LOGINAurel sibuk mondar-mandir di kamarnya sejak pulang dari kafe sore tadi. Hatinya resah, pikirannya tak bisa tenang. Bayangan pamannya duduk bersama wanita cantik itu terus menari-nari di pelupuk mata.
Akhirnya, dengan langkah pelan namun mantap, ia keluar kamar. Hanya satu tujuan, ruang kerja Leo. Dari balik pintu kayu yang setengah terbuka, terlihat cahaya lampu kuning temaram. Leo duduk di balik meja kayu, menunduk serius menatap beberapa dokumen. Sesekali ia mengetik di laptop, lalu menarik napas panjang. Aurel berdiri sejenak di depan pintu, ragu. Namun kemudian ia mengetuk pelan. "Tok… tok… tok…" Leo mengangkat kepalanya, tatapannya terarah ke pintu. “Masuk.” Dengan hati berdebar, Aurel melangkah masuk. Aroma kopi hitam sisa minuman pamannya masih tercium samar. Ruangan itu selalu memiliki aura serius—rak buku penuh, map bertumpuk, dan meja kerja yang rapi. Namun malam itu, Aurel merasa ruang itu terlalu sempit, terlalu pengap untuk menampung perasaannya. “Kenapa malam-malam begini belum tidur?” tanya Leo tanpa banyak basa-basi, matanya kembali pada layar laptop. Aurel menggenggam jemarinya sendiri, lalu memberanikan diri. “Aku mau tanya sesuatu, Paman.” Leo menghela napas, lalu menutup laptopnya. Ia menatap Aurel. “Apa?” “Sore tadi…” Aurel menarik kursi, duduk di hadapan pamannya. Suaranya bergetar, namun matanya menatap tajam. “Paman dari mana?” Leo sedikit terkejut, tapi berusaha tenang. “Hanya nongkrong sebentar dengan teman. Kenapa?” Aurel menggigit bibir bawahnya. “Aku baru tahu… kalau Paman punya teman wanita cantik.” Ia berhenti sejenak, menahan perasaan yang mendesak keluar. “Apa dia pacarmu?” Seketika ruangan hening. Leo menatap keponakannya lama, mencoba membaca ekspresi gadis itu. Bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang samar-samar lebih seperti ejekan. “Kenapa memang? Kamu cemburu?” Pertanyaan itu membuat jantung Aurel berdetak semakin kencang. Ia menatap Leo tanpa berkedip. “Paman pasti sudah tahu kalau aku suka pada paman, kan? Jadi Paman juga tahu kalau aku akan cemburu melihat Paman bersama wanita lain. Jangan berpura-pura tidak tahu paman Leo!” Nada suaranya tegas, penuh keberanian yang selama ini ia simpan. Leo terdiam, lalu menghela napas berat. “Aurel…” “Jawab aku!” potong Aurel cepat. “Apa ini cara Paman menolakku secara halus? Dengan pura-pura dekat dengan wanita lain?” Tatapan mata mereka bertemu, saling menantang. Di satu sisi, Aurel mempertaruhkan perasaannya. Di sisi lain, Leo berusaha menahan diri, menjaga jarak yang seharusnya. Akhirnya, Leo bersuara, tegas, nyaris dingin. “Kita adalah paman dan keponakan. Tidak baik menyimpan rasa suka pada paman sendiri. Sebaiknya buang jauh-jauh perasaanmu itu, Aurel. Antara kita tidak ada yang mungkin. Lagi pula…” ia berhenti sejenak, menahan getaran di dadanya sendiri, “…aku sudah punya pacar.” Kata-kata itu jatuh bagai palu godam, menghancurkan harapan Aurel seketika. Matanya membesar, lalu berair. Ia merasa tubuhnya goyah, seakan tanah di bawahnya runtuh. “Paman…” bisiknya lirih, suaranya patah. Air mata mengalir tanpa bisa ia bendung. Rasa sakit yang begitu nyata menikam jantungnya. Semua senyum, perhatian, dan kasih sayang yang selama ini ia terima dari Leo, terasa hancur berkeping-keping. Leo sendiri menunduk. Hatinya ikut tercabik melihat Aurel menangis. Setiap tetes air mata gadis itu bagai belati yang menusuk dirinya sendiri. Namun ia terpaksa—terpaksa berbohong. Ia tak punya pilihan lain. “Aurel…” suaranya melembut, hampir pecah. “Berhenti menangis. Ini sudah malam. Pergi tidur.” Namun Aurel menggeleng keras, air matanya semakin deras. “Tidak! Pokoknya paman tidak boleh berpacaran dengan wanita manapun selain aku. Titik!” Leo terdiam, matanya terpejam sesaat. Ia ingin meraih bahu Aurel, menenangkannya. Tapi ia tahu, sentuhan kecil saja bisa menyalakan api yang seharusnya dipadamkan. Aurel bangkit dari kursinya dengan langkah tergesa, suaranya parau karena tangisan. “Aku tahu paman sedang berbohong. Paman pikir, aku tidak sadar kalau Paman juga memiliki perasaan yang sama padaku? Kenapa paman tidak jujur saja padaku?" Leo tidak menjawab. Ia hanya duduk kaku, menatap meja kerjanya, membiarkan keponakannya meluapkan amarah dan tangis. Dengan mata bengkak dan hati tercabik, Aurel akhirnya menyerah. Ia berlari keluar ruangan. Pintu ruang kerja tertutup keras di belakangnya, menyisakan gema singkat yang membuat dada Leo sesak. Di kamarnya, Aurel menjatuhkan diri ke tempat tidur. Bantalnya basah oleh air mata. Tangannya menggenggam erat, seolah ingin mencengkeram sesuatu yang tak bisa ia miliki. Sakit. Sangat sakit. Rasanya ia lebih rela ditampar berkali-kali daripada harus mendengar ucapan Leo tadi. “Aku tidak peduli kalau semua orang bilang perasaanku padanya salah…” gumamnya di sela isak. “Pokoknya aku cuma mau paman. Hanya dia. Dan aku tidak akan biarkan wanita lain merebutnya dariku.” Sementara itu, di ruang kerja, Leo masih duduk terpaku. Wajahnya keras, tapi matanya kosong. Di balik kata-kata tegasnya, ada pergulatan batin yang ia sembunyikan. Ia tidak pernah benar-benar berniat melukai Aurel. Justru sebaliknya—ia ingin melindungi gadis itu dari diri dan perasaan mereka yang tak seharusnya ada. Namun melihat Aurel menangis, hatinya ikut retak. Batinnya sakit, seakan ia baru saja mengkhianati dirinya sendiri. Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. 'Maafkan aku, Aurel. Ini satu-satunya cara untuk menjaga kita tetap di jalur yang benar.' Di dua ruang berbeda, malam itu mereka sama-sama tersiksa. Yang satu menangis karena ditolak, yang lain menahan pedih karena terpaksa berbohong. Namun keduanya tahu, cerita mereka belum selesai. Perasaan itu terlalu kuat untuk padam hanya dengan sebuah ucapan. Dan di keheningan malam, rumah itu menyimpan rahasia besar—rahasia tentang cinta terlarang Aurel yang semakin sulit dikendalikan. Bersambung....Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.
Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di
Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t
Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai
Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom







