Share

Aku Menginginkanmu Malam Ini

Hari sudah senja, Valia diam berdiri di teras belakang mansion. Tempat itu menyuguhkan langsung pemandangan indahnya lautan biru teluk Trieste.

Hati Valia kini sangat resah gelisah. Pasalnya sejak kejadian kemarin, Aaron tidak lagi muncul di hadapannya. Valia memikirkan tentang luka di tangan laki-laki itu.

"Di mana dia dua hari ini?" lirihnya lemas. Valia meletakkan satu tangannya dinding pembatas setinggi pinggang di depannya.

Sejenak Valia memilih duduk bersandar pada pilar dan menikmati semilir angin yang berhembus.

"Dia terluka sama sepertiku," ucap Valia memperhatikan telapak tangannya yang masih terbungkus perban. "Apa dia baik-baik saja? Mungkinkah lukanya sangat fatal?"

Valia menarik napasnya panjang memejamkan kedua matanya pelan.

"Nona Valia!"

Suara Merina, pelayan wanita itu pun mendekat dengan segelas air putih yang dia bawa.

"Nona sedang apa? Baru saja saya ambilkan air minum, tapi Nona sudah hilang dan ternyata berada di sini," ujar pelayan itu menyerahkan segelas air yang ia bawa pada Valia.

Valia mengabaikan Merina, memilih menatap ke arah teluk. Wajahnya begitu sedih dan tersiksa.

"Apa dia baik-baik saja, Pelayan Merina?" tanya Valia tiba-tiba.

"Ma-maksud Nona?"

"Dua hari dia tidak muncul, tidak menemuiku, dan aku juga tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah kejadian kemarin. Bukankah tangannya terluka? Apa lukanya sangat parah?" Valia meneteskan air matanya, mengingat hal bodoh yang ia lakukan.

Merina meletakkan gelas yang ia bawa di atas dinding pembatas teras. Pelayan itu tersenyum tipis dan mengangguk.

"Sepertinya memang cukup parah, Nona. Setahu saya lukanya sangat lebar, Dokter Fabio selalu ke sini setiap pagi dan sore," jelas Merina menatap Valia yang tersenyum getir.

"Semua karena aku," ucap Valia lirih. "Kenapa dia menyelamatkanku? Bukannya lebih baik aku mati saja dari pada terus merepotkan dia?"

Pelayan Merina mengusap pundak Valia dengan lembut. "Tapi Nona Valia khawatir dengan keadaan Tuan Muda, kan?"

Wajah menimbang-nimbang dan tidak yakin meskipun akhirnya Valia tetap mengangguk. Ia malu mengakuinya, namun di tempat sebesar itu, hanya Merina yang mampu mengerti perasaannya.

"Karena aku bisa melihat, sepertinya dia tidak mau aku terluka," ujar Valia menatap kosong.

Merina tersenyum, ia mendekati Valia dan berbisik, "Sekarang Nona lihat ke sana, siapa itu?"

Merina menujuk ke arah ujung lorong panjang di samping air mancur, di mana laki-laki yang ia cemaskan, tengah berjalan tegas diikuti anjing peliharaannya.

"Di-dia..." lirih Valia meramas dadanya pelan dan senyuman tipis terukir. "Syukurlah, dia baik-baik saja."

Tanpa sengaja tatapan mereka saling bertemu, gegas Valia pun kembali tersembunyi di balik pilar. Namun tiba-tiba Merina menyerahkan segelas air yang bawa pada Valia.

"Nona Valia minum dulu, saya akan kembali sebentar lagi," pamit wanita itu tersenyum manis.

"Tapi... Pelayan Merina! Tunggu-"

Ucapan Valia terhenti seketika. Ia menoleh ke sisi pilar, nampak kepala anjing seringala yang mendongak ke arahnya. Peliharaan milik Aaron yang sempat membuatnya jantungan.

"Aaaaa... Kau lagi!" teriak Valia langsung menyudutkan dirinya.

