"Lu bukan orang pertama yang ngira dia pacar gue," ucap Agni tertawa pelan. Ia menghela napasnya panjang kala mengingat betapa banyaknya orang yang menyebut David adalah kekasihnya.
"Benar begitu, 'kan?"Gadis itu menggeleng cepat. "Dia sahabat gue.""Hanya sahabat?""Ya. Apalagi?" tanyanya menoleh ke samping, menatap pria yang ternyata juga tengah menatapnya saat itu."Rasa yang tergambar antara kalian berdua kayak nyata dan lebih dari sekedar persahabatan.""Oh, ya?"Tirtha mengangguk.Agni mengalihkan tatapannya kembali ke arah depan. Terdiam, ingatannya kemudian kembali mengingat pada ungkapan rasa yang selalu David utarakan akhir-akhir ini.Ada sebuah rasa bersalah yang timbul di hatinya kala lagi dan lagi, bahkan berulang kali ungkapan rasa itu kembali ia tolak.Bukan tanpa alasan. Dirinya terlalu takut menjalani sebuah hubungan yang serius dengan seorang pria. Apalagi yang ditawarkan DArsen Davidson, pria tampan berdarah Indonesia-Jerman yang biasa dipanggil Arsen oleh keluarga serta seluruh rekan bisnis dan bawahannya itu terlihat bergerak gelisah di dalam ruang meeting. Bolak-balik matanya mengecek ponsel, menanti notifikasi balasan dari salah seorang gadis yang amat dinanti, yang namanya terukir indah di dalam hati. Merasa kesal dengan sang putra yang sama sekali tidak bisa fokus pada pembahasan meeting, Aaric Davidson—Ayah Arsen, pun merogoh ponsel, jemarinya bergerak lincah di atas layar sebelum kemudian meletakkan benda itu ke dalam saku jasnya kembali.Getar ponsel yang sejak tadi terus digenggamnya seketika terasa, membuat Arsen menatap cepat ke arah ponsel di tangan. Namun, ekspresinya berubah ketika mendapati bahwa ternyata ayahnya-lah yang mengirimi pesan tersebut.Aaric : [Fokus, Arsen! Ini meeting penting dan kau masih saja melirik ponselmu itu! Letakkan segera dan kembali fokus, atau kurebut ponselmu sekarang di depan para kolega!]Pria itu memutar
David memejamkan mata dengan napas yang terlihat memburu. Terus berusaha untuk menahan segala emosi yang mulai menguasai diri."Ya, oke. Aku minta maaf. Aku cuma terlalu capek sekaligus cemburu di waktu yang bersamaan. Maafin aku," ujar David menundukkan kepalanya dengan mata yang masih terpejam.Susah payah pria itu menahan segala rasa yang membakar hati hingga dadanya terlihat kembang kempis. Mencoba menekan segala ego demi bisa tetap berada di sisi wanita pujaannya. David maju beberapa langkah mendekat ke arah Agni, mencoba meraih tangan wanitanya. Namun, belum sampai tangan itu menyentuh, Agni sudah lebih dulu menjauhkan dirinya dari David. Membuat pria itu kembali menghela napas panjang, mencoba mengerti meski sebetulnya sulit untuk ia mengerti."Agni." Suara lemah seorang wanita terdengar dari dalam ruangan. Membuat Agni mengalihkan tatapan amarahnya dari sosok David dan berjalan ke dalam, ke tempat di mana ibunya tengah terbaring.
"Sore, Tante Tari," sapa seorang pria pada wanita yang tengah terduduk di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan mata tergamang menatap cahaya senja dari balik kaca jendela ruang rawatnya.Wanita itu lantas menolehkan kepala saat mendengar namanya disapa. "Sore, Tirtha." Lekukan senyum tipis kemudian menghiasi wajah bengkak nan pucatnya."Apa kabar, Tante?" Pria yang tak lain adalah Tirtha itu mendekat dan mengecup punggung tangan Tari dengan penuh rasa hormat."Baik. Terima kasih sudah kembali datang menjenguk, ya."Dengan senyuman yang tak kalah manis, Tirtha mengangguk menanggapi sembari meletakkan buah serta makanan di atas nakas samping ranjang Tari. "Sedikit makanan untuk Tante dan ...." Pria itu mengedarkan pandangan ke arah sekitar, mencari satu sosok yang ingin sekali ia lihat saat ini. "Ke mana Agni, Tante?""Dia masih ada di kantornya.""Kantor? Bukannya Agni masih kuliah, Tante?" tanya Tirtha dengan alis berkerut.
