“Kuenya sangat enak. Ibu sendiri 'kan yang membuatnya bersama yang lain?”Helena mengangguk, dan memberikan sepotong kue lagi ke dalam piring Bella. “Iya, kami membuatnya bersama-sama. Ibu senang kau menyukainya, Sayang. Damian juga sudah mencobanya?”“Sudah, Ibu. Dia menghabiskan tiga potong sebelum pergi ke sana.” Bella mengedikkan kepalanya ke seberang ruangan, tempat di mana Damian sedang bicara dengan rekan bisnis Martinez. “Ibu sudah makan?”“Sudah. Jangan khawatirkan, Ibu, ya.” Helena tersenyum simpul. Jemarinya dengan lembut merapikan leher gaun Bella yang terlipat, kemudian ia menatap wajah putrinya lekat-lekat.Terlihat jelas bahwa Helena masih tidak menyangka bahwa putri satu-satunya yang ia miliki telah menikah. Helena tidak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Setiap kali ia menatap Bella cukup lama, rasanya air matanya akan tumpah.Itu semua adalah air mata kebahagiaan.Seorang ibu yang sepanjang hidupnya membesarkan anaknya dalam keadaan menyedihkan, bahkan menyeretnya k
“Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar
Mirabesy menyiapkan tiga gaun pernikahan yang telah dijahit secara khusus untuk Bella.Besok adalah hari pernikahannya. Semuanya telah ditata pada tempatnya. Dekorasi. Kue pengantin. Makanan dan minuman. Bingkisan hadiah. Buket bunga. Kursi-kursi tamu. Area dansa. Dan terakhir, susunan acara.Bella merasa sangat gugup sejak pagi, meskipun ia telah melewati acara pertunangan yang tidak jauh berbeda.Tetapi pernikahan... adalah sesuatu yang jauh lebih sakral dan dalam dibanding sebuah pertunangan. Sebuah ikatan suci yang mengikat takdir dua insan dihadapan Tuhan. Menyatukan jiwa dan perasaan mereka ke dalam hubungan yang lebih serius dan kompleks.Setidaknya, itulah yang Bella pahami.Ia akan menyerahkan hidupnya pada Damian, begitu pula sebaliknya.Bella selalu menganggap kalau pernikahan adalah akhirnya. Ia hanya akan mencintai satu pria dalam hidupnya, dan dialah yang akan menjadi suaminya. Tidak ada yang lain.Damian.Damian Linford. Atau, Bella kecil yang lebih suka dengan Damian
“Letakkan di sana, ya taruh dengan benar. Jangan sampai lecet!”“Bunga itu letakkan di tengah! Susun semuanya dengan mawar dan bunga bakungnya.”“Kainnya dibentangkan! Jangan sampai kusut!”Mirabesy tanpa lelah mengatur dekorasi yang datang untuk pernikahan Damian dan Bella. Tempatnya diselenggarakan di aula sayap utama. Ruangan itu akan dihias dengan aneka mawar, dipadukan dengan bakung putih dan baby's breath.Mirabesy ingin nuansa putih dan lembut yang indah, layaknya janji pernikahan yang suci.Para pelayan sudah mondar-mandir sejak pagi, membawakan segala hal yang Mirabesy suruh. Suasana di mansion begitu sibuk dan riuh, tidak ada seorang pun yang duduk diam tanpa melakukan apa pun. Sementara itu, Helena bersama Melinda, Mochelle, Erina, dan Verona menyibukkan diri di dapur dengan membuat kue. Mereka memilih untuk membuat kue pernikahan 3 tingkat secara tradisional sesuai kebiasaan kota Hinton.Bella sendiri tidak diperkenankan untuk ikut membantu. Ia disuruh untuk menghabiskan
“Piceus!” Bella berlari menghampiri istal yang berada di belakang markas. Istal itu baru dibangun setelah Piceus dibawa ke markas. Damian menyadari bahwa hutan luas dan padang di belakang markas jauh lebih cocok untuk Piceus. Kuda hitam gagah itu meringkik ketika melihat Bella, seolah tengah menyambut kedatangan gadis itu. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Bella, tersenyum sumringah. Ia mengelus leher Piceus, kemudian memeluknya dengan ringan. “Bagaimana kabarmu?” Piceus kembali meringkik dan satu kakinya mengais-ngais tanah. Bella dan Damian tertawa. “Piceus juga merindukanmu,” sahut Damian, terkekeh. “Di sini, dia suka dengan suasana ramai dari anak-anak yang berlatih. Aku membiarkan mereka bermain dengan Piceus asal tidak menungganginya.” Bella mengelus-ngelus kepala Piceus. “Jadi hanya kau yang menungganginya?” “Sudah beberapa bulan aku tidak melakukannya. Jadi, mau berkuda bersama?” Bella menatap Damian sepenuhnya, lalu pintu belakang markas yang tertutup. Anak-anak i