"Terkam dia, Lizer!"

Suara bariton itu membuat Valia mengangkat wajahnya. Nampak sosok laki-laki tampan berdiri di depannya tersenyum miring menatap hewan peliharaannya yang mengendus kaki Valia.

Tatapan mata Valia lurus pada tangan Aaron yang terbungkus perban.

"Aaron," lirih Valia menatap laki-laki itu. "A-apa tanganmu..."

"Lukanya parah. Apa kau sama sekali tidak merasa bersalah, hm?" sela Aaron cepat dan mendekati Valia hingga berdiri tepat di depannya.

"A-aku... Aku minta maaf, tapi kenapa kau menghalangiku?" Valia mengerjapkan kedua matanya polos.

"Aku tidak ingin semua orang-orangku sibuk mengurus kematianmu." Aaron tersenyum miring mendekatkan wajahnya. "Kau pikir aku mencemaskanmu?"

Valia memalingkan wajahnya, bibirnya pun cemberut. Sia-sia rasanya ia cemas pada Aaron kalau jawaban ketus laki-laki itu membuat Valia malu sendiri.

Di sela rasa kesalnya, terasa bulu-bulu lembut mendusal di kakinya. Anjing Siberian Husky bernama Lizer yang terus memutari Valia mendongak menjulurkan lidahnya dengan wajahnya yang sangat lucu.

Valia tersenyum kecil, jemarinya terulur menyentuh kepala hewan itu. "Aaron, a-apa dia tidak menggigitku?" tanya Valia penasaran.

"Tidak, Lizer tahu mana makanan yang mahal dan murahan."

Seketika Valia menatapnya sebal, bisa-bisanya ia lebih rendah dibandingkan dengan seekor Siberian Husky!

"Tapi hewan ini tidak menyebalkan sepertimu," cibirnya lirih.

Mendengar cibiran Valia, Aaron melangkah mendekat memangkas jarak keduanya. Satu lengan kekar laki-laki itu menyangga pada pilar besar yang penuh ukiran.

Wajah cantik Valia terasa panas begitu jarak wajah mereka hanya tinggal beberapa senti saja.

"Kau tadi mengkhawatirkanku, hm?" bisik Aaron lirih, bibirnya tepat di depan bibir Valia.

Valia menggeleng gugup.

"Ti-tidak! Siapa juga yang khawatir dengan laki-laki sepertimu." Valia memalingkan wajahnya. "Kau jangan besar kepala. Bagiku memang mati lebih baik daripada terus melihatmu."

Aaron tersenyum smirk. "Dan sayangnya hal itu mustahil kau lakukan."

"Kau yang tidak membiarkan aku mati!" Valia memukul kedua pundak Aaron.

Bukannya mundur, Aaron kian mendekat memiringkan kepalanya tepat di depan bibir Valia hingga gadis itu begidik ngeri memejamkan kedua matanya.

"Karena aku belum menikmati tubuhmu," bisik Aaron lirih dan meniup lembut pipi Valia.

Valia diam membeku, hingga suara kekehan Aaron menyadarkannya. Sontak gadis itu melayangkan pukulan kecilnya di pundak Aaron.

"Aku tidak mau. Minggir kau dari depanku!"

Valia berniat mendorongnya, namun Aaron lebih dulu mendekat hingga tubuh mereka kini benar-benar menempel. Bulu roma Valia merinding geli saat ujung hidung mancung laki-laki itu menyentuh pipinya.

Kedua mata Valia kembali terpejam erat, bibir bawahnya yang digigit kuat. Aaron sangat menikmati permainannya membuat gadis ini takut dan serba salah.

"Aaron..." Valia berucap lirih dan lelah. "Jangan begini. A-apa yang kau mau dariku?"

"Menjadikanmu budak yang patuh di atas ranjangku! Apa masih kurang jelas, hm?" bisik Aaron menyeringai licik.

Kedua tangan Valia terkepal kuat, ingin sekali meninju wajah sombong Aaron. Laki-laki itu selalu menang dan mudah menguasainya.

