Sebelum puncak kekesalan Sahara malam itu. Pekerjaan di kantor yang hari itu memang membuat Roy banyak hilir mudik dari ruangannya ke beberapa ruang rapat yang berbeda ukuran. Sejak pagi dia sudah melakukan tiga rapat. Dua rapat internal dan satu rapat lagi dihadiri oleh semua divisi yang akan membahas proyek baru The Smith’s Project. “Sebentar lagi kita kembali ke rumah. Aku terlalu capek hari ini,” ucap Roy saat melewati meja Novan dan mengetuk pelan pinggiran meja asistennya itu. “Saya siap-siap sekarang kalau gitu,” tukas Novan, mematikan laptop dan memasukkannya ke laci. “Oh, ya … ponsel Anda berdering beberapa kali sejak tadi. Dari nomor tidak dikenal. Apa perlu saya jawab?” Novan memang sejak tadi menunggui ponsel Roy yang ditinggalkannya saat rapat terakhir. Roy mengulurkan tangan meminta ponselnya dari Novan. “Istriku pasti belum menelfon, ya?” tanya Roy. “Belum, Pak.” “Sudah aku duga,” gumam Roy, menggulir ponselnya dan melihat nomor telepon yang tidak dikenal Setela
“Aku suka melihatmu tahu cara memuaskan diri sendiri,” bisik Roy, berusaha benar-benar menikmati aksi Sahara yang menggetarkan tubuhnya dengan samar. Sahara lalu menunduk, membuat puncak dadanya yang mengetat menggesek perutnya, membuat rasa menggelitik semakin tidak tertahankan buat Roy. Tak sadar tangan Roy terangkat dari belakang kepala, dan perlahan menyentuh lutut kemudian naik dan mengusap paha Sahara seraya memenjamkan mata. Gerakan Sahara semakin cepat, kelopak matanya menurun dan gerakan pinggulnya menjadi gaduh. “Sayang … aku membencimu, aku marah,” bisik Sahara, menunduk untuk menggesek celah kelembutannya yang semakin basah, mempertemukannya dengan lekuk kemaskulinan Roy yang sangat keras. Sahara ingin tertawa karena melihat wajah Roy benar-benar tersiksa. “Aku akan membiarkanmu malam ini. Aku … bisa … Oh,” pekik Sahara, mencengkeram dada Roy sekuat tenaga. Sahara menukik, lalu menggigit dada suaminya. Roy sangat menikmati pemandangan dan raut wajah Sahara yang mencapa
Roy tak membiarkan Sahara meninggalkan ranjang usai mereka bercinta. Tak melakukan percakapan intense di ranjang sebagai pasangan suami istri beberapa hari terakhir, membuat Roy meluapkan semuanya malam itu. Sahara meringkuk di sebelahnya. Telanjang berada di dalam selimut tebal yang hanya memperlihatkan puncak kepalanya. Sisa dini hari itu, Roy berbaring di ranjang, terpuaskan. Kantuknya datang perlahan seiring dengan usapannya di punggung Sahara semakin berkurang. Kenyamanan dan rutinitas hidupnya yang semakin teratur, membuat Roy terkadang terlena. Ritual bangun pagi lebih dulu dari manusia mana pun di rumah itu, sesekali dilanggarnya. Seperti pagi itu. Roy terbangun saat mendengar suara kran kamar mandi menyala. Tangannya meraba ranjang dan tak mendapati Sahara. “Ternyata bangun lebih awal pagi ini,” gumam Roy, menegakkan kepala, melihat dinding kaca kamar mandi yang menampilkan Sahara berbaring di bath tub. “Jam berapa ini?” Setelah meregangkan tubuh beberapa detik, Roy tersen
Empat hari belakangan Sahara memang merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Sebulan terakhir, dalam tiga puluh hari, Roy memang terus menerus mengajaknya bercinta. Bisa dihitung ia tidur dalam keadaan berpakaian di malam hari. Saat baru terlelap, Roy melucuti pakaiannya dengan gerakan cepat dan selalu berhasil membuatnya gelagapan. Menikah dan hidup beberapa tahun belakangan dengan Roy masih saja merupakan pelajaran baru bagi Sahara. Baginya Roy masih memiliki sisi misterius yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Roy bukan tipe pria yang akan mengomelinya panjang lebar karena hanya dengan diam saja, ia selalu dibuat salah tingkah. Dengan frekuensi bercinta yang sangat meningkat, Sahara pesimis bahwa ia akan datang bulan selama beberapa waktu ke depan. Roy tak hanya mengajaknya bercinta di ranjang. Di tiap sudut kamar mereka dan di berbagai kesempatan saat mereka berdua. Ruang ganti pakaian, kamar kedua putri mereka, kamar mandi, ruang kerja pribadi Roy, bahkan meja di ruang
