"Nah, kalau begini kan, rapi."Devan tergagap mendengar suara Seika. Rasa panas sontak menjalari wajah tampannya, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya. Dia sontak mundur dua langkah ke belakang lalu mengajak Cherry berangkat sekolah."Ayo, Cherry, kita berangkat.""Terima kasih," sindir Seika karena Devan masuk ke dalam mobilnya begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih pada dirinya. Padahal dia sudah membantu lelaki itu memakai dasi.Devan benar-benar menyebalkan dan tidak tahu berterima kasih!"Kenapa kamu masih berdiri di situ, Seika? Cepat masuk!"Seika mendengkus kesal lalu membuka pintu mobil Devan bagian belakang."Siapa yang menyuruh kamu duduk di belakang? Memangnya saya supir kamu?"Seika menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak lalu membuka pintu bagian depan dan duduk di samping Devan sambil memangku Cherry."Jangan lupa pakai sabuk pengaman.""Iya, bawel," sahut Seika ketus."Kamu bilang apa?" Devan menatap Seika dengan taj
"Mama ...."Seika tergagap mendengar suara Cherry. "Iya, Sayang.""Kenapa Mama sedih?" Pertanyaan Cherry barusan sukses membuat Seika terkejut."Siapa yang sedih? Kakak tidak—" Seika tidak melanjutkan kalimatnya karena Cherry tiba-tiba memeluknya dengan erat."Cherry sayang banget sama Mama."Seika tanpa sadar tersenyum, ada perasaan hangat yang menjalari hatinya. Dia tidak perlu merasa berkecil hati jika Devan masih mencintai mendiang istrinya karena dia masih memiliki Cherry benar-benar tulus meyanyanginya."Kakak juga sayang sekali sama, Cherry," ucap Seika sambil balas memeluk Cherry."Mama, Mama ....""Iya, Sayang?" Seika melepas Cherry dari dekapan lalu menatap anak itu."Cherry ingin pergi ke taman bermain.""A-apa?" Seika tampak terkejut karena Cherry tiba-tiba ingin pergi ke taman bermain."Kemarin teman Cherry ada yang naik komedi putar sama mamanya. Cherry juga ingin naik komedi putar sama Mama." Cherry menatap Seika dengan penuh harap. Tatapan sendu anak itu selalu berhasi
Seika berulang kali menatap sekotak macaron yang ada di atas pangkuannya sambil senyum-senyum tidak jelas. Roma merah pun menghiasi kedua pipinya. Entah kenapa Seika merasa sangat bahagia hanya karena sekotak macaron pemberian Devan. Jantung gadis itu sekarang bahkan berdegup kencang. Debaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, bahkan ketika dia sedang bersama dengan Arka.Apa dia tertarik dengan Devan?"Kita sudah sampai, Nona." Seika tergagap lantas mengedarkan pandang ke sekitar setelah mendengar ucapan sopir yang mengantarnya. Dia tidak sadar jika mobil yang ditumpanginya sudah berhenti tepat di halaman rumahnya karena memikirkan Devan.Seika pun segera turun lalu mengucapkan terima kasih pada sopir tersebut. "Terima kasih banyak ya, Pak.""Sama-sama, Nona."Seika baru masuk ke rumah setelah memastikan mobil tersebut tidak terlihat lagi oleh pandangannya. "Bang Sat!" teriaknya kencang membuat Satria yang sedang menonton TV di ruang tengah seketika menoleh ke arahnya."Baru
Taman bermain yang ada di pusat kota itu terlihat sangat ramai, apalagi saat weekend seperti sekarang. Banyak orang-orang yang menghabiskan waktu di sana untuk mencari hiburan, termasuk Seika, Devan, dan Cherry. Anak perempuan itu terlihat sangat bahagia akhirnya bisa pergi ke taman bermain bersama papa dan gadis yang dia anggap sebagai mama. "Asyik! Taman bermain!"Seika tersenyum melihat Cherry yang sedang melompat-lompat dengan penuh kegirangan. "Cherry jangan pergi jauh-jauh. Tetap di samping kakak sama Papa, ya?"Cherry mengangguk lalu kembali menghampiri Seika dan Devan dan berdiri di tengah-tengah mereka. "Mana tangan Mama sama Papa?""Eh?!" Seika terkejut karena Cherry tiba-tiba meraih tangan kanannya. Begitu pula dengan Devan."Cherry senang sekali hari ini. Terima kasih banyak Mama, Papa," ucap Cherry sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya sebelah kiri seperti Devan.Seika ikut tersenyum. "Sama-sama, Sayang."Mereka pun segera masuk ke taman bermain. Devan begitu
Devan bergeser ke sebelah kanan, lalu meminta Cherry untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk Cherry dengan erat.Waktu berjalan dengan begitu cepat. Devan tidak menyangka kalau Cherry sekarang sudah berusia lima tahun. Rasanya seperti baru kemarin dia menemani mendiang sang istri melahirkan Cherry, mengganti popok, serta bangun di tengah malam untuk membuat susu jika Cherry sedang rewel.Devan mengurus Cherry sejak bayi sendirian, kadang dibantu Diana karena dia tidak percaya Cherry dipegang oleh orang lain, tapi anehnya dia malah meminta Seika untuk menjadi pengasuh Cherry.Devan menunduk agar bisa melihat Cherry yang berada di dalam dekapannya. Putri kecilnya itu ternyata belum tidur padahal sekarang sudah hampir jam sepuluh malam. "Kenapa Cherry belum tidur? Apa Cherry mau papa buatin susu?"Cherry menggeleng pelan. "Papa, kenapa Mama Seika tidak tinggal bersama kita?"Devan menghela napas panjang. Semakin b
"Lima menit lagi?!" Seika sibuk mencerna perkataan Devan hingga tidak menyadari kalau lelaki itu sudah menutup teleponnya.Seika terhenyak ketiks melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Jarum panjang menunjuk angka lima, sedangkan jarum pendek berada di antara angka tujuh dan delapan. Ternyata sekarang jam setengah delapan kurang empat menit.Seika tidak menyadari sudah menghabiskan waktu satu menit hanya untuk memikirkan ucapan Devan. Dia pun cepat-cepat bersiap-siap untuk menyambut kedatangan lelaki itu."Kenapa Pak Devan mendadak banget sih, bilangnya kalau mau datang ke sini?" Seika mengeringkan rambutnya dengan cepat. Setelah itu memakai bedak dan lip tin berwarna natural agar wajahnya tidak terlihat pucat.Tidak lama kemudian terdengar suara mobil yang memasuki halaman. Seika mengikat rambutnya dengan asal sebelum keluar karena Devan sudah datang."Siapa, Dek?" Satria hendak ke depan untuk memeriksa siapa yang datang. Namun, dia tidak jadi melakukannya ketika melihat Seik
Devan kembali menambah kecepatan mobilnya setelah melewati tikungan. Dia ingin cepat-cepat tiba di klinik setelah Seika memberitahu dirinya kalau Cherry tiba-tiba saja batuk lalu pingsan.Devan memarkirkan Mercedes Benz G65 miliknya dengan asal begitu tiba di klinik yang berada di dekat rumah Seika lalu berlari menuju ruang unit gawat darurat."Cherry!" teriaknya lumayan kencang membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut sontak menoleh ke arahnya, termasuk Seika.Gadis itu sontak berdiri dari tempat duduknya, memberi ruang Devan untuk melihat kondisi putrinya. Dia hanya bisa menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin ketika Devan berjalan melewatinya.Devan menghampiri Cherry yang terbaring lemas di atas brankar. Wajah Cherry terlihat sangat pucat, bibirnya kering, dan badannya agak demam. Anak itu langsung tidur setelah mendapat obat dari dokter."Anak saya kenapa, Dokter?" tanya Devan pada dokter yang memeriksa Cherry."Sepertinya alergi putri Bapak
"Bagaimana keadaan Nona Cherry, Tuan?" tanya Pramudya ketika selesai menemani Devan rapat."Sudah jauh lebih baik, Pak.""Syukurlah, Tuan. Saya senang mendengarnya.""Terima kasih, Pak. Untung saja ada Seika. Kalau tidak ada Seika saya pasti tidak bisa bekerja dengan tenang karena memikirkan Cherry."Devan mendudukkan diri di kursi kebanggaannya lalu memijit pelipisnya yang terasa penat. Devan merasa lelah karena pekerjaannya beberapa hari ini sangat banyak dan lumayan menyita waktu istirahat juga tenaganya. Dia bahkan selalu pulang larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya."Anda baik-baik saja, Tuan?""Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Tolong minta OB untuk membuatkan saya kopi dan—" Devan memejamkan kedua matanya erat-erat karena kepalanya mandadak pusing. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tapi Devan tetap memakasakan diri untuk bekerja. "Apa Bapak sudah menyiapkan laporan yang saya minta?""Sudah, Tuan." Pramudya memberikan berkas yang Devan minta lalu meminta OB agar membuat k