Mobil Fortuner hitam terlihat sudah terparkir sekitar dua meter dari gerbang kosan. Aku turun dari motor, lalu mengetuk kaca mobilnya.
"Kenapa lama sekali? Kamu tahu Om orang sibuk, kan, El!" bentaknya setelah aku masuk ke dalam mobil."Memangnya cuma Om yang punya kerjaan? Aku juga punya kehidupan, dan banyak urusan.""Urusan s3langkangan maksudnya? Kerjaanmu memang begitu, bukan? Setelah Lian, siapa lagi sasaranmu, Elea? Apa fasilitas yang saya berikan masih kurang, hingga kamu rela dipelihara lebih dari satu lelaki."Mataku hanya bisa terpejam mendengar semua hinaannya.Sabar, Lea. Bukan saatnya melempar meja ke arah muka lelaki tak tahu diri ini.Ya, Tuhan. Aku benar-benar berharap dia bukan ayah biologisku sekarang."Kalau iya memang kenapa? Kalau bisa dua atau tiga kenapa harus satu. Keuntungan yang didapatkan juga bisa berlipat-lipat, bukan?" jawabku sengit.Om Adrian menggeleng seolah tak menyangka dengan apa yang baru saja kulontarkan untuk membalas hinaannya."Kau ... wanita r3ndahan tak tahu diri. Lihatlah betapa menjijikkan dirimu ini!" Amarah Om Adrian tampak tertahan, hingga yang terdengar hanya desisan, karena dia sadar kita sedang ada di mana sekarang.Kini, aku tersenyum miring menanggapi hinaannya."Kalau aku menjijikkan, lalu Om apa? Lelaki beristri yang masih hobi celup sana-sini. Semua wanita terlihat r3ndahan hanya di mata lelaki hidung bel--"Plak!"Astaga maaf, Lea!"Tak lama setelah tamparan dilayangkan, dia menangkup wajahku dan menunjukkan sorot penuh penyesalan."Om tak bisa mengontrol emosi karena ucapanmu terlalu terang-terangan. Percayalah, El. Sebenarnya Om hanya kecewa karena kau memiliki Sugar Daddy lain," terangnya dengan sorot mata yang meredup.Kuhela napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Lalu meraih tangan Om Adrian yang terkepal.Dia menoleh, lalu menyandarkan kepala di pundakku. "Kemarin kita sudah berunding. Keputusan finalnya lusa Lian akan datang menemui keluargamu untuk melamar. Om tak tahu apa alasan Lian bersedia menikahimu. Tapi, setidaknya keputusan lelaki itu menguntungkan kita, Sayang. Kita masih bisa menjalin hubungan di belakang mereka, dan membesarkan anak ini sama-sama. Sebenarnya Om sangat menyayangimu, El."Aku hanya bisa tersenyum getir saat Om Adrian mengelus perutku yang masih terlihat datar. Janin berusia tujuh minggu tumbuh di sana. Namun, bukan berasal dari benih Om Adrian.Seperti yang Om Lian katakan kemarin, kita memang tak pernah berhubungan.Semua ini jebakan. Jebakan yang sudah lama kurencanakan untuk menghancurkan seorang Adrian Mahesa beserta antek-anteknya. Bersyukur dia bo doh hingga tak menyadarinya. Meskipun ada beberapa hal yang berjalan tak sesuai rencana. Namun, sejauh ini masih baik-baik saja.Masalahnya sekarang hanya Om Lian. Aku belum tahu sebenarnya apa yang dia rencanakan. Dan apa hubungannya dengan semua ini?Saat tersadar dari lamunan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang entah sejak kapan sudah berdiri memperhatikan kami di depan mobil dengan tatapan tajam.Ya, dia adalah Om Lian."Sh*t. Kenapa Lian juga tahu kosan kamu? Mati aku kalau dia sampe ngadu," gerutu Om Adrian saat dia mulai menyadari kehadiran adik iparnya.Posisi ini terlihat seperti kami sedang kedapatan selingkuh. Ya, walaupun kenyataannya memang bisa dibilang begitu.Kuhela napas sejenak, kemudian mulai beranjak."El!" Om Adrian mencekal pergelangan