"Adik iparku—Sherina Yudistira, sangat tidak menyukai putriku." Tari tiba-tiba bersuara, membuat Tirtha yang telah berdiri berniat pamit pun akhirnya kembali mendudukkan dirinya. Ia menatap serius pada Tari, menanti kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh wanita itu."Kadar bencinya terjadi bahkan sejak putriku lahir, dan semakin bertambah parah ketika kecelakaan terjadi belasan tahun silam yang menewaskan suami serta anak semata wayangnya yang bernama Aarav. Di dalam kecelakaan itu, putriku juga ada di sana. Namun, Puji Tuhan ia selamat dari kecelakaan itu," tutur Tari mulai bercerita."Akan tetapi, sepertinya Tuhan menakdirkan hidupnya hanya untuk merasakan kemalangan. Putriku kembali diberikan kesempatan hidup hanya untuk merasakan rasanya dibenci. Mendapatkan caci dan maki dari banyak pihak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang pembunuh dan penyebab kecelakaan itu terjadi. Mereka menuduh aku adalah dalang dibalik kecelakaan itu dengan memperalat anakku,
Gadis yang baru saja berniat untuk menyantap sarapan yang dihidangkan sang bunda di atas meja pun akhirnya kembali bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang depan, mengecek siapa gerangan yang datang bertandang di pagi buta seperti saat ini.Gadis itu tak langsung membukakan pintu, ia memilih untuk mengintipnya terlebih dahulu di kaca jendela. "Pak Jun," batin Agni seraya mengernyitkan keningnya. Bertanya-tanya tentang bagaimana bisa bodyguard yang biasa berjaga di rumah Yudistira kini bertandang ke rumahnya? Dari mana pula pria berbaju serba hitam dengan postur tubuh yang kekar itu mengetahui rumah barunya ini sedangkan Yudistira sendiri pun belum ia beri tahu mengenai tempat tinggalnya.Namun, karena rasa penasaran yang membuncah, gadis itu kemudian memutuskan untuk membuka pintu. "Siang, Nona Agni," sapa sang bodyguard kala Agni telah berada tepat di depannya."Ada apa?" tanya Agni ketus. Matanya menatap awas pada sekeli
Agni berangkat ke kampus setelah perdebatan panjang yang dilakukannya dengan Yudistira beberapa waktu lalu.Setelah menimbangkan segala hal, akhirnya mau tak mau Agni menyetujui adanya Jun untuk bertugas menjaga mereka dari jarak jauh. Lebih tepatnya menjaga Tari kala Agni tengah berada di luar rumah. Ia berpikir jika ibunya itu memang butuh perlindungan, takut suatu hal yang tidak diinginkan terjadi di kala dirinya lengah. Dengan itu, ia pun akhirnya bisa menyelesaikan segala urusannya di luar rumah dengan tenang.***"Hai!" Suara bariton milik seorang pria tiba-tiba terdengar dari balik pintu, mengejutkan Agni yang kala itu berjalan keluar ruangan kelas dengan tangan yang merogoh tas ranselnya, mencari kunci motor kesayangannya.Gadis itu tersentak hingga tubuhnya sedikit condong ke belakang kala seorang pria tiba-tiba saja sudah berdiri di depan ruang kelasnya sembari melambaikan tangan menyapa."Eh, sorry," ujar pria tersebu
Tirtha terus saja mengekor di belakang Agni hingga sampai di parkiran. Membuat gadis itu melirik tajam ke arah pria yang bagai itik mengikuti induknya ke mana pun sang induk pergi."Lu nggak punya kesibukan, ya? Kelas lu belum dimulai gitu, sampe lu kerajinan banget ngikutin gue sampe ke sini?""Nggak ada kelas.""Pantes," ujar Agni.Mata gadis itu memperhatikan Tirtha dari atas sampai ke bawah dengan ekspresi anehnya kala ia baru menyadari sesuatu. "Lu nggak salah kostum?" tanyanya dengan kening berkerut pada pria yang duduk di atas motor, berada tepat di samping motor Agni terparkir.Ikut memperhatikan dirinya, Tirtha kemudian tertawa kala tersadar akan ia yang masih menggunakan setelan kantor lengkap dengan jasnya. Lupa mengganti setelah meeting bersama klien di luar tadi. Namun, bukan Tirtha namanya jika tidak memiliki percaya diri yang tinggi. "Enggak lah, kenapa emang? Keren ya, aku?" ucapnya mengangkat kedua alis ke atas.
"Menyerahlah, Agni! Tanda tangani surat pengalihan warisan itu dan pergi jauh dari kota Bandung. Tinggalkan keluarga Yudistira, jangan pernah muncul dan mengganggu hidup kami lagi maka akan kami pastikan hidupmu aman dan damai.""Siapa kamu berani menyuruhku, hah?" tolak Agni dengan nada ketus serta tangan yang bertengger di pinggang."Aku ini tantemu," sahut Sherina cepat yang berhasil membuat Agni berdecih."Ya, meskipun ada rasa tak sudi dalam diri ketika garis takdir menakdirkan aku untuk menjadi siapa-siapa untukmu." Sherina memutar bola matanya sekilas. "Namun, jika saja aku boleh jujur, aku lelah sekali harus berulang kali berperang dan menyakiti anak kecil dengan status keponakan sepertimu. Tentu kau tahu kalau aku bisa saja mengakhiri peperangan ini dengan membunuh kalian berdua, bukan? Akan tetapi, aku masih ingin membiarkanmu dan Tari hidup. Maka, hiduplah kalian di suatu tempat yang jauh dari sini. Menyerahlah sebelum akhirnya aku benar-be