Edgar menarik napasnya, berusaha menekan amarahnya saat melihat dapurnya nyaris terbakar karena ulah gadis remaja yang kini berteriak histeris di sisinya.
"Om... kebakaran, Om!" teriak Lolita merapatkan tubuhnya pada Edgar.
"Apa yang kau lakukan tadi, huh! Bagaimana bisa terbakar?!" Kesabaran Edgar sekarang benar-benar menipis karena banyaknya kekacauan yang Lolita timbulkan di apartemennya. Setelah merobek sofanya, sekarang gadis itu nyaris membakar apartemennya!
Semua kekacauan ini terjadi sejak satu minggu yang lalu. Saat Roy, sahabat Edgar meminta Edgar untuk memperbolehkan Lolita, anaknya tinggal di apartemen Edgar untuk sementara.
Dengan alasan Roy ingin pulang kampung, tapi Lolita bersikukuh tidak mau ikut. Jadi, Roy memilih untuk menitipkan Lolita pada Edgar. Meski, sebenarnya Edgar bukanlah pilihan terbaik karena Roy tahu persis Edgar pria yang seperti apa. Mesum dan arogan! Tapi, Roy tidak memiliki saudara atau sahabat lain yang bisa dia minta tolongi.
Dan sejak saat itu, kehidupan Edgar yang tenang berubah.
"Aku hanya ingin memasakkan Om sarapan. Tapi, apinya justru menjadi besar saat aku meletakkan lap di sini," tunjuk Lolita ke arah samping kompor dengan bibir mengerucut, berharap dia bebas dari amukan Edgar. Karena kalau sampai pria itu marah, tamatlah riwayatnya. Bisa-bisa Lolita disuruh tidur di luar seperti ancaman yang sering Edgar lontarkan padanya.
"Om, bisa mengatasinya sendiri kan?" tanya Lolita sebelum Edgar memberikan respon karena terlalu terkejut dengan kelakuan ajaib Lolita ini. Semua benda yang Lolita pegang pasti berujung rusak kalau tidak pasti menimbulkan bencana bagi Edgar.
"Kalau Om bisa, aku pergi ke kamar dulu ya. Aku harus membalas pesan daddyku. Om tahu sendiri kan daddyku sangat cerewet." Lolita menepuk bahu kekar Edgar dan langsung melesat ke kamarnya, meninggalkan Edgar yang sekarang menggeram kesal.
"Arghh… menyebalkan! Dasar gadis pembuat ulah!"
Lolita menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Dia melepaskan napas lega dari hidung mungilnya. Akhirnya dia terbebas dari amukan Edgar.
"Bagaimana ya liburan daddy di rumah nenek?" Lolita meraih ponselnya di meja dan membuka akun sosial media ayahnya. Dia mengulas senyum begitu melihat ayahnya berkubang di lumpur bersama babi-babi yang diternak neneknya. Tapi, senyumnya memudar setelah menemukan foto di slide berikutnya. Di dalam foto tersebut terlihat ayahnya duduk bersama neneknya, dan anak laki-laki yang merupakan cucu kedua dari keluarga Clark. Mereka tampak bahagia dengan senyum merekah yang mereka tunjukkan. Meski, Lolita cucu pertama, tapi dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari neneknya. Neneknya begitu membenci Lolita karena mendiang ibu Lolita merupakan bekas pelacur yang menikah dengan putra sulungnya. Padahal itu bukan murni kesalahan Lolita, tapi dia selalu dicap sebagai anak pembawa sial, bahkan di saat dia masih kecil.
Lolita meletakkan ponselnya kembali ke meja dengan murung. Bahkan kekasihnya memilih untuk memutuskannya karena dia tidak mau ikut terbawa sial oleh Lolita.
"Lolita!" teriakan Edgar yang menggelegar menyentak Lolita dari lamunannya.
"Waduh, mati aku!" Lolita beringsut turun dari tepi tempat tidur. Dia melangkah pelan dan hati-hati menghampiri Edgar.
