Seika sontak berhenti melangkah lantas berbalik menatap Devan yang sedang duduk di meja kerjanya. Ini ada adalah kali kedua dia masuk ke dalam ruangan lelaki itu dan dia baru menyadari kalau ruangan Devan ternyata sangat nyaman. Bahkan tidak terkesan seperti ruangan direktur utama pada umumnya."Saya mau kembali bekerja, Pak. Apa Bapak butuh sesuatu?" Seika berusaha profesional meskipun dia rasanya ingin sekali mengobrak-abrik wajah tampan Devan karena sudah lancang mengambil ciuman pertamanya.Devan bersandar di tempat duduknya lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Lihat, Cherry."Seika sontak menatap Cherry. Mulut gadis itu sontak menganga lebar karena wajah Cherry terlihat sangat memerah, kedua matanya pun berkaca-kaca, seolah-olah ingin menangis.Seika pun cepat-cepat menghampiri Cherry lalu duduk di samping anak itu. "Cherry, kenapa?" tanyanya terdengar penuh pengertian sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Cherry."Cherry nggak mau Mama pergi. Cherry mau terus
Devan melepas kaca mata minus yang bertengger di hidung mancungnya lalu melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Tidak terasa sudah dua jam lebih dia berkutat dengan tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Pantas saja dia mulai merasa sedikit lelah.Devan meraih secangkir kopinya yang ada di atas meja, tapi kopinya ternyata sudah habis. Dia pun beranjak dari tempat duduknya, ingin melihat Cherry sekaligus meminta tolong Seika untuk membuatkannya kopi lagi.Devan bergeming di tempat, perasaan hangat sontak menjalari hatinya melihat Cherry yang sedang tertidur lelap dalam dekapan Seika. Devan pun berjalan mendekat, lantas mendudukkan diri di tepi ranjang. Tangan kanannya perlahan bergerak, mengusap puncak kepala Cherry dengan penuh sayang.Cherry menggeliat pelan karena merasa tidurnya terganggu, tapi tidak lama kemudian anak itu kembali tidur. Cherry benar-benar terlihat sangat menggemaskan.Devan pun mengalihkan pandangannya, menatap Seika yang sedang tertidur l
Seika mendesah panjang. "Ada apa lagi sih, Pak? Kerjaan saya tuh, banyak. Kalau saya tidak segera kembali ke pantry Mbak Maya pasti—""Kamu berani membantah saya? Kalau saya bilang duduk ya, duduk!"Seika berdecak lalu mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di depan Devan dengan kesal sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Mirip seperti anak TK yang sedang menunggu giliran pulang."Kenapa mukamu cemberut seperti itu? Apa terjadi sesuatu?" tanya Devan heran karena Seika mendadak bad mood setelah membuat kopi untuknya."Kepo," sahut Seika datar. Gadis itu bahkan tidak merasa takut sedikit pun padahal lawan bicaranya sekarang adalah Devan.Seika benar-benar kesal karena Devan membuatnya menjadi bahan gunjingan orang satu kantor. Lelaki itu bahkan mencium bibirnya ketika di restoran Jepang tadi.Kenapa dia harus bertemu dengan lelaki yang sangat menyebalkan seperti Devan, sih?"Seika!" Devan menatap Seika dengan tajam karena gadis itu mulai berani melawannya."Saya tuh, lagi ke
Seika cepat-cepat membubuhkan tanda tangannya di surat perjanjian tersebut tanpa membaca lagi poin-poin penting yang tertulis di sana. Dia bahkan tidak tahu konsekuensi apa yang akan dia dapatkan jika melanggar perjanjian tersebut. Devan tersenyum sangat puas karena dia sebentar lagi bisa bekerja dengan tenang jika Cherry bersama dengan Seika. "Terima kasih atas kerja samanya, Nona Seika," ucap Devan sambil mengulurkan tangan kanannya seperti yang selalu dia lakukan jika berhasil bekerja sama dengan klien-nya. Seika mendengkus kesal lalu menyambut uluran tangan Devan dengan malas. "Ini namanya bukan kerja sama, Pak. Tapi pemaksaan." "Saya tidak peduli, yang terpenting kamu sudah menandatangani surat perjanjian ini." "Bagaimana kalau saya membatalkannya?" "Memangnya kamu berani?" Devan menatap Seika dengan alis terangkat sebelah seolah-olah menantang. "Tentu saja berani," jawab Seika penuh percaya diri. "Kalau begitu beri saya uang lima ratus juta sebagai kompensasi." "A-apa?"