tanganku."Nggak apa-apa, Om. Biar aku yang jelasin sama Om Lian. Aku yakin dia nggak bakal ngadu sama Tante Lidia. Om pulang aja nggak usah turun!" titahku sembari melepas genggaman tangannya."Oke, thanks, El. Ah, iya. Ini uang yang kemarin, udah Om lebihkan sedikit. Maaf kalau Om sempat ngambil keputusan tanpa pikir panjang." Om Adrian mengambil sebuah amplop cokelat tebal yang sejak tadi tersimpan di atas dasbor, lalu memberikannya padaku."Makasih Om." Kuambil alih amplop cokelat tersebut.Om Adrian tersenyum, lalu mengusap pelan rambutku."Sama-sama. Jaga diri baik-baik, ya, El. Ingat! Sekarang ada satu nyawa lagi yang tumbuh di rahimmu."Aku tertegun sesaat. Perlakuan lembut Om Adrian terkadang memang membuatku lupa tujuan awal. Seandainya saja perlakuan itu dia tunjukkan sebagai seorang Ayah pada anak perempuannya, bukan lelaki pada wanita simpanannya.Ck, apa yang kamu pikirkan, Lea? Dia adalah lelaki tak tahu diri yang sudah menghancurkan hidup Mamamu.Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum tipis sebelum melangkah keluar.Mobil Om Adrian pun berlalu dari pandangan.Kuhampiri Om Lian yang sudah menunggu berpangku tangan, sembari bersandar di mini Cooper-nya. Entah bagaimana caranya dia bisa tahu aku ada di dalam mobil kakak iparnya. Padahal mobil mewah itu memiliki kaca satu arah.Sejenak kuperhatikan penampilannya hari ini. Sweater rajut tutle neck dan celana jins pudar yang melekat di tubuh kekar itu tampak menyamarkan umur dia yang sebenarnya. Entah kenapa saat melihatnya aku masih saja sulit mengendalikan perasaan tak tahu diri ini."Kita ngobrol di dalam!" Aku melangkah mendahuluinya melewati pagar setinggi tiga meter yang membentengi kosan campur ini.Dari sudut mata kulihat Om Lian tampak mengekor ragu-ragu sembari menoleh kanan-kiri seolah menghindari sesuatu.Kuhentikan langkah tiba-tiba, hingga bisa dirasakan bagian belakang kepala membentur dada bidangnya.Memejamkan mata sesaat. Aku berbalik menghadapnya."Oh, ayolah, Om. Ini Jakarta, dan aku orang asing yang nggak pernah bersosialisasi di daerah ini. Jadi, siapa yang peduli tentang teman yang kubawa ke dalam kosan?!" sungutku sebal."Jadi, kamu nggak takut dengan penilaian orang?" Dia memicing.Kuputar bola mata sesaat. Ternyata dari dulu Om Lian memang tak pernah berubah. Dia adalah tipe orang yang hati-hati dalam bertindak dan terkesan overthinking."Nggak. Ini masih siang. Dan kita bukan mau m3sum di dalam!" tukasku yang berhasil membuat matanya melebar."Astaga, Lea. Kecilkan suaramu!" Om Lian tampak panik dan langsung mendorongku menuju teras kamar kosan yang terletak paling pojok dan paling besar. Melihatku yang masih saja santai saat membuka kunci kamar, secepat kilat dia menggantikannya dan buru-buru menuntunku masuk.Astaga dia benar-benar berlebihan. Padahal tak ada seorang pun yang memperhatikan kita. Memangnya dia pikir aku memilih kosan yang sedikit pinggiran ini tanpa alasan. Tentu saja ada alasannya. Selain para penghuninya cuek, aku juga bebas membawa teman atau pulang malam tanpa perlu kena semprot Ibu Kos."Biarkan pintunya terbuka, Lea!" pintanya cepat sebelum sempat tanganku berhasil mendorong pintu."Oke." Aku berdecak.Dia benar-benar tipe lelaki langka yang tak pernah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Inilah salah satu alasan yang membuatku tak pernah sungkan bila berdekatan dengan pengacara kondang ini.Zaman sekarang