Musim semi datang dengan cepat.Setelah melewati musim dingin yang suram dan membekukan, matahari yang bersinar keemasan di langit terasa begitu hangat.Bella menghirup napas dalam-dalam saat melangkahkan kakinya ke halaman. Pagi itu, langit berwarna biru, dipenuhi awan putih yang mengembang, empuk seperti bantal.“Kau tampak sangat senang,” ucap Damian, muncul di belakang Bella. Dengan santai, ia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Bella.“Aku suka musim semi,” gumam Bella.“Aku juga suka.”Bella mendongak. “Benarkah? Kenapa?”“Karena kau menyukainya, Sayang.” Damian menyeringai tipis, lalu mengecup puncak kepala Bella.Bella tertawa kecil. “Masih pagi.”“Aku bisa menggodamu setiap saat, kapan saja, dan di mana saja, Sayangku,” katanya dengan senyum miring.“Apa itu sesuatu yang patut dibanggakan?”“Tentu saja.”Bella spontan tertawa. Damian terkekeh dan mengecup puncak kepalanya sekali lagi. Ia melepaskan pelukannya, kemudian beralih menggenggam tangan Bella.“Sudah siap untu
“Bagaimana perasaanmu, Sayangku?”Bella menyandarkan punggungnya ke dada Damian dan menghela napas. “Jauh lebih baik,” ucapnya, tersenyum tipis. Ia mendongak dan Damian mengecup lembut dahinya.Damian baru kembali dari markas ketika melihat Bella sedang melangkah keluar kamar menuju balkon. Setelah hampir seminggu, dia sudah bisa berjalan-jalan, meskipun pergerakannya masih terbatas. Memar di tubuhnya juga mulai memudar seiring dengan salep yang diberikan oleh Dokter Jeanna.Bella menggeser posisinya di atas paha Damian dan beralih memeluk leher pria itu. Tangan Damian dengan sigap memeluk pinggang Bella, sementara satu tangannya yang bebas menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga.Mata Damian bergerak menelusuri wajah kekasihnya. Senyum perlahan terbit di bibirnya. “Cantik,” bisiknya, membelai pipi Bella. Tangannya berhenti di bekas samar tamparan di pipi Bella dan senyum Damian berubah menjadi sendu.“Ada apa?” Bella mengerutkan kening melihat ekspresi Damian.Damian menggel
Langit kelabu menaungi kota Rainelle. Angin kencang tak henti-hentinya berembus, menampar-nampar wajah Damian dengan keras. Sore itu, hujan sepertinya akan turun menyapa.Damian berdiri diam dibalik batang pohon pinus. Matanya tertuju pada bangunan tua yang berdiri di seberang jalan. Bau karat besi dan sampah busuk menyengat hidungnya, tetapi ia tetap berdiri di sana.Damian menggenggam erat pistolnya dan menajamkan pandangan. Urat sarafnya terasa tegang. Sudah setengah jam ia menunggu, tetapi Lester tak kunjung menampakkan batang hidungnya.Dari informasi yang ia dapatkan, Lester kembali ke rumah lamanya hari ini untuk melakukan transaksi. Damian tidak akan membiarkan pria itu lolos begitu saja. Dia mengambil andil sangat besar dalam rencana penculikan Bella.“Ya, para keparat itu sudah mati.”Sebuah suara terdengar dari seberang jalan. Damian menatap waspada dan menempelkan tubuhnya ke pinus di belakangnya.Sedetik kemudian, Lester muncul dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia
Untuk sesaat, Bella kira ia sedang bermimpi. Tetapi sentuhan tangan ibunya begitu nyata, mengelus lembut wajahnya. Air mata mendesak keluar, dan pada akhirnya Bella terisak kencang. Tanpa bisa ditahan, tangis Helena ikut tumpah. “Sayang...” gumam Helena dan tangis Bella mengencang. Betapa Bella merindukan suara ibunya. Setelah sekian tahun tidak bertemu, ini semua terasa seperti kemustahilan. “Ibu... ibu sungguh di sini?” Bella tersedak tangisnya sendiri. Ia ingin merangkul ibunya ke dalam dekapan, tetapi tangannya terlalu lemah untuk diangkat. “Ya, Ibu di sini, Nak. Ibu di sini...” Helena tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya dan membungkuk untuk memeluk Bella. “Anakku... Ibu merindukanmu. Ibu sangat merindukanmu.” “Aku juga sangat merindukan... ibu! Kupikir... kita tidak akan bertemu... lagi. Ibu sungguh di sini... Ini...” Bella terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat. Pelukan Helena menguat dan Bella merasa tenggelam dalam kerinduan yang menyakitkan. Untuk waktu yang l