Bara refleks menginjak rem mobilnya karena terkejut mendengar suara Seika. Untung saja lampu sedang menyala merah. Jika tidak, dia pasti sudah menerima umpatan dari pengendara lain karena berhenti mendadak."Maaf kalau pertanyaanku membuatmu terkejut. Aku cuma—" Bara tidak melanjutkan kalimatnya karena Seika memotong ucapannya."Kenapa kamu bisa mengira aku mempunyai hubungan spesial dengan Pak Devan, Bara? Apa kamu percaya dengan gosip yang beredar di kantor?"Bara tidak menjawab. Jujur saja dia merasa sangat terganggu dengan gosip yang menyebar di kantor jika Seika sedang menjalin hubungan dengan Devan. Apa lagi dia tadi melihat gadis itu sedang berciuman dengan Devan di restoran Jepang.Apa salah kalau dia menganggap mereka benar-benar mempunyai hubungan spesial?Seika menghela napas panjang. Diamnya Bara sudah menjawab semuanya. Sepertinya lelaki itu percaya dengan gosip tersebut. "Astaga, Bara! Jangan bilang kamu percaya dengan gosip itu?!"Bara malah tersenyum sambil menggaruk t
"Tidak perlu. Sebaiknya kamu segera menyiapkan makanan karena Satria sebentar lagi pulang." "Tapi ...." "Ah, sudahlah." Bara beranjak dari tempat duduknya lalu menyeret Seika dengan paksa ke dapur. Dia harus menghentikan Seika sebelum gadis itu melakukan hal yang lebih gila untuk membuat jantungnya berdebar. Seika mengeluarkan ayam, wortel, kentang, dan kembang kol dari dalam lemari es karena dia ingin membuat sup. "Tolong kupas wortel dan kentang ini ya, Bara. Kamu bisa, kan?" Bara sebenarnya tidak yakin bisa mengupas sayuran tersebut karena dia tidak pernah terjun ke dapur. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin." Seika terkekeh palan lalu mulai memasak. Dia memotong setengah kilo ayam menjadi beberapa bagian lalu merebusnya. Setelah itu menyiapkan bumbu dan sayuran yang lainnya. Bara diam-diam memperhatikan Seika. Tangan gadis itu terlihat begitu cekatan dan terampil saat memotong sayuran dan meracik bumbu masakan. Entah kenapa Bara merasa sangat bahagia sekarang. Dia seolah-o
"Terima kasih banyak untuk makanannya, Satria.""Sama-sama, Pak—em maksudku Devan." Satria meralat ucapannya karena Devan memintanya agar berbicara santai."Baiklah kalau begitu. Saya dan Cherry pamit pulang dulu. Ayo, Cherry kita pulang." Devan mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh Cherry."Mama nggak ikut pulang sama kita, Pa?" tanya anak perempuan itu polos.Seika terenyak mendengar pertanyaan Cherry barusan, begitu pula dengan Satria dan Bara. Namun, Devan begitu sabar menghadapi Cherry meskipun dia sendiri juga terkejut. "Tidak, Sayang. Kak Seika tidak bisa ikut bersama kita." Wajah Cherry seketika berubah sendu karena dia sebentar lagi harus berpisah dengan Seika. Padahal dia masih ingin menghabiskan waktu dengan gadis itu."Cherry jangan sedih, ya?" Seika berongkok agar tingginya sejajar dengan Cherry. "Besok kita pasti bertemu lagi," ucapnya sambil mengusap puncak kepala Cherry dengan penuh sayang. Padahal Seika tidak begitu suka dengan anak-anak, tapi aneh
"Nah, kalau begini kan, rapi."Devan tergagap mendengar suara Seika. Rasa panas sontak menjalari wajah tampannya, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya. Dia sontak mundur dua langkah ke belakang lalu mengajak Cherry berangkat sekolah."Ayo, Cherry, kita berangkat.""Terima kasih," sindir Seika karena Devan masuk ke dalam mobilnya begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih pada dirinya. Padahal dia sudah membantu lelaki itu memakai dasi.Devan benar-benar menyebalkan dan tidak tahu berterima kasih!"Kenapa kamu masih berdiri di situ, Seika? Cepat masuk!"Seika mendengkus kesal lalu membuka pintu mobil Devan bagian belakang."Siapa yang menyuruh kamu duduk di belakang? Memangnya saya supir kamu?"Seika menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak lalu membuka pintu bagian depan dan duduk di samping Devan sambil memangku Cherry."Jangan lupa pakai sabuk pengaman.""Iya, bawel," sahut Seika ketus."Kamu bilang apa?" Devan menatap Seika dengan taj