Sahara dan Rini berpisah hari itu dengan bekal kata-kata, “kita akan menyimpan cerita ini selamanya tanpa diketahui para pria itu.” Menjelang siang Sahara semakin meriang dan pergi meringkuk ke bawah selimutnya. "Kurasa kalau aku enggak tahu hasil test pack itu, aku enggak akan meriang.” Sahara menggerutu di bawah selimut. Belum pukul delapan malam, tapi Sahara sudah berganti dengan satu stel piyama lengan panjang. Clara memanggil Sahara untuk makan malam dan wanita itu menolaknya dari balik pintu kamar. Hingga Gustika meminta Clara membawa nampan makan malam lengkap dan meletakkannya di meja. Perubahan sikap Sahara yang begitu mendadak membuat Gustika berpikir akan satu hal yang pasti. “Kenapa baru pulang jam segini?” tanya Gustika pada Roy yang baru tiba malam itu. Roy menarik satu kursi di ruang makan dan duduk di sebelah ibunya. “Ada perizinan proyek yang bermasalah dan kurasa besok aku akan memecat salah satu subkontraktor. Banyak yang bekerja tidak becus tapi mau digaji bagus
“Miss, bisa tanyakan ke Pak Novan di mana suamiku? Terus tanya juga lagi ngapain. Kalau perlu tolong kirim foto. Lakukan diam-diam jangan sampai ketahuan. Dan Miss jangan bilang kalau aku yang minta. Ayo, cepat. Aku tunggu di sini.” Sahara menarik salah satu kursi ruang makan di gedung tempat tinggal para pegawai. “Kamu jauh-jauh ke sini cuma mau minta itu?” tanya Rini, mematikan kompor listrik tempat ia membuat sup ayam untuk putranya. Sahara mengangguk, menopangkan tangan di dagu dan memutar-mutar ponselnya di meja makan. “Memangnya kenapa ponselmu? Enggak bisa dipakai menghubungi Pak Roy?” Rini melepas apron yang dikenakannya seraya berjalan menuju meja makan. “Aku sedang ngambek. Malas menjawab pesan suamiku tapi aku penasaran dia di mana. Udah hampir tiga bulan enggak ada kabar dengan hubungan Herbert dan Letta. Sepertinya kali ini pimpinan kalian enggak bisa menembus pertahanan Herbert. Pria itu benar-benar misterius. Kukira selama ini Presdir-nya yang misterius. Roy terkala
Beberapa saat sebelum Roy tiba di rumah. Hari sudah malam saat dia dan Novan meninggalkan hotel bintang lima yang dijadikan pilihan klien dari Australia untuk menginap. “Aku kira hanya aku yang bertingkah hanya soal menginap. Klien barusan ternyata lebih menggelikan. Hanya mau menginap di jaringan hotel internasional.” Roy terkekeh-kekeh seraya menggeleng. Novan ikut tertawa sumbang. Baru saja secara tidak langsung Roy mengakui bahwa dirinya sendiri menggelikan. “Apa tadi Rini ada mengirim pesan?” tebak Roy. Saat bicara di lounge hotel, dia melihat Novan mengetik pesan sambil melirik ke arahnya. Ditambah lagi dengan Novan yang mengarahkan kamera ponselnya diam-diam. Jelas sekali asistennya itu sedang melaporkan sesuatu pada istrinya. “Seperti biasa, Sir. Istri Anda berkeliaran sampai ke gedung belakang untuk mengisi waktu luang. Semoga tidak ada masalah dengan foto yang saya kirim tadi. Istri Anda pasti memperbesar foto sampai maksimal. Soalnya wanita penerjemah tadi terlihat ter
“Tak mau menyentuhku malam ini?” tanya Roy, menekan bokong Sahara saat merangkak di atas wanita itu. “Enggak…enggak. Aku lagi enggak mau menyentuh. Penjelasanmu kurang memuaskan, Pak Roy. Apa benar wanita tadi melirikmu? Yang berambut pirang. Aku kenal sorot mata itu. Itu sorot mata wanita yang menginginkan sesuatu. Dia sedang bernafsu melihatmu. Benar, kan?” tanya Sahara. Roy tergelak seraya menepuk bantalnya sebelum berbaring menghadap Sahara. Bagian kepala mereka sejajar dan mereka saling menatap dengan satu tangan terselip di bawah bantal. “Memangnya sorot mata semacam apa?” tanya Roy, memuaskan diri menatap Sahara yang pipinya sudah kembali terlihat berisi. “Aku tidak memperhatikan soal wanita itu. Aku sudah cukup tua dan tahu diri. Masih banyak pria muda menawan di luar sana. Buat apa dia memandangku,” ucap Roy merendahkan suara. “Buat apa?” lirih Sahara. “Guratan ini ….” Sahara mengusap dahi Roy dengan telunjuknya. “Kukira guratan ini bukan membuatmu tampak jelek. Karena ku