Lolita sibuk meraup pecahan vas dengan kedua tangannya. Karena kurang hati-hati, tangannya tertusuk salah satu pecahan yang membuatnya terluka. Darah segar mengucur dari bagian yang menganga itu. Dia meringis menahan sakitnya.
Lolita hendak berlari mengambil obat merah, tapi dia mengurungkan niatnya saat suara pintu terbuka ditangkap oleh pendengarannya. Om Edgar cepat sekali pulang, padahal biasanya baru pulang saat larut malam, pikir Lolita yang mencoba menengok ke arah ruang tamu.
Mata Lolita seketika melebar melihat Edgar sedang menggendong seorang wanita yang nyaris telanjang, hanya celana dalam berenda yang masih menempel di tubuh wanita itu. Mereka sedang berciuman panas. Edgar lalu meletakkan sang wanita ke sofa. Dan apa yang Edgar lakukan setelahnya membuat pipi Lolita bersemu merah.
"Boleh kan aku melihatnya?" tanya Lolita pada dirinya sendiri, membalikkan tubuhnya membelakangi Edgar. Dia masih bersembunyi di balik dinding, menimbang-nimbang apakah dia boleh melihat atau tidak adegan panas dan menggairahkan yang akan terjadi setelah ini.
"Tentu saja boleh. Usiaku kan sudah delapan belas tahun," ucap Lolita lagi sambil mengarahkan pandangan kembali kepada Edgar.
Edgar meremas payudara Loren, melepaskan desahan-desahan sensual dari bibir merah wanita itu. Lalu, tangan Edgar satunya menurunkan celana dalam Loren, menampakkan pemandangan indah yang membuatnya bergairah. Tanpa sadar, kejantanannya sudah menegang, minta dilepaskan.
Tapi, baru saja Edgar hendak bergerak. Penglihatannya menangkap Lolita yang berlari ke kamar. Edgar sempat berhenti, dan itu membuat Loren menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Ada apa, Tuan Edgar?" Loren melihat ke arah pandangan Edgar tertuju. Tidak ada siapa pun di sana.
"Bukan apa-apa," balas Edgar mengerutkan keningnya samar. Dia lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
Lolita menutup pintu saat sudah sampai di kamarnya. Dia masih berdiri di balik pintu dengan jantung berdetak cepat. Apa Om Edgar melihatku tadi? Batin Lolita bertanya. Pipinya semakin merah dan rasanya panas menjalari tubuhnya.
"Ini pertama kalinya bagiku melihat hal seperti itu. Bagaimana rasanya ya?" Lolita bahkan tidak menghiraukan luka di tangannya yang masih mengeluarkan darah. Dia terpaku, dan sebelah tangannya yang tidak terluka bergerak menyentuh miliknya yang ternyata sudah basah. Secepat ini kah dia terangsang?
Tangan Lolita terus bergerak sampai menemukan pusat bagian sensitifnya di balik celana dalamnya. Dia mengelusnya pelan dan dia membayangkan bagian sana ditusuk dan dimasuki. Ah… rasanya aneh dan menggelikan. Mendadak dia bergeleng. Tidak! Ini tidak benar. Kenapa justru bayangan wajah Edgar yang muncul sekarang?
Lolita menyingkirkan pikiran kotornya sambil menarik tangannya dari celana dalam. Dia kemudian berderap ke kamar mandi untuk membersihkan tangannya dari cairan kental yang lengket.
Sementara itu, Edgar dan Loren semakin panas. Tubuh mereka sudah menyatu. Edgar terus menggenjot Loren, menikmati tubuh Loren yang selalu berhasil membuatnya lepas dari pikirannya yang berkabut penuh emosi. Pada akhirnya dia bisa mulai berpikir jernih kembali.
Apa Lolita tadi melihatnya? Entahlah. Edgar mengedikkan bahunya samar. Walaupun Lolita melihat apa yang dia lakukan bersama Loren ini, dia tak peduli. Ini apartemennya, jadi terserah dia mau melakukan apapun di apartemennya.
Edgar semakin cepat menggerakkan miliknya, sampai akhirnya dia mendapatkan puncak kenikmatannya. Dia ambruk di sofa dan memeluk tubuh Loren erat.
"Servismu sungguh memuaskan, Loren."
"Terima kasih, Tuan Edgar. Saya akan selalu memberikan yang terbaik untuk Anda," ucap Loren membalas pelukan Edgar sambil tersenyum senang.
***
Edgar mengistirahatkan tubuhnya. Dia merasa lelah setelah melakukan lima ronde dengan Loren tadi. Dia kini duduk berselonjor di sofa di depan televisi yang menyala. Dia mendadak merasa haus.
"Huh…." Edgar membimbing langkahnya pelan menuju dapur untuk mengambil air. Betapa terkejutnya dia saat melihat pecahan vas di lantai, dan sialnya salah satu pecahannya mengenai kakinya.
"Arghhh!" teriak Edgar memegangi kakinya yang malang. Lolita sialan! Ini pasti ulah gadis itu.
Edgar mendudukkan dirinya di kursi. Dengan pelan dan hati-hati dia mencabut pecahan vas dari kakinya. Dia berteriak sekali lagi saat pecahan itu berhasil terlepas.
Sialan! Edgar mengumpat. Dia berjalan dengan kaki pincangnya menuju kamar Lolita. Gadis itu harus bertanggung jawab dan harus membersihkan pecahan-pecahan itu, kalau tidak Edgar yang akan jadi korbannya lagi.
