Share

Bersembunyi Darimu, Berakhir Dalam Pelukanmu

"Kenapa hari cepat sekali berubah gelap, aku harus bagaimana malam ini?"

Valia bersembunyi di balik selimut tebalnya memeluk bantal dengan erat. Perasaannya sangat resah gelisah tak bisa tenang.

Aaron mengatakan padanya malam ini ingin ia puaskan. Valia merasa bingung dan ingin rasanya ia menghilang dengan cepat.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau memuaskan Aaron, aku tidak mau tidur dengannya... Tidak mau!" Valia memukuli kepalanya dengan rengekan frustrasi.

Di tengah ia meracau, tiba-tiba saja Valia tersentak saat seseorang menyentuh punggungnya di balik selimut.

Sontak Valia menyibakkan selimut itu dan mendongak menatap siapa yang berada di kamarnya.

"Pe-pelayan Merina!" Valia menatap sedih wanita itu dengan napas yang naik turun.

"Nona kenapa?" Pelayan Merina menyentuh kening Valia. "Nona masih pusing ya?"

Valia menggeleng pelan. "Aku pikir tadi Aaron yang menyentuh punggungku," lirih Valia cemberut.

Kekehan gemas terdengar dari bibir Merina. "Tuan Aaron sedang bersama Sergio di bawah. Tadi beliau meminta saya mengantarkan baju tidur ini untuk Nona."

Ekor mata Valia melirik baju tidur yang Merina bawakan. Valia menggelengkan kepalanya menolak.

Wajah yang lesu membuat Merina duduk di hadapan Valia. Wanita itu tahu betapa tidak tenangnya Valia hidup bersama dengan Aaron.

"Nona Valia kenapa?" Merina merapikan rambut panjang sang Nona.

"Aaron memintaku untuk tidur bersamanya malam ini, Pelayan Merina. Tapi aku tidak mau, aku bukan wanita murahan yang bisa memuaskannya."

Air mata Valia menetes deras. Suara tangisannya yang terdengar pilu sedih.

"Nona Valia masih kurang enak badan. Nona harus berterus terang pada Tuan," ujar Merina mengambil sesuatu di balik saku bajunya.

"Tapi dia kan galak, dia pasti memaksaku sesuka hati karena dia mengerikan. Pasti dia juga akan-"

Ocehan Valia terhenti saat Pelayan Merina merekatkan sebuah plaster di kening Valia, ia juga tersenyum dengan hangat.

"Nona Valia masih sakit, tubuh Nona masih sedikit panas. Biar saya bicara mengenai pada Tuan," ujarnya.

"Pelayan Merina serius? Ti-tidak bohong, kan?"

Merina beranjak dari duduknya. "Semoga Tuan mau mendengarkan saya ya, Nona."

Valia mengangguk, rasa tenang kembali Valia rasakan perlahan-lahan. Ia tetap duduk di atas ranjang menatap pelayan Merina keluar dari dalam kamarnya.

Pandangannya mengedar seisi kamar, bayangan hal yang tidak-tidak bisa Aaron lakukan kapan saja. Valia tetap tidak bisa merasa lega.

"Apa aku pindah kamar?" Kedua matanya mengerjap pelan. "Aku harus berjaga-jaga, mungkin aku bersembunyi darinya!"

Seketika Valia menyibak selimut dan turun dari atas ranjang. Dibukanya pintu kamar, menelisik situasi selasar lantai dua yang sepi.

Valia berjalan menyusuri tempat itu. Di sana sangat banyak ruangan dan sebagian tidak terkunci dari luar, itulah yang Valia tahu dari Pelayan Merina.

"Sepertinya kamar ini aman," lirih Valia memperhatikan sekitar.

Ia berdiri di depan sebuah kamar yang berada di ujung. Valia membuka pintu kamar itu perlahan dan segera masuk ke dalam sana.

"Kamar yang bagus," ujar Valia tersenyum lebar. "Aroma kamar yang segar."

Gadis itu berjalan ke arah ranjang dengan sprai hitam menutupi hamparan ranjang. Seketika Valia menghempaskan tubuhnya di atas sana dan gegas menarik selimut.

Sebelum beranjak tidur, Valia menangkup sat pipinya. "Aku demam, badanku panas, hem..." Valia menatap nanar lukisan kuda di dinding kamar.

"Semoga saja Pelayan Merina berhasil membujuk Aaron. Kali ini tolonglah, Ya Tuhan."

**

"Bagaimana kondisi gadis itu, Merina?"

Aaron berucap dingin saat tahu Merina masuk ke dalam ruangannya.

Pelayan itu mendekat dan menundukkan penuh hormat.

Di depan sana, sang Tuan Muda duduk menyilangkan satu kakinya seraya membuka beberapa dokumen-dokumen penting.

"Nona Valia masih demam, Tuan. Saya sudah memberikan penurun panas. Dan, apa benar kalau malam ini Tuan-"

"Ya, itu urusanku dengan peliharaanku," sela Aaron, ia beralih menatap Merina. "Kau tidak perlu mencemaskan dia."

Aaron pun beranjak berdiri tegap, iris birunya menatap tajam pada pelayan wanita yang memberikan ekspresi cemas.

Laki-laki itu melangkahkan kakinya dan tidak mengatakan apapun lagi pada Merina.

"T-tuan Aaron," lirih Merina memanggilnya lagi.

Langkah Aaron seketika terhenti.

"Tidak ada yang herhak atas dia selain aku, Pelayan Merina!"

Kembali Aaron melangkah keluar dari dalam ruangan pribadinya. Ia berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamar miliknya di lantai dua.

Aaron membuka pintu kamar, berjalan masuk seraya melepaskan tuxedo hitam yang ia pakai. Namun tiba-tiba perhatiannya teralihkan dengan seorang gadis yang tidur pulas di atas ranjangnya.

"Apa yang dia lakukan di sini?" lirih Aaron menyipitkan kedua matanya. "Dia mencoba bersembunyi? Malah masuk ke kamarku? Cih..."

Aaron sejenak mengabaikan gadis itu, gegas ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa lelah.

Sedangkan Valia yang mulanya tertidur lena, kini terganggu saat merasakan udara menjadi lebih dingin. Belum lagi suara gemericik air terdengar di telinganya.

"Huh, suaranya..." Valia langsung bangun dan terkejut.

Kepalanya terasa sangat pening, Valia memukul-mukul pelan. "Aduh kepalaku, pusing sekali. Padahal aku sudah meminum obatnya, tapi kenapa masih sakit?"

"Penyusup kamarku, kau sudah bangun rupanya!"

Suara bariton dingin menusuk gendang telinga Valia. Gadis itu cepat menoleh ke sumber suara, menatap siapa yang berdiri di sana.

Aaron. Laki-laki berparas tampan itu berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan kimono hitam yang membungkus tubuh kekarnya.

Kini ia mulai melangkah mendekat.

"Berani sekali kau masuk ke dalam kamarku, Valia?" Aaron bersedekap sombong.

"Ti-tidak seperti itu, aku tidak sengaja." Valia menarik selimut dan menggelengkan kepalanya cepat.

"Lalu, apa yang kau lakukan di dalam kamarku, huh?" Aaron berdiri membungkukkan di hadapan Valia.

Gadis itu mengutuk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat dan wajahnya terasa sangat panas. Padahal kini dirinya masih duduk di atas ranjang milik Aaron.

"Aku minta maaf, aku akan pergi sekarang."

Valia hendak menuruni ranjang, namun Aaron menahan lengannya dan membuat Valia tidak bergerak.

"Apa seperti ini caranya penyusup meminta maaf, huh?" bisik Aaron, wajahnya berada lima senti di depan Valia.

"Aku sudah bilang padamu, aku tidak sengaja. Kamarku... Kamarku dingin sekali. Jadi aku tidak sengaja masuk ke dalam kamar ini, Demi Tuhan aku tidak tahu kalau ini kamarmu dan-"

"Siapa yang sudah masuk ke dalam kamarku, tidak akan bisa keluar."

Kedua mata Valia melebar. Ia mundur perlahan saat Aaron naik ke atas ranjang. Jemari tangannya meremas sprai dengan kuat, wajah cantiknya yang ketakutan membuat laki-laki itu tersenyum menang.

Aaron berhasil mengungkung tubuh kecil Valia. Gadis itu langsung memejamkan kedua matanya erat saat tubuhnya sudah terpenjara.

"Aku masih demam, kau tahu," lirih Valia meringkuk melindungi dirinya. "Jangan melakukan apapun padaku, apa kau pikir aku wanita murahan, hah?"

"Jangan munafik, Valia. Wanita bekas sepertimu tidak perlu jual mahal di depanku!"

"Be-bekas, apa maksudmu?" Air muka Valia dipenuhi keterkejutan.

Aaron tertawa hambar, ia semakin mengurung tubuh mungil Valia tanpa jarak. Hingga napas gadis itu terasa menerpa di kulit wajahnya.

"Gadis sepertimu bukannya selalu melemparkan tubuh ke semua lelaki, hem?" Aaron menyeringai.

Mati-matian Valia menahan air mata yang sedari tadi berdesakan ingin tumpah dari pelupuk mata.

Isakan terdengar dari bibir tipis Valia mendengar kata-kata menjijikkan yang Aaron katakan. Satu, dua, tiga pukulan ia daratkan di pundak Aaron.

"Kurang ajar, kau sangat kurang ajar, Aaron!" pekik Valia menangis menampari wajah Aaron. "Jahat! Kau laki-laki jahat!"

Pukulan dan tamparan tangan Valia sungguh tak terasa bagi Aaron. Hingga ia tidak bereaksi apapun, selain merasa terhibur dengan wajah lucu Valia saat menangis dan marah.

Aaron pun tersenyum tipis, tangannya mendarat di pucuk kepala Valia dan mengusaknya.

"Tidurlah. Kalau kau terus menangis, aku bisa memaksamu memuaskanku!"

Seketika Valia menarik selimut menutup sekujur tubuhnya. Ancaman Aaron berhasil membuat suara tangisnya terhenti.

"Kenapa kau selalu merendahkan aku, Aaron?" lirih Valia merasakan Aaron duduk di sampingnya.

Tubuh Valia pun kembali bergetar saat sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Aaron memeluknya erat dari belakang.

Laki-laki itu mendekatkan wajah tampannya di sisi wajah Valia.

"Di hadapanku, kau tidak ada harganya, Valia. Malam ini aku mengampunimu, tapi tidak dengan esok."

"Esok?" cicit Valia kesal.

Aaron kian mendekapnya erat. Sangat-sangat erat.

"Ya, jangan harap kau bisa turun dari atas ranjang ini, Amore."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status