"Ekhem... Permisi Tuan Muda, maaf mengganggu."

Suara Sergio membuat sang Tuan berdecak sebal. Ia mundur menjauh dari Valia, beralih menatap laki-laki bertubuh gempal yang kini berdiri tegap di depannya.

"Ada apa?"

"Ada seseorang penting yang ingin menemui Tuan Aaron. Beliau sedang menunggu di ruangan Tuan," jelas Sergio penuh hormat.

"Aku akan segera ke sana."

"Baik, Tuan."

Aaron gegas pergi, namun belum jauh kakinya berjalan, ia menghentikan langkahnya.

Tubuh tegapnya berdiri memunggungi Valia dan tidak menoleh sedikitpun.

"Siapkan dirimu malam ini, Valia!"

Kedua mata Valia membola, tubuhnya menegang menatap punggung kekar Aaron yang telah menjauh.

"Apa katanya?" Valia tertegun sejenak. Ia kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, tidak, aku tidak mau. Pokoknya aku tidak mau!"

Gadis itu terduduk menekuk kedua lututnya dan menjambak rambut panjangnya. Rasa takutnya pada Lizer pun hilang, ia membiarkan hewan itu mengendusnya. Kini Valia lebih takut dengan apa yang baru saja Aaron katakan.

"Aku tidak mau, Ya Tuhan. Bagaimana aku melewati malam ini..."

*** 

"Lain waktu jangan datang lagi ke tempatku!"

Seruan itu Aaron tujukan pada laki-laki dengan setelan formal yang duduk di hadapannya.

Hans, seorang penasihat keluarga besar Alieston, tersenyum tipis dan mengangguk.

"Apa Tuan Aaron takut kalau seseorang mengenali saya di sini?" Hans melirik ke arah taman.

Seketika Aaron menoleh di mana Valia berada di sana dengan dua pelayan.

Aaron menjawabnya dengan gumaman. "Jangan ikut campur."

"Apa Tuan tidak takut kalau orang tua Tuan Muda tahu, ada seorang gadis di sini? Dan gadis itu..."

"Aku tidak peduli. Aku tidak akan bisa dikendalikan oleh siapapun," sela sang Tuan Muda dengan nada tegas seperti biasa.

Aaron bangkit menegakkan tubuhnya, tatapannya lurus tertuju pada gadis yang kini sudah bisa tersenyum-senyum di depan sana.

"Apa yang akan Tuan lakukan dengan gadis itu?" tanya Hans sedikit khawatir.

"Apapun keinginanku. Dia akan berada di sini selamanya!"

"Tuan Aaron..."

"Jangan menghentikanku, Hans. Aku bisa menghabisi siapapun yang menghalangiku." Laki-laki itu menyeringai penuh ancaman.

Aaron masih setia mantap Valia yang berada di depan sana. Hingga beberapa detik kemudian mereka saling tatap, dan Valia menghindar berlalu pergi.

Sementara Hans bersedekap dan berekspresi serius. Dari dalam ruangan pribadi milik Aaron, ia menatap gadis di luar sana dengan sedikit iba.

"Segera pergi kalau kau tidak ingin menyampaikan apapun. Jangan pernah kembali ke tempatku lagi."

Hans beranjak dari duduknya. Ia meletakkan sebuah berkas di atas meja.

"Mohon Tuan Muda membaca beberapa lembar surat ini. Dan... tolong pertimbangkan lagi untuk gadis itu."

Aaron tidak menjawabnya. Laki-laki bertubuh gempal itu pun gegas meninggalkan ruangan Aaron seketika.

Barulah Aaron membalikkan badannya meraih berkas di atas meja. Ia kepikiran dengan apa yang Hans katakan padanya barusan.

Kedua tangan Aaron terkepal di atas meja. "Tidak akan aku biarkan ada yang berani menghentikanku. Apalagi melepaskan Valia dari sini. Tidak akan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status