Mirabesy menyiapkan tiga gaun pernikahan yang telah dijahit secara khusus untuk Bella.Besok adalah hari pernikahannya. Semuanya telah ditata pada tempatnya. Dekorasi. Kue pengantin. Makanan dan minuman. Bingkisan hadiah. Buket bunga. Kursi-kursi tamu. Area dansa. Dan terakhir, susunan acara.Bella merasa sangat gugup sejak pagi, meskipun ia telah melewati acara pertunangan yang tidak jauh berbeda.Tetapi pernikahan... adalah sesuatu yang jauh lebih sakral dan dalam dibanding sebuah pertunangan. Sebuah ikatan suci yang mengikat takdir dua insan dihadapan Tuhan. Menyatukan jiwa dan perasaan mereka ke dalam hubungan yang lebih serius dan kompleks.Setidaknya, itulah yang Bella pahami.Ia akan menyerahkan hidupnya pada Damian, begitu pula sebaliknya.Bella selalu menganggap kalau pernikahan adalah akhirnya. Ia hanya akan mencintai satu pria dalam hidupnya, dan dialah yang akan menjadi suaminya. Tidak ada yang lain.Damian.Damian Linford. Atau, Bella kecil yang lebih suka dengan Damian
“Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar
"Seharusnya aku lebih berhati-hati." Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya. Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja. 'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!' 'Diam kau pencuri!' Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun. Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ... Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu. Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. P
"Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta." Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu. Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik. "Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur. "Sedikit, tidak apa-apa." Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja. "Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah." Meli
"Apa kali ini tamu yang diundang sama seperti tahun lalu?" Melinda menoleh mendengar pertanyaan Bella. Ia berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya. "Dan itu berarti pekerjaan kita akan bertambah." Bella meringis. Ia masih ingat benar bagaimana kacaunya pesta tahun lalu. Di penghujung acara, teman-teman bisnis Tuan Hugo menumpahkan banyak tinta dilantai sebagai perayaan untuk kesuksesan perusahaan mereka. Bella tidak mengerti dari mana ide itu dicetuskan. Jadi, Tuan Hugo menjalankan bisnis kertas dan tinta. Itu sebabnya mereka melakukannya. Tetapi walaupun begitu, mereka bisa saja melakukan hal lain pada tinta itu sebagai perayaan. Untung saja mereka tidak ikut merobek-robek kertas dan menjadikannya hiasan di atas tinta. Bella dan budak lainnya harus menyikat lantai selama berjam-jam karena cairan hitam itu begitu lengket, kemudian mengepelnya hingga mengkilap seperti semula. Sebagian dari tamu itu tentu saja tahu kalau Tuan Hugo memiliki beberapa orang budak, meski mereka selalu dise
"Semuanya sangat mewah, tangan dan leher mereka dipenuhi emas yang berkilau." Elena mulai bercerita mengenai pesta yang sedang berlangsung. "Benarkah?" Tanya Melinda penasaran. "Berapa banyak yang datang?" "Banyak sekali, aulanya penuh." "Wah." Bella memperhatikan keduanya dalam diam. Biasanya Bella suka mengintip pesta yang tengah berlangsung, lebih ke rasa penasaran; ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka lewat obrolan yang ia tangkap.Namun malam ini, Bella tidak bisa melakukannya. Sakit kepalanya kambuh dan jika ia bersikeras untuk bangun, ia hanya akan berguling di lantai. Hal terakhir yang ia inginkan adalah mengacaukan pesta dan mendapat hukuman cambuk lagi, atau mungkin hukuman yang lebih parah. Para budaklah yang memberitahunya kegiatan di pesta setelah membersihkan dapur. Untungnya Tuan Hugo dan Nyonya Deborah sedang sibuk menyambut tamu hingga tidak sadar dengan ketidakhadiran Bella. Ia akan dihukum jika tidak bekerja sekalipun sedang sakit. Jadi, pesta diselengg