"Lolita, keluar dari kamarmu! Aku tahu kau kan yang memecahkan vas bungaku. Cepat bersihkan!" Edgar menggedor pintu kamar Lolita tak sabar.
Lolita muncul dari pintu yang terbuka dengan pipi yang masih tampak merah, meski tidak semerah sebelumnya. Lolita tidak berani menatap Edgar. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, membersihkan pecahan vas. Dia berlari cepat-cepat meninggalkan Edgar yang mematung di tempatnya berdiri.
"Apa ada yang salah dengan otaknya? Dasar tidak punya sopan, langsung menyelonong pergi padahal aku belum selesai bicara," geram Edgar.
-Bersambung-
Lolita masih terjaga sampai jam yang menempel di dinding menunjukkan angka tiga pagi. Dia mendesah pelan. Lolita tidak bisa terlelap karena ada yang mengganggu pikirannya.Dia kemudian meraih ponselnya yang ada di meja nakas, mengetikkan sesuatu di sana. Dan pipi Lolita kembali dipenuhi semburat merah. Lolita menatapi video-video dewasa yang muncul di layar ponselnya. Dia penasaran dengan apa yang Edgar dan wanita asing itu lakukan semalam. Sebab selama ini Lolita terus menutup diri dari hal-hal yang ayahnya anggap tabu. Ayahnya selalu mengelak setiap kali Lolita bertanya. Sampai akhirnya Lolita memilih diam tanpa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Rasa penasaran Lolita semakin bertambah saat melihat teman-temannya bermesraan, dan melakukan hal yang tidak senonoh secara terang-terangan di dalam kelas. Mereka berkata jika bercinta sungguh nikmat dan rasanya seperti kupu-kupu beterbangan di perut. Bahkan ada yang bilang jika rasanya seperti menemukan surga. Lolita dianggap terlalu
Lolita mencoba menyingkirkan hal-hal kotor dari dalam kepalanya. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsunya lagi, dan berakhir terangsang seperti yang sudah-sudah. Lolita memilih menyibukkan dirinya dengan membersihkan apartemen Edgar. Dia sudah menyapu, mengepel, dan mengelap perabotan di apartemen ini. Semua ruangan sudah bersih, hanya tinggal satu ruangan yang belum tersentuh. Yaitu kamar Edgar. Kamar Edgar ada di samping kamar Lolita, tapi sejak Lolita menginjakkan kakinya di sini, dia sama sekali belum melihat seperti apa kamar Edgar. Dan tidak tahu alasan kenapa dia selalu dilarang memasuki ruangan itu. Dengan rasa penasaran Lolita melangkah menuju kamar Edgar yang pintunya tertutup. Dia mendorong pintu itu pelan sampai terbuka sebagian. Aroma maskulin khas Edgar menyeruak menyambut penciuman Lolita. Lolita memejamkan kedua mata dan menghirup aroma yang sangat dia suka. Lantas, Lolita bergerak pelan memasuki ruangan luas yang tampak seperti kamar pada umumnya, tidak ada yang me
"Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Lolita nyaris menangis ketakutan. Dia menatap tangannya yang memerah karena cengkeraman Edgar yang sangat kuat. Lolita bahkan yakin jika tangannya bisa saja patah karena tenaga Edgar yang sangat besar.Edgar menghunuskan tatapan tajamnya yang penuh kobaran api kemarahan. Dia menghempaskan tangan Lolita kasar, dan berteriak,"Pergi dari hadapanku sekarang!"Lolita termangu di tempatnya berdiri. "Om….""Pergi dari apartemenku, Lolita!" teriak Edgar lagi yang kini semakin menyeramkan. Lolita sampai bergidik ketakutan melihatnya.Lolita buru-buru pergi dari hadapan Edgar sebelum kemarahan pria itu semakin besar. Edgar menatap pintu apartemen yang tertutup kembali dengan napas yang masih memburu. Dia membanting piring yang berisi steak ke dinding, membuat makanan itu berceceran dan suara pecahannya mengiringi teriakan Edgar. "Arghhh!"Edgar benci dirinya yang tak terkendali. Dia benci ruang di dalam dirinya yang paling rawan dija
"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!""Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya."Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedu
Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy ga
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m
Lolita membekap mulutnya dengan kedua tangan, terkejut karena dia dipanggil dengan sangat sensual ketika Edgar sedang melakukan masturbasi.Kedua mata Lolita tak lepas dari kejantanan Edgar yang semakin membesar. Hingga Edgar mencapai puncak kenikmatannya. “Ahhh….” Edgar mendesah puas. Dia menyeka cairan kenikmatannya dengan tisu, kemudian melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan untuk membersihkan diri, tanpa tahu Lolita tengah menyaksikan semua yang dia lakukan ini.Lolita menelan ludahnya dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering, dan membutuhkan sesuatu untuk menyegarkannya. Dengan buru-buru Lolita berlari ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dengan cepat. Karena kurang hati-hati airnya mengguyur baju tidurnya yang berwarna putih. Cukup banyak sampai bra hitam yang lolita pakai tampak tercetak jelas. Tapi, Lolita tetap melanjutkan minumnya sambil membayangkan kejantanan Edgar tadi. Gairah menjalari Lolita, membuat kedalaman dan bagian bawahnya menegan