LOGIN“Bisakah Ibu libur lebih sering? Kenapa Ibu hanya libur dua hari dalam seminggu? Terkadang, Ibu hanya libur hari Minggu saja, karena hari Sabtu ayah suka sibuk.” Aku menuangkan susu putih ke mangkuk berisi sereal untuk Lily, lalu menjawab, “Bisa saja, Cantik. Kalau sedang musim liburan, seperti Paskah dan Natal, Ibu bisa libur. Bahkan, ayahmu juga libur bersama Ibu.” Lily bersungut-sungut, mata birunya menatap susu yang mengalir dengan tatapan kecewa. Kakinya yang menggantung, dia ayun-ayunkan perlahan. “Aku tidak ingin hanya saat hari libur seperti itu. Yang aku inginkan, Ibu libur di hari aku sekolah, supaya Ibu bisa mengantarku ke sekolah, menunggu di sekolah sampai aku pulang, lalu saat pulang sekolah, aku dan Ibu pergi beli es krim.” Dia memberi jeda untuk mendongak menatapku, tepat ketika aku selesai menuang susu. Kemudian, dia melanjutkan, “Setelah makan es krim, kita makan siang bersama, main Barbie bersama, lalu Ibu membacakan dongeng untukku sebelum tidur siang. Sore har
“Tadi siang, aku naik kuda putar bersama kakek di taman bermain.”Aku tersenyum pada Lily, sementara tanganku terus bergerak membantunya merapikan mainan. “Oh, ya? Apakah itu menyenangkan, Cantik?”Lily mengangguk berkali-kali dengan lengkungan manis yang terukir di bibirnya. “Menyenangkan sekali, Ibu! Kata nenek, karena minggu depan nenek dan kakek sudah pulang ke Florida, Ibu yang akan mengajakku ke taman bermain.”“Begitu, ya? Baiklah, Ibu akan mengajakmu ke sana minggu depan. Tapi....”Lily langsung mengerucutkan bibir begitu aku menyebut ‘tapi’, paham bahwa aku akan memberikan syarat.Aku tertawa pelan melihat reaksinya itu. Sambil duduk bersila di karpet bulu berwarna putih di kamar Lily, aku melanjutkan, “Tapi, anak Ibu yang cantik ini harus belajar menyusun mainan dengan rapi dulu. Supaya mainanmu tidak cepat rusak.”Meski sambil bersungut-sungut, tetapi Lily tidak membantah.Kubongkar kembali kotak penyimpanan mainan di kamarnya, lalu mengajaknya untuk merapikan mainan dengan
“Aku berpikir untuk menceraikan Paula.” Mendengar kalimat yang dilontarkan Mark, aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Apakah aku harus merasa prihatin? Atau justru... senang? Karena apabila dia dan Paula bercerai, ancaman yang mengintai jika aku mengaku padanya bahwa aku hamil, bisa berkurang, meski tak menutup kemungkinan dia tetap akan menyuruhku aborsi. Kudorong salivaku, lantas ragu-ragu bertanya, “Kenapa? Maksudku... kenapa kau berpikir melakukan itu?” Aku tahu, Mark enggan menjawab. Tak heran jika keheningan kembali menyelimuti atmosfer di sekeliling kami. Sampai akhirnya, mobil yang Mark kendarai berhenti di lampu merah persimpangan bercabang Fifth Avenue, Mark berkata, “Aku baru saja mendapatkan bukti kuat, bahwa Paula benar-benar selingkuh dariku selama di Berlin.” Aku terdiam. “Selama dua tahun, dia meninggalkanku dan Lily untuk selingkuh, Anna.” Mulutku semakin terkunci rapat. Begitu akhirnya Mark menoleh ke arahku, aku menemukan sebongkah luka ba
Aku memastikan rambutku sudah tertata rapi, sebelum kemudian berdiri tegak di depan cermin, dan berputar pelan untuk memandangi bagaimana gaun biru tua satin yang kukenakan terlihat di tubuhku.Gaun itu memiliki panjang semata kaki, tetapi bagian samping kirinya membelah, sehingga menampakkan kaki kiriku sampai paha.Model lengannya agak terbuka, dan bagian dadanya berbentuk V tanpa menonjolkan belahanku.Tapi terlepas dari bagaimana bagusnya model gaun itu, aku takjub pada betapa gaun itu pas sekali di tubuhku.Apakah Mark yang memilihkan ini sendiri untukku? Bagaimana dia bisa begitu akurat mengetahui ukuran tubuhku?“Anastasia.”Aku menoleh ke arah pintu kamar, mendengar suara Mark yang memanggil, sembari mengetuk pintu dengan ketukan halus.Kuraih tas hitamku di pinggir kasur, lantas bergegas untuk keluar dari kamar.“Aku sudah siap,” kataku begitu membuka pintu dan menemui Mark di depan kamar.Seharusnya Mark langsung menyuruhku untuk bergegas bersamanya.Tapi setelah kami berdir
“Steven?!” Aku sedikit membelalak. “Apa yang kau lakukan di sini?”“Menjemputmu,” jawabnya enteng. Dia menunjuk Jane dengan dagunya, lantas melanjutkan, “Jane bilang, ada ibu hamil yang membutuhkanku.”Aku tercengang.Segera kualihkan tatapanku ke arah Jane. “Kau memberitahunya?! Tanpa sepengetahuanku?!”Dia tidak menjawab, malah langsung memaksaku untuk masuk ke mobil.“Masuk dulu saja! Kita bicara di jalan,” katanya.Jane membuatku duduk di kursi depan, persis di samping Steven yang menyetir mobil. Sedangkan dia duduk di kursi belakang.Aku tak berhenti protes pada mereka berdua, terutama kepada Jane yang mendatangkan Steven tanpa mengatakan apa-apa dulu padaku.Saat aku baru selesai periksa kandungan pula.Itu memberi keterangan jelas bahwa Steven... sudah tahu aku hamil.“Ini demi kebaikanmu, Anna. Kau harus mulai membahas dengan Steven tentang kondisimu, bahwa kau mungkin ‘akan’ membutuhkan bantuannya jika situasi memburuk. Aku khawatir pada keselamatanmu dan bayimu,” tutur Jane.
Membawa amplop cokelat yang kuambil dari lemari, aku bergegas keluar dari kamar utama, dan menutup pintunya rapat-rapat seperti tak tersentuh.Cemas bukan main dengan nasib hasil USG pertamaku, aku masih gemetar ketika pergi ke kamarku di lantai bawah, lalu menyimpan amplop itu baik-baik di dalam tasku.Ini benar-benar gawat!Kenapa hasil USG itu tidak ada?!Mengingat benda itu ada di dalam kamar utama, maka jelas yang bisa menyentuhnya hanya Mark, Paula, dan mungkin pelayan yang bertugas membersihkan kamar.Tapi mana mungkin pelayan berani menyentuh barang yang kelihatan penting di dalam lemari?“Kemarilah, Anna! Minum teh bersama kami,” panggil Morgan Lawrence ketika aku baru menutup pintu kamar tamu yang kutempati.“I-iya, Tuan!” jawabku spontan.Setelah menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya perlahan—berusaha menenangkan diri—aku segera pergi ke ruang keluarga Lily bersama kakek dan neneknya mereka berada.Mereka sedang bersantai menikmati teh, sedangkan Lily menikmati