"Hei budak! Berhenti!" "Berhenti di sana!" Tubuh Bella gemetar hebat. Keringat dingin menjalari tubuhnya dengan cepat seolah ia baru saja dicelupkan ke dalam tangki air es. Bella merasa sangat ketakutan hingga ia pikir ia akan pingsan di tempat. Kepalanya yang sakit dipaksa untuk berpikir keras, mencari jalan keluar.Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu terlihat semakin dekat dan lampu depan yang menyilaukan tidak sengaja menyoroti tubuhnya. Mata Bella melebar panik, ia berputar secepat kilat dan memaksa kakinya untuk berlari kencang. Suara teriakan marah pengawal terdengar di belakangnya. "Aku bilang berhenti! Kau akan mendapat masalah!" "Budak sialan!" Bella menggigil. Ia tidak boleh tertangkap. Tuan Hugo akan langsung membunuhnya. Bella terus berlari, memaksakan diri, tidak peduli kepalanya seperti akan copot dari tubuhnya karena rasa pusing yang mendera.Ketika tiba di persimpangan jalan, ia menerobos semak mawar yang tinggi dan melompat ke dalam kegelapan. Ia meri
'Ugh, kepalaku sakit sekali.' Bella meringis, kedua matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari bohlam tua. Di mana ini? Berusaha untuk bergerak, Bella baru sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang tengah didudukinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain dan diikat ke belakang kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa ... Bella terkesiap saat kilasan kejadian sebelumnya menghantam kepalanya. Kebakaran di rumah Tuan Hugo, para budak yang mengajaknya untuk kabur, ia yang tertinggal jauh di belakang, pengawal yang mencari para budak, seorang pria yang membuang mayat di tepi hutan dan kesadarannya yang menghilang karena obat bius. Tidak salah lagi, pria itu yang melakukan ini padanya. Pria kejam pembuang mayat itu. Tubuh Bella langsung gemetar karena ketakutan. Irisnya mengedar dengan panik ke sekeliling ruangan yang merupakan sebuah gubuk tua. Kenapa ia dibawa ke sini? Apa pria itu ak
“Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar
Mirabesy menyiapkan tiga gaun pernikahan yang telah dijahit secara khusus untuk Bella.Besok adalah hari pernikahannya. Semuanya telah ditata pada tempatnya. Dekorasi. Kue pengantin. Makanan dan minuman. Bingkisan hadiah. Buket bunga. Kursi-kursi tamu. Area dansa. Dan terakhir, susunan acara.Bella merasa sangat gugup sejak pagi, meskipun ia telah melewati acara pertunangan yang tidak jauh berbeda.Tetapi pernikahan... adalah sesuatu yang jauh lebih sakral dan dalam dibanding sebuah pertunangan. Sebuah ikatan suci yang mengikat takdir dua insan dihadapan Tuhan. Menyatukan jiwa dan perasaan mereka ke dalam hubungan yang lebih serius dan kompleks.Setidaknya, itulah yang Bella pahami.Ia akan menyerahkan hidupnya pada Damian, begitu pula sebaliknya.Bella selalu menganggap kalau pernikahan adalah akhirnya. Ia hanya akan mencintai satu pria dalam hidupnya, dan dialah yang akan menjadi suaminya. Tidak ada yang lain.Damian.Damian Linford. Atau, Bella kecil yang lebih suka dengan Damian