"Ada apa, Om?" tanya Lolita dengan wajah polos yang semakin memancing emosi Edgar berkobar kembali.
"Cepat kau bersihkan lantai dapur yang sudah kau buat gosong! Dan jangan pernah menyentuh apapun di dapurku lagi!" Edgar melempar kain lap ke arah Lolita. Dia kemudian pergi untuk menenangkan pikirannya.
"Lihat, Lolita. Kau memang pembawa sial." Lolita menatap lantai yang kotor dengan pandangan sendu. Tapi, kemudian dia menggenggam tangannya untuk menyemangati dirinya. "Kau pasti bisa, Lolita. Kau bukan pembawa sial. Kau hanya kurang hati-hati."
Baru saja Lolita berhenti berucap, dia tidak sengaja mengibaskan lapnya sampai terlepas dari tangannya. Lap itu mendarat di meja makan, membuat vas bunga di sana jatuh ke lantai dan pecah menjadi beberapa bagian.
"Bagaimana ini? Vas bunganya pasti mahal."
Sementara itu, di sebuah club malam paling eksklusif di kota New York, Edgar sedang memarkir mobilnya. Lalu, dia melangkah tegas menuju ruangan VIP yang selalu tersedia untuknya.
Semua pengunjung club terpana melihat ketampanan Edgar, CEO perusahaan kosmetik Beauty Corp yang sedang menduduki peringkat tertinggi dunia bisnis.
Selain tampan, Edgar juga memiliki tubuh yang bagus, dan kekayaan yang melimpah. Semua wanita rela mengantre untuk menjadi istrinya. Tapi sayangnya Edgar tidak memerlukan seorang istri. Dia sudah menutup pintu hatinya sejak lama.
"Tuan Edgar," sapa pemilik club yang begitu menyegani Edgar.
"Panggilkan Loren sekarang! Suruh dia memakai pakaian yang baru saja aku belikan," balas Edgar kepada pemilik club.
"Baik, Tuan." Pemilik club membungkuk singkat dan berderap memanggil Loren, salah satu wanita sewaan yang bekerja di club ini, yang sudah menjadi langganan Edgar.
Edgar menunggu di dalam ruang VIP dengan menyesap sampanye pesanannya. Dia lalu menarik alis tebalnya ke atas begitu seorang wanita muncul dari balik pintu yang terbuka.
Wanita berambut pirang dengan tubuh molek yang hanya dilapisi lingerie berbahan tipis melangkah mendekati Edgar. Dia tersenyum senang melihat Edgar lagi setelah dua hari pria itu tak memunculkan batang hidungnya di club.
"Tuan Edgar, senang bisa melihat Anda lagi. Saya sangat merindukan Anda. Merindukan sentuhan Anda, dan milik Anda." Si wanita duduk di pangkuan Edgar. Salah satu tangannya mengelus kejantanan Edgar yang masih dilapisi celana.
Edgar mendesah pelan karena gerakan tangan Loren di kejantanannya. "Ah... kau semakin liar, Loren."
