Beberapa hari sudah terlewati dengan damai di kediaman Camilla Shawn. Hubungan wanita itu dengan Miller Sillas semakin dekat. Namun, sayangnya Max belum juga bisa menerima kedekatan di antara mereka berdua. Terkadang, dia mencibir atau bahkan memberikan tatapan dingin pada Camilla yang akan berlalu begitu saja. Melihat sang suami selalu melirik istrinya, Allora pun tak mau kalah. Berbekal tubuhnya yang seolah belum pernah melahirkan, wanita itu selalu mengenakan pakaian seksi setiap harinya, dan mempertontonkan keintiman hubungannya dengan Max. "Biarlah, aku sudah lelah. Masa-masa sedihku sudah lewat dan aku tidak peduli apa yang mereka lakukan," ucap Camilla suatu hari, kedua ekor matanya berlari mencari sosok Miller. "Lagi pula, aku sudah menemukan kebahagiaanku sendiri."Miller tersenyum dari sudut bibirnya. Max menangkap pemandangan itu dan dia pun bangkit dari kursinya seraya menunjuk, mereka berdua. "Kalian! Apa maksud senyum kalian itu! Ada apa dengan kalian berdua! Milla, in
Suasana di kediaman Camilla Shawn tampak tegang. Dua orang wanita saling berdiri berhadapan dengan gesture tubuh siap menyerang. “Oh, ya? Katakan sekali lagi padaku, Allora, hidup siapa yang ingin kamu buat seperti di neraka? Hidupku? Siapa yang memulai semua ini? Jika kamu tidak menggoda suamiku yang bodoh ini, kita tidak akan mengalami semuanya!” Camilla membalas Allora tanpa ampun. Kedua wanita itu tidak peduli dengan dua pria yang sedang menatap mereka dan tampak bingung tak tahu harus berbuat apa. Allora tidak mau kalah, gadis itu kembali menyerang Camilla dengan kata-katanya yang tak kalah tajam. “Aku tidak menggodanya! Kamu yang membuat suamimu kecewa, Milla! Kamu tidak bisa mendapatkan anak laki-laki dan sekarang, kamu menyalahkanku karena aku sanggup memberikan apa yang diimpikan oleh suamimu! Di mana salahku?”“Apa salahku jika aku berusaha merebut kembali suamiku dan mempertahankan rumah tanggaku? Apa pun akan kulakukan saat itu, Allora! Kurasa suamimu juga akan melakukan
"M-Max! Ap-, ...!"Seseorang yang ternyata Max itu kembali meninju wajah Miller sebelum pria itu sempat berdiri. "Eerrghhh! Shit! Max! Kamu gila!" Miller berpegangan pada sisi tembok dan merayap berdiri. Seperti seorang jagoan, Max menggerak-gerakkan jarinya meminta kembarannya itu untuk membalas serangannya. "Berdirilah! Balas aku! Balas aku, Miller!"Dengan tergopoh-gopoh, Miller melepaskan pegangannya pada dinding. Namun, belum juga dia berdiri dengan stabil, Max sudah memukulnya kembali. "Kamu ... Adalah ... Pria ... Paling ... Kubenci ... Di ... Seluruh ... Dunia ini! Kenapa kamu harus diselamatkan oleh istriku, Brengsek! Aargghh!" Max melayangkan pukulannya bertubi-tubi pada wajah Miller. Lebam-lebam yang baru saja memudar, kini, tercipta kembali berkat tangan saudara kembarnya. "Uhuk! Uhuk! Apa salahku, Max? Huh? Apa salahku!"Lelah memukul Max jatuh terhuyung di depan tubuh adiknya yang masih tergeletak. Dia tertawa. "Aku benci padamu! Aku berharap kamu mati, Miller! Lihat
Hubungan persaudaraan antara Miller dan Max tampaknya sudah tidak dapat terselamatkan lagi. Berkat pengakuan Miller yang mengatakan kalau dia dan Camilla sudah menjalani hubungan resmi, kebencian Max terhadapnya semakin memuncak. Setiap kali mereka berpas-pas-an, yang mereka lakukan hanyalah berdecih dan saling menyenggol pundak. Hal ini membuat Allora dan Camilla bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Terutama Allora. "Ada apa denganmu dan Miller? Kenapa tiba-tiba kalian bermusuhan? Apa ada hubungannya dengan Camilla?""Tidak usah ikut campur! Ini urusan keluargaku!" Max menjawab istri barunya itu sambil lalu. Kening Allora mengeriut, lalu, dia mengejar Max dan berjalan di sisinya. "Lho? Aku juga keluargamu, Max! Begitu pula dengan Alex!"Max mengembuskan napasnya panjang. "Ya, Sayang. Kamu dan Alex memang keluargaku, tapi, tingkatan kalian berdua berbeda."Setelah itu, Max mengecup kening Allora untuk menenangkan gadis itu. Namun, Allora mencebik dan mulai mengambil k