“Letakkan di sana, ya taruh dengan benar. Jangan sampai lecet!”“Bunga itu letakkan di tengah! Susun semuanya dengan mawar dan bunga bakungnya.”“Kainnya dibentangkan! Jangan sampai kusut!”Mirabesy tanpa lelah mengatur dekorasi yang datang untuk pernikahan Damian dan Bella. Tempatnya diselenggarakan di aula sayap utama. Ruangan itu akan dihias dengan aneka mawar, dipadukan dengan bakung putih dan baby's breath.Mirabesy ingin nuansa putih dan lembut yang indah, layaknya janji pernikahan yang suci.Para pelayan sudah mondar-mandir sejak pagi, membawakan segala hal yang Mirabesy suruh. Suasana di mansion begitu sibuk dan riuh, tidak ada seorang pun yang duduk diam tanpa melakukan apa pun. Sementara itu, Helena bersama Melinda, Mochelle, Erina, dan Verona menyibukkan diri di dapur dengan membuat kue. Mereka memilih untuk membuat kue pernikahan 3 tingkat secara tradisional sesuai kebiasaan kota Hinton.Bella sendiri tidak diperkenankan untuk ikut membantu. Ia disuruh untuk menghabiskan
“Piceus!” Bella berlari menghampiri istal yang berada di belakang markas. Istal itu baru dibangun setelah Piceus dibawa ke markas. Damian menyadari bahwa hutan luas dan padang di belakang markas jauh lebih cocok untuk Piceus. Kuda hitam gagah itu meringkik ketika melihat Bella, seolah tengah menyambut kedatangan gadis itu. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Bella, tersenyum sumringah. Ia mengelus leher Piceus, kemudian memeluknya dengan ringan. “Bagaimana kabarmu?” Piceus kembali meringkik dan satu kakinya mengais-ngais tanah. Bella dan Damian tertawa. “Piceus juga merindukanmu,” sahut Damian, terkekeh. “Di sini, dia suka dengan suasana ramai dari anak-anak yang berlatih. Aku membiarkan mereka bermain dengan Piceus asal tidak menungganginya.” Bella mengelus-ngelus kepala Piceus. “Jadi hanya kau yang menungganginya?” “Sudah beberapa bulan aku tidak melakukannya. Jadi, mau berkuda bersama?” Bella menatap Damian sepenuhnya, lalu pintu belakang markas yang tertutup. Anak-anak i
Musim semi datang dengan cepat.Setelah melewati musim dingin yang suram dan membekukan, matahari yang bersinar keemasan di langit terasa begitu hangat.Bella menghirup napas dalam-dalam saat melangkahkan kakinya ke halaman. Pagi itu, langit berwarna biru, dipenuhi awan putih yang mengembang, empuk seperti bantal.“Kau tampak sangat senang,” ucap Damian, muncul di belakang Bella. Dengan santai, ia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Bella.“Aku suka musim semi,” gumam Bella.“Aku juga suka.”Bella mendongak. “Benarkah? Kenapa?”“Karena kau menyukainya, Sayang.” Damian menyeringai tipis, lalu mengecup puncak kepala Bella.Bella tertawa kecil. “Masih pagi.”“Aku bisa menggodamu setiap saat, kapan saja, dan di mana saja, Sayangku,” katanya dengan senyum miring.“Apa itu sesuatu yang patut dibanggakan?”“Tentu saja.”Bella spontan tertawa. Damian terkekeh dan mengecup puncak kepalanya sekali lagi. Ia melepaskan pelukannya, kemudian beralih menggenggam tangan Bella.“Sudah siap untu
“Bagaimana perasaanmu, Sayangku?”Bella menyandarkan punggungnya ke dada Damian dan menghela napas. “Jauh lebih baik,” ucapnya, tersenyum tipis. Ia mendongak dan Damian mengecup lembut dahinya.Damian baru kembali dari markas ketika melihat Bella sedang melangkah keluar kamar menuju balkon. Setelah hampir seminggu, dia sudah bisa berjalan-jalan, meskipun pergerakannya masih terbatas. Memar di tubuhnya juga mulai memudar seiring dengan salep yang diberikan oleh Dokter Jeanna.Bella menggeser posisinya di atas paha Damian dan beralih memeluk leher pria itu. Tangan Damian dengan sigap memeluk pinggang Bella, sementara satu tangannya yang bebas menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga.Mata Damian bergerak menelusuri wajah kekasihnya. Senyum perlahan terbit di bibirnya. “Cantik,” bisiknya, membelai pipi Bella. Tangannya berhenti di bekas samar tamparan di pipi Bella dan senyum Damian berubah menjadi sendu.“Ada apa?” Bella mengerutkan kening melihat ekspresi Damian.Damian menggel
