini akan masuk dalam musim dingin yang panjang kembali.Hatiku mendadak ngilu, membayangkan kehilangan yang menyakitkan sekali lagi. Tapi, demi melihat asa yang terlukis dari pancaran kejoranya yang menatap lekat-lekat, aku tak tega memupus harapan yang meletup-letup di sana.“Tuan, yaa?” Sekali lagi ia meminta sungguh-sungguh.“Berkemaslah. Kita berangkat besok pagi.”Selarik senyum ia sematkan dengan mata yang menyapu wajahku beberapa jeda. “Terima kasih banyak, Tuan. Anda memang yang terbaik,” ujarnya, sebelum membuka pintu mobil dan menghilang di teras rumah, meninggalkanku yang masih termangu sambil memegang kemudi, dengan perasaan campur aduk.***“Tuan?”“Hmm?”“Anda dulu nikah muda?”“Setahun setelah selesa
Rumah besar ini kembali lengang. Sepi seperti tak bertuan.Mak Yayah kini sering duduk termenung sendirian. Sama sepertiku, barangkali ia juga kehilangan. Meski selama di sini, Delia lebih banyak diam, tapi bersama Mak Yayah mereka bisa ngobrol banyak sambil melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Setiap kularang, jawabannya tetap sama, “Saya adalah sahaya yang ditebus, Tuan. Biarkan saya melakukan apa yang harus saya lakukan di rumah ini.”Lalu aku membiarkannya melakukan apa saja, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan taman, termasuk jika ia tenggelam bersama buku-buku tebalnya itu.“Pak, kopinya!” Mak Yayah tiba-tiba datang mengantarkan secangkir cappuccino yang kupesan.“Taruh di meja.”“Kalau Neng Delia pindah, rumah jadi sepi lagi.” Ada nada kerinduan tersirat.“Disuruh sekolah sama nininya di sana. Pekan depan aku harus urus surat pindahnya,” jawabku nyaris putus asa. “Padahal anak itu baik. Sering ngomongin Bapak kalau sama saya.”Telingaku tiba-tiba melebar.“Ngo