-Bersambung-
Lolita sibuk meraup pecahan vas dengan kedua tangannya. Karena kurang hati-hati, tangannya tertusuk salah satu pecahan yang membuatnya terluka. Darah segar mengucur dari bagian yang menganga itu. Dia meringis menahan sakitnya.Lolita hendak berlari mengambil obat merah, tapi dia mengurungkan niatnya saat suara pintu terbuka ditangkap oleh pendengarannya. Om Edgar cepat sekali pulang, padahal biasanya baru pulang saat larut malam, pikir Lolita yang mencoba menengok ke arah ruang tamu.Mata Lolita seketika melebar melihat Edgar sedang menggendong seorang wanita yang nyaris telanjang, hanya celana dalam berenda yang masih menempel di tubuh wanita itu. Mereka sedang berciuman panas. Edgar lalu meletakkan sang wanita ke sofa. Dan apa yang Edgar lakukan setelahnya membuat pipi Lolita bersemu merah."Boleh kan aku melihatnya?" tanya Lolita pada dirinya sendiri, membalikkan tubuhnya membelakangi Edgar. Dia masih bersembunyi di balik dinding, menimbang-nimbang apakah dia boleh melihat atau tid
Lolita masih terjaga sampai jam yang menempel di dinding menunjukkan angka tiga pagi. Dia mendesah pelan. Lolita tidak bisa terlelap karena ada yang mengganggu pikirannya.Dia kemudian meraih ponselnya yang ada di meja nakas, mengetikkan sesuatu di sana. Dan pipi Lolita kembali dipenuhi semburat merah. Lolita menatapi video-video dewasa yang muncul di layar ponselnya. Dia penasaran dengan apa yang Edgar dan wanita asing itu lakukan semalam. Sebab selama ini Lolita terus menutup diri dari hal-hal yang ayahnya anggap tabu. Ayahnya selalu mengelak setiap kali Lolita bertanya. Sampai akhirnya Lolita memilih diam tanpa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Rasa penasaran Lolita semakin bertambah saat melihat teman-temannya bermesraan, dan melakukan hal yang tidak senonoh secara terang-terangan di dalam kelas. Mereka berkata jika bercinta sungguh nikmat dan rasanya seperti kupu-kupu beterbangan di perut. Bahkan ada yang bilang jika rasanya seperti menemukan surga. Lolita dianggap terlalu
Lolita mencoba menyingkirkan hal-hal kotor dari dalam kepalanya. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsunya lagi, dan berakhir terangsang seperti yang sudah-sudah. Lolita memilih menyibukkan dirinya dengan membersihkan apartemen Edgar. Dia sudah menyapu, mengepel, dan mengelap perabotan di apartemen ini. Semua ruangan sudah bersih, hanya tinggal satu ruangan yang belum tersentuh. Yaitu kamar Edgar. Kamar Edgar ada di samping kamar Lolita, tapi sejak Lolita menginjakkan kakinya di sini, dia sama sekali belum melihat seperti apa kamar Edgar. Dan tidak tahu alasan kenapa dia selalu dilarang memasuki ruangan itu. Dengan rasa penasaran Lolita melangkah menuju kamar Edgar yang pintunya tertutup. Dia mendorong pintu itu pelan sampai terbuka sebagian. Aroma maskulin khas Edgar menyeruak menyambut penciuman Lolita. Lolita memejamkan kedua mata dan menghirup aroma yang sangat dia suka. Lantas, Lolita bergerak pelan memasuki ruangan luas yang tampak seperti kamar pada umumnya, tidak ada yang me
"Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Lolita nyaris menangis ketakutan. Dia menatap tangannya yang memerah karena cengkeraman Edgar yang sangat kuat. Lolita bahkan yakin jika tangannya bisa saja patah karena tenaga Edgar yang sangat besar.Edgar menghunuskan tatapan tajamnya yang penuh kobaran api kemarahan. Dia menghempaskan tangan Lolita kasar, dan berteriak,"Pergi dari hadapanku sekarang!"Lolita termangu di tempatnya berdiri. "Om….""Pergi dari apartemenku, Lolita!" teriak Edgar lagi yang kini semakin menyeramkan. Lolita sampai bergidik ketakutan melihatnya.Lolita buru-buru pergi dari hadapan Edgar sebelum kemarahan pria itu semakin besar. Edgar menatap pintu apartemen yang tertutup kembali dengan napas yang masih memburu. Dia membanting piring yang berisi steak ke dinding, membuat makanan itu berceceran dan suara pecahannya mengiringi teriakan Edgar. "Arghhh!"Edgar benci dirinya yang tak terkendali. Dia benci ruang di dalam dirinya yang paling rawan dija
"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!""Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya."Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedu
Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy ga
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m