rasanya memang tak mungkin perselingkuhan tanpa hubungan badan. Selalu ada imbalan dari setiap materi yang diberi. Begitu juga dengan hubungan Sugar Daddy dan Sugar Baby-nya.Namun, percayalah. Di antara dua Sugar Daddy-ku yang lain hanya Om Lian yang tak pernah menyentuhku lebih dari pelukan dan kecupan. Padahal materi yang dia beri hampir setara dengan yang lain.Waktu yang kami habiskan selama setengah tahun menjalin hubungan hanya kencan. Makan, nonton, dan jalan-jalan.Dia sosok yang menyenangkan meski kadang aku yang selalu memulai percakapan. Perhatian dan kedewasaannya berhasil membuatku nyaman hingga lupa bahwa hubungan kami hanya sebatas simbiosis mutualisme. Dia butuh teman dan aku butuh uang. Miris, bukan?Om Lian duduk di kursi lantai yang berada di atas karpet bulu depan muka TV. Sementara aku duduk bersila di sampingnya. Lelaki itu sempat memindai ruangan bernuansa biru seluas 10 x 20 meter persegi yang terdiri dari satu kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi ini. Sebelum kembali terpaku menatapku."Sebentar lagi kamu akan jadi istri saya, Lea. Jadi, batasi dirimu dan Mas Adrian!" Om Lian memulai percakapan. Matanya tampak menyorot tajam saat membahas tentang kakak iparnya.Aku hanya menanggapinya dengan tatapan datar."Aku masih belum memutuskan untuk menerima pinanganmu, Om. Jadi, jangan terlalu percaya diri dibalik kata calon istri," cetusku dingin."Sampai kapan pun saya tak akan membiarkanmu menikahi Ayah sendiri!" sentaknya tiba-tiba."Dia bukan ayahku, Om. Dia hanya lelaki kejam yang membuang berlian demi perempuan j4lang. Tolong biarkan aku memberi kakakmu pelajaran bagaimana menyakitkannya suami direbut orang!" pekikku tanpa sadar.Sekarang aku benar-benar sudah tak peduli. Lagi pula diliat dari gerak-geriknya dia tahu lebih banyak dari aku.Om Lian terdiam sejenak."Tapi tetap saja, merusak diri demi balas dendam bukan jalan yang benar. Jangan kehilangan kewarasan, Lea. Bagaimana pun situasinya Mas Adrian itu ayah kandungmu. Saya tak bisa membiarkan kalian menjalin hubungan terlarang, bagaimana pun caranya!"Kuremas kaus yang dikenakan dengan mata terpejam. Detik berikutnya tatapan nyalang kulemparkan pada Om Lian."Jadi, hanya segitu yang Om tahu? Pantas saja Om nggak akan mengerti perasaanku. Perasaan ibuku, dan posisi kami saat ini. Lelaki itu dan kakak kandungmu. Mereka--""Saya tahu, Lea!" potongnya tiba-tiba.Seketika aku terbungkam."Saya tahu segalanya, karena ada di sana saat ibumu dicaci-maki dan dipermalukan sembilan belas tahun lalu!"Deg!"Kamu pikir apa yang saya lakukan setelah menghilang setahun belakangan ini, hah? Saya mencari tahu semua tentangmu setelah menyadari bahwa kamu ternyata anak Nita dan Mas Adrian yang selama ini saya cari."Kubekap mulut tak percaya.Ternyata."Saya juga yang dimaksud dua suster di rumah sakit itu. Ya, saya yang seminggu sekali mengunjungi ibumu."Refleks aku menyeret tubuh mundur menjauhinya."Tolong sabar sebentar, Lea. Karena bukan cuma dirimu yang menginginkan kehancuran Adrian Mahesa, tapi saya juga. Dia yang menyebabkan hubungan saya dan Mbak Lidia merenggang. Dia juga yang menyebabkan tragedi paling traumatis pernah terjadi dalam hidup saya. Dengan pernikahan ini kita bisa lebih mudah bekerja sama untuk melumpuhkannya. Jadi, saya mohon ... terimalah lamaran saya nanti!"...Bersambung."Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini