Roy lupa kapan terakhir kali melihat Sahara secantik itu. Karena hidup yang terlalu nyaman berada di rumah bersama anak-anak dan Sahara yang cenderung malas berlama-lama di keramaian, Roy lebih sering mendelegasikan undangan-undangan rekan kerja pada wakil direktur, sekretaris atau kadang pada Novan dan Rini. Dia lebih suka bergumul bersama kedua putrinya atau menggoda Sahara di ranjang. Masa-masa keemasan dipenuhi dinner dan pesta cocktail sepanjang malam sudah membuat Roy bosan.“Kita berangkat sekarang?” tanya Sahara, membuyarkan lamunan Roy.“Sebentar, tunggu…duduk di sini.” Roy menyentuh kedua bahu Sahara dan membawanya ke sofa. “Sayang, kamu cantik sekali. Juga…seksi,” ucap Roy, menunduk dan mengecup salah satu dada Sahara.“Lalu? Aku pasti harus menunggumu berdandan lebih lama dari aku,” seru Sahara pada punggung Roy yang menghilang ke ruang ganti.“Tidak akan lama,” ujar Roy. “Aku akan mandi secepatnya. Melihatmu berdandan secantik itu membuatku tidak percaya diri,” sambung Ro
Roy tak memalingkan wajahnya sedikit pun saat menjawab pertanyaan Evelyn soal siapa Sahara. Matanya tak berkedip menatap Sahara yang sangat cantik malam itu. Mereka bertukar pandang. Saling melumat dalam tatapan mata. Roy menjawab yang sebenarnya. Sahara adalah obsesinya. Obsesi yang pernah dilecehkan dan dianggap sepele oleh Evelyn di masa lalu. Dan kini ia bahagia akan pencapaian obsesinya. Bagaimana di masa lalu Evelyn berani mengatakan mencintainya dan mau hidup bersama dengannya? Padahal selama Evelyn datang dan pergi ke tempatnya, wanita itu tidak pernah mau mengetahui apa pun soal dia. Satu-satunya yang jelas diingat oleh Roy adalah bagaimana Evelyn mengata-ngatai soal rencana balas dendamnya dulu. Dan sekarang Evelyn terlihat kesal karena dia menikah? Roy mendengkus. Roy merasa tak punya hutang apa pun terhadap Evelyn. Semuanya dibayar dengan profesional. Dia juga tak pernah melaporkan atas kehilangan satu jam tangan mahal yang diambil Evelyn dari laci meja kerjanya dulu. Wa
Roy ingin membuat kebahagiaan Sahara malam itu berlipat ganda. Antara menyaksikan sebuah lamaran manis yang tidak diterimanya dulu, dan menerima perlakuan yang sama dari seseorang yang sudah merupakan suaminya. “Itu Letta. Dia pasti bingung. Aku bisa merasakan perasaannya sekarang—walau aku belum pernah menerima hal begitu—tapi aku juga perempuan. Letta pasti berdebar,” bisik Sahara di telinga Roy. Roy diam saja. Mau tak mau dia mengingat bagaimana caranya menikahi Sahara dulu. Tak ada hal semanis ini. Jangankan lamaran, memberi bunga secara langsung saja bisa dikatakan dia setengah memaksa. “Dasar Herbert!” pekik Sahara tertahan. “Suasananya udah pas. Masa gitu, sih, cara ngasi bunga ke wanita yang mau dinikahinya. Laki-laki apa yang….” Sahara berhenti bicara. Dia mengendurkan pelukan tangan kirinya di leher Roy dan sedikit menjauhkan tubuh untuk memandang wajah pria itu. “Ah, aku baru ingat. Dulu ada juga laki-laki lain yang begitu. Malah lebih parah. Wajah dan bunga yang diberin
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B