Share

Bab 7

Penulis: BalqizAzzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-15 11:11:23

Keesokan harinya.....

Aurel bangun lebih pagi dari biasanya. Langit masih buram, embun menetes dari dedaunan, dan hawa dingin menelusup ke dalam rumah. Jam baru menunjuk pukul 04. 50 menit ketika Aurel sudah melangkah keluar kamar dengan pakaian olahraga lengkap. Rambutnya di kuncir tinggi, wajahnya segar tanpa riasan, dan sepasang sepatu lari baru yang ia beli beberapa hari lalu kini terikat rapi di kakinya. Ia melirik sebentar ke arah pintu kamar pamannya, Leo, memastikan pria itu masih terlelap. Senyum tipis muncul di bibirnya.

“Bagus, paman masih tidur. Aku bisa kabur tanpa perlu mendengar ceramah pagi-pagi,” gumamnya lirih, lalu segera turun tangga dengan langkah ringan.

Pertengkaran semalam dengan sang paman membuat kepala Aurel terasa pusing, dia memutuskan untuk mencari hiburan di luar rumah agar pikirannya kembali fresh.

Suasana rumah sepi. Hanya terdengar detik jam dinding dan gesekan lembut kain pel lantai yang sedang digunakan Susi, ART mereka. “Nona sudah bangun pagi sekali,” ujar Susi sambil sedikit terkejut melihat Aurel sudah bersiap.

“Iya, Mbak. Aku mau jogging di taman komplek. Katanya sih pagi ini ada latihan tentara di sana, sekalian nonton gratis, kan?” Aurel mengedipkan sebelah mata, membuat Susi terkekeh kecil.

Tanpa menunggu jawaban, Aurel langsung keluar rumah, udara pagi langsung menyambut kulitnya. Ia berlari kecil, menyalip beberapa tetangga yang masih sibuk menyapu halaman.

Sekitar dua jam kemudian, suasana rumah mulai lebih ramai. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh, saat Leo turun dari kamarnya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya tetap tampan dengan aura dingin khas dirinya. Ia langsung menuju ruang makan.

Namun alisnya langsung bertaut. Meja makan sudah ditata rapi dengan berbagai menu sarapan, dari roti panggang, omelet, hingga segelas susu hangat. Tapi satu kursi kosong membuat matanya menyipit, kursi Aurel.

“Susi!” panggil Leo dengan suara berat.

Susi yang baru selesai merapikan kain lap di dapur segera keluar. “Iya, Tuan.”

“Mana Aurel? Kenapa tidak turun untuk sarapan?” tanya Leo dengan nada datar, meski ada nada penasaran di baliknya.

Susi menunduk sopan. “Nona pergi pagi-pagi sekali, Tuan. Pakai pakaian olahraga. Sepertinya mau jogging ke taman komplek. Saya dengar dari tetangga, pagi ini ada kelompok tentara yang numpang latihan di sana.”

Mendengar itu, wajah Leo langsung berubah. Dahinya mengkerut, tangannya mengepal pelan di atas meja. “Huh, dasar gadis itu. Begitu ada kabar pria tampan berkeliaran, telinganya langsung tajam.”

Susi menunduk, menahan senyum. Ia tahu Leo selalu sensitif jika ada pria lain di sekitar Aurel, meski pria itu tak pernah mau jujur pada dirinya sendiri. 'Sudah jelas jelas dia menyukai keponakannya sendiri, tapi masih saja tidak mau mengaku. Dasar, pria dingin!' Umpar Susi di dalam hati.

Leo mendengus. “Bagaimana kalau salah satu dari tentara itu ada yang tertarik pada Aurel? Gadis itu… ah!” Ia meremas garpu di tangannya, seolah ingin melampiaskan kekesalannya.

Pukul sembilan tepat, pintu pagar rumah berderit terbuka. Suara langkah berat terdengar mendekat, bercampur dengan tawa ringan Aurel. Saat Leo menoleh ke arah jendela, matanya langsung membelalak.

Di depan rumah, seorang pria berseragam loreng menggendong Aurel dengan posisi bridal style. Wajah Aurel terlihat sedikit meringis kesakitan, tapi senyum nakal tak pernah lepas dari bibirnya.

Darah Leo langsung naik ke ubun-ubun. Ia berjalan cepat ke arah pintu, membantingnya hingga terbuka lebar. “Hei! Turunkan dia sekarang juga!” bentaknya, membuat sang tentara dan Aurel sama-sama kaget.

Pria berseragam itu menoleh sopan, “Maaf, Kak. Nona ini jatuh saat jogging, sepertinya terkilir. Jadi saya bantu—”

“TURUNKAN!” potong Leo dengan mata menyala.