Langit kelabu menaungi kota Rainelle. Angin kencang tak henti-hentinya berembus, menampar-nampar wajah Damian dengan keras. Sore itu, hujan sepertinya akan turun menyapa.Damian berdiri diam dibalik batang pohon pinus. Matanya tertuju pada bangunan tua yang berdiri di seberang jalan. Bau karat besi dan sampah busuk menyengat hidungnya, tetapi ia tetap berdiri di sana.Damian menggenggam erat pistolnya dan menajamkan pandangan. Urat sarafnya terasa tegang. Sudah setengah jam ia menunggu, tetapi Lester tak kunjung menampakkan batang hidungnya.Dari informasi yang ia dapatkan, Lester kembali ke rumah lamanya hari ini untuk melakukan transaksi. Damian tidak akan membiarkan pria itu lolos begitu saja. Dia mengambil andil sangat besar dalam rencana penculikan Bella.“Ya, para keparat itu sudah mati.”Sebuah suara terdengar dari seberang jalan. Damian menatap waspada dan menempelkan tubuhnya ke pinus di belakangnya.Sedetik kemudian, Lester muncul dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia
Untuk sesaat, Bella kira ia sedang bermimpi. Tetapi sentuhan tangan ibunya begitu nyata, mengelus lembut wajahnya. Air mata mendesak keluar, dan pada akhirnya Bella terisak kencang. Tanpa bisa ditahan, tangis Helena ikut tumpah. “Sayang...” gumam Helena dan tangis Bella mengencang. Betapa Bella merindukan suara ibunya. Setelah sekian tahun tidak bertemu, ini semua terasa seperti kemustahilan. “Ibu... ibu sungguh di sini?” Bella tersedak tangisnya sendiri. Ia ingin merangkul ibunya ke dalam dekapan, tetapi tangannya terlalu lemah untuk diangkat. “Ya, Ibu di sini, Nak. Ibu di sini...” Helena tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya dan membungkuk untuk memeluk Bella. “Anakku... Ibu merindukanmu. Ibu sangat merindukanmu.” “Aku juga sangat merindukan... ibu! Kupikir... kita tidak akan bertemu... lagi. Ibu sungguh di sini... Ini...” Bella terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat. Pelukan Helena menguat dan Bella merasa tenggelam dalam kerinduan yang menyakitkan. Untuk waktu yang l
“Massimo sedang mengejarnya. Segera setelah kita temukan lokasinya, maka dia akan berakhir sama seperti anggota Uncamord lainnya.”Damian mengangguk mendengar penjelasan ayahnya. Setelah Bella dirawat bersama ibunya di mansion, mereka bergerak lebih lanjut untuk menemukan kelompok Evren yang ikut berkhianat dalam pesta. Mereka menolak untuk bekerja sama, jadi Serpenquila membantai mereka semua.Setidaknya, hama di dunia para mafioso telah menghilang.“Yang lainnya sedang beristirahat setelah mendapat beberapa jahitan. Kau juga, Damian. Istirahatlah,” lanjut Martinez, menatap rahang, kepala, bahu, dan punggung Damian yang diperban.“Ya, Ayah juga.” Damian berdiri dari kursinya dan berhenti sejenak. Ia menatap Martinez, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Ayah. Selamat malam.”Martinez mengangguk dengan senyum kecil. “Sudah seharusnya aku melakukan ini, Nak. Selamat malam untukmu.”Damian melangkah pergi dan bergegas menuju kamarnya. Bella dirawat di sana dan masih tidak sadarkan diri.