Demi menyenangkan sang gadis pujaan, Max pun menyetujui untuk menikah kontrak. Maka, dengan senang hati, Allora memamerkan berita itu kepada siapapun yang bersedia mendengarkannya. "Aduh, bulan ini aku akan menikah! Miller, hei, kamu tau, bulan ini aku akan menjadi istri Max. Senang sekali, bukan?"Miller mengangguk tak peduli. Ya, pria itu sudah tidak memikirkan apa pun tentang Allora. Isi kepalanya dipenuhi oleh Camilla saat ini. Maka, saat Miller mendengar kabar pernikahan Allora dan Max, pria itu mengeluarkan sebuah dokumen yang kemudian akan ditanda tangani oleh Allora. "Surat cerai. Mari kita akhiri hubungan ini,"Allora tersenyum dan dengan gayanya yang centil, dia mengambil alat tulis, dan membubuhkan tanda tangannya di secarik kertas itu. "Dengan senang hati, Sayang,""Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Allora. Sampai beberapa minggu yang lalu, aku masih mencintaimu, tapi kemudian aku sadar, kamu tak pantas untuk aku cintai," ucap Miller dengan nada suram. Namun, Allora
Max tercengang mendengar kabar kehamilan Camilla. Hatinya yang sejak kemarin berbunga-bunga karena akan menikah, kini, berubah menjadi suram. Seakan-akan bunga itu gugur dan layu. "K-kamu hamil? Sejauh apa hubungan kalian sampai kamu bisa hamil, Milla?""Sejauh hubunganmu dengan Allora. Kamu sendiri mau menikah, kan, Max?" tuntut Camilla yang tiba-tiba saja merasa kesal. Max masih tak percaya. Pria itu mengulik telinganya bergantian kanan dan kiri, berharap ada kotoran telinga yang keluar dari sana, dan dia hanya salah dengar. "K-kamu y-yakin? Maksudku, kamu yakin kamu hamil, Milla?" Max kembali menanyakan kehamilan itu pada wanita yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya itu. Camilla mengembuskan napasnya lelah dan kemudian memberikan alat uji kehamilan itu pada Max. "Untuk apa aku berbohong padamu, Max?"Max mengambil alat uji kehamilan itu dan kedua netranya terpaku pada dua garis biru yang ada di alat itu. "Tapi, kenapa, Milla?" Max masih belum yakin pada apa yang terjadi s
"Apa maksudmu, Max? Membatalkan pernikahan? Apa alasanmu?" Allora menghujani Max dengan pertanyaan.Bagaimana mungkin seseorang berubah hanya dalam waktu dekat? Saat itu, Max tampak bersemangat sekali untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Allora, tetapi, sekarang?"Apa yang membuatmu berubah begitu cepat, Max? Maksudku-, ...," Allora berjalan mondar-mandir di hadapan Max sambil memijat pelipisnya. Max tertunduk. Pria itu juga tidak paham mengapa kata-kata itu terlontar dari mulutnya. "Maaf, Allora. Aku salah bicara. Aku sedang bingung,"Allora memicingkan kedua matanya dan menatap calon suaminya itu dengan curiga. "Camilla, kan? Ya, pasti dia!""Apa yang kamu katakan kepadanya? Kamu ingin kembali pada Camilla, begitu, Max? Aarrgghhh! Jawab aku!" Allora terus berteriak frustrasi. "Dia sedang mengandung anak Miller," kata Max dengan nada suara suram dan kelam. Cinta untuk Miller rasanya sudah sirna di hati Allora. Gadis itu terlihat sangat kesal mendengar kabar itu, tidak seperti M
Camilla mengerenyitkan keningnya. Dia tak menyangka bahwa suaminya akan mengajak dia kembali. "Apa maksudmu, Max? Kamu mabuk?" Camilla bertanya dengan wajah heran dan menyentak tangannya. Seperti anak kecil yang takut ditinggalkan, Max mencari tangan Camilla, dan menggenggamnya kembali. "Aku sungguh-sungguh, Milla! Aku sedang tidak mabuk dan dalam keadaan sadar. Aku salah, aky siap salah! Maafkan perbuatanku dulu, Milla! Kumohon, maafkan aku,"Pria itu bersimpuh di hadapan Camilla sambil terus mencengkeram kedua pergelangan tangan istrinya. Namun, Camilla tak mengindahkan permohonan dari Max. "Apa-apaan kamu, Max! Aku tidak bisa dan jangan memohon padaku seperti itu! Kita sudah memiliki jalan dan pilihan masing-masing, jadi, ayo, kita fokus dengan itu saja!" Camilla berusaha mendorong tubuh Max supaya menjauh. Usaha terakhirnya membuahkan hasil. Max jatuh terjengkang ke belakang dan Camilla, tidak peduli dengan itu. "Aku minta maaf, Milla! Maafkan aku." Max terus-terusan memohon