Pria itu segera menurunkan Aurel dengan hati-hati. Aurel mendengus, memegangi pergelangan kakinya yang terasa nyeri.

“Ada apa, Paman? Kenapa marah-marah? Aku cuma jatuh, terkilir sedikit,” jelas Aurel santai.

Leo menunduk menatapnya tajam. “Makanya kalau jogging itu matanya jangan jelalatan! Fokus ke jalan, jangan sibuk tengok kanan kiri!”

Aurel mendengus kesal. “Oh, jadi salahku? Aku jatuh bukan karena tidak fokus pada saat jalan, tapi karena jalannya memang licin. Paman ini…” ia melipat tangan di dada, lalu menoleh ke arah pria berseragam. “Makasih banyak ya, Mas. Kalau bukan karena kamu, kakiku yang terkilir ini mungkin sakitnya akan lebih parah."

Senyumnya begitu tulus, membuat sang tentara sedikit kikuk. “Sama-sama, Nona. Senang bisa membantu.”

Aurel lalu menambahkan dengan mata berbinar, “Boleh minta nomor ponselnya? Biar kalau aku butuh bantuan lagi, bisa hubungi langsung.”

Namun sebelum pria itu sempat mengeluarkan ponsel dari saku, Leo sudah menyeret lengan Aurel kasar. “Cukup! Kamu ikut aku masuk sekarang juga!”

“Paman!” protes Aurel.

Leo tak peduli, ia menarik Aurel masuk ke dalam rumah. Sementara sang tentara hanya bisa berdiri bingung di depan pagar sebelum akhirnya pamit sopan.

Begitu sampai di ruang tamu, Leo langsung menatap Aurel penuh amarah. “Kamu itu gadis atau apa? Baru digendong tentara, sudah minta nomor ponselnya? Tidak bisa berhenti genit pada pria, hah?”

Aurel menatap balik dengan dagu terangkat. “Kenapa memangnya? Aku single, Paman. Ingat? Kamu sendiri yang menolak cintaku. Jadi wajar dong kalau aku cari hiburan lain.”

Leo terdiam sejenak, rahangnya mengeras.

“Pria itu baik, tampan, dan badannya bagus,” lanjut Aurel dengan senyum menggoda. “Jauh lebih cocok untukku daripada Paman yang cuma bisa marah-marah.”

Leo yang kesal langsung menjewer telinga Aurel. “Aduh! Sakit, Paman!” pekik gadis itu, meringis.

“Diam kamu! Cepat mandi! Bau keringatmu seperti tapir betina. Jangan bikin rumah ini ikut bau karena kelakuanmu,” omel Leo sambil mendorong Aurel menuju tangga.

Aurel hanya bisa manyun, tapi dalam hati, ia tersenyum puas. Paman yang keras kepala itu jelas-jelas cemburu, meski tak pernah mau mengakuinya.

***

"Maafkan aku," ucap Leo sambil membelai rambut Aurel pelan. Gadis cantik itu berpura-pura marah karena dimarahi dan mogok makan untuk meraih perhatian paman Leo.

"Aku keras padamu karena aku menyayangimu, Aurel. Jadilah gadis yang baik dan penurut, agar aku tidak memarahi kamu." Lanjut Leo.

"Keluar dari kamarku Paman, aku sedang ingin sendiri." Ucap Aurel ketus tanpa menatap Leo.

"Ayo turun dulu, ini sudah hampir sore dan kamu belum makan. Kamu akan sakit kalau telat makan," bujuk Leo.

"Baik, aku mau turun dan makan. Tapi, ada syaratnya," Aurel tersenyum dan menatap dengan tatapan licik.

"Syarat? Syarat apa?" Tanya Leo penasaran.

"Cium aku dulu,"

Leo membungkuk, ia mencium kening Aurel penuh kasih sama seperti saat Aurel masih kecil dulu. Aurel tidak puas, dia menyentuh pipi kanannya dan memberi kode agar paman Leo mencium area itu juga. Leo menggeleng, tapi ia tetap kembali membungkuk untuk mencium pipi Aurel.

Saat wajah Leo semakin dekat, Aurel tiba-tiba memalingkan wajahnya ke samping, hingga ciuman itu mendarat di bibirnya, bukan di pipinya. Leo panik, ia segera mundur menjauh.

"Aurel, apa-apaan kamu?!" Bentak Leo dengan ekspresi wajah kesal.

"Itu hukuman karena Paman terlalu sering memarahiku." Aurel mengedipkan matanya sebelah. Ia turun dari tempat tidur dan berjalan santai menuju ruang makan.

"Dasar, gadis nakal!" Kalimat itu kembali keluar dari mulut Leo.

Bersambung.....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 58

    Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 57

    Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 56

    Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 55

    Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 54

    Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 53

    Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status