Share

Tidak Membiarkannya Tenang

"Lebih baik aku mati kelaparan daripada di sini seumur hidup."

Valia berucap nanar menatap langit-langit kamarnya. Kembali ia mengeliat menekan perutnya yang terasa sakit. Dua hari Valia menolak bujukan makan dari siapapun dan memilih mati kelaparan.

Gadis itu meringkuk di atas ranjang dan menjambak sendiri rambut panjangnya, menangis frustrasi.

"Kapan... Kapan aku tidak bisa pergi dari tempat ini, aku tidak bisa melakukan apapun di sini selain terus disakiti."

Valia memukul bantalnya. "Sebenarnya apa salahku dengannya? Kemunafikan apa yang dia maksud?"

Kata-kata Aaron saat itu terus terngiang di kepalanya, tentang kemunafikan di masa lalu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Aaron maksud. Demi Tuhan, Valia bahkan tidak mengenal pria itu sebelum ini!

Merasa putus asa karena berusaha kabur pun tidak mungkin, Valia tidak bisa melakukan apapun untuk membebaskan dirinya sendiri. Karena itu ia memilih untuk mati saja, daripada terperangkap seumur hidup bersama orang tak punya hati seperti Aaron!

"Akkhh... perutku..." erang Valia menekan kembali kuat perutnya dengan mata terpejam erat.

Sampai akhirnya pintu kamar terbuka, pelayan Merina langsung mendekat begitu melihat Valia merintih kesakitan.

"Astaga, Nona Valia!" Pelayan itu menyentuh punggung Valia dengan pelan. "Nona kenapa tidak makan? Perut Nona akan bertambah sakit."

Valia menggeleng dan semakin meringkuk di atas ranjang. "Pelayan Merina tidak perlu membantuku, lebih baik tinggalkan aku sendirian."

"Nona, tapi saya tidak bisa melihat Nona Valia kesakitan. Tuan Aaron akan marah nanti, lebih baik Nona..."

"Aku sudah tidak tahan lagi, Pelayan Merina. Aaron akan selalu menyakitiku lagi dan lagi. Lebih baik aku mati saja. Tolong jangan hentikan aku," lirih Valia memohon.

Pelayan itu sangat cemas, pasti Valia menahan sakitnya mati-matian saat ini. Bahkan dua piring dari sarapan hingga makan siang yang berada di atas meja masih utuh tak tersentuh.

Merina tidak bisa tinggal diam, Aaron pun pasti akan marah besar kalau tahu Valia melakukan hal konyol semacam ini.

"Kalian, tolong ganti menu makanan dan nasi untuk Nona. Ambilkan sup yang tadi sudah aku siapkan!" Merina memerintah pada dua pelayan bawahannya.

Mereka meringkas makanan di atas meja dan segera menggantikannya dengan yang baru.

Sementara Merina harus terus membujuk Valia. "Nona, saya sudah membuatkan sup ayam. Kali ini Nona makan ya, sedikit saja. Nona bisa pingsan, sakitnya akan bertambah parah kalau terus dibiarkan."

Valia menggeleng. "Jangan memaksaku, Pelayan Merina. Kau tinggalkan aku sendirian di sini. Keluarlah," usir Valia mendorong pelan lengan pelayan itu dengan tenaga seadanya.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Merina mengembuskan napasnya berat dan frustrasi.

Valia pun menangis antara frustrasi dan menahan sakit perutnya bagai dipelintir dengan kuat.

Tak lama kemudian, dua pelayan pun kembali masuk ke dalam kamar membawa satu mangkuk berisi sebuah sup. Mereka meletakkannya di atas meja.

"Nona, mari saya suapi. Sedikit saja ya," bujuk Merina penuh kesabaran.

Dua pelayan pun ikut membantu Valia bangun. Tapi mereka sedikit memaksanya, karena Valia bersikeras menolak.

"Aku tidak mau!" Valia menutup mulutnya dan terus menggeleng kuekeh.

"Sedikit saja Nona, ayolah..." Merina hendak menyuapkan sup di atas sendok yang dipegangnya.

Valia yang keras kepala, menepis kuat tangan Merina. "Jangan memaksaku, Pelayan Merina. Aku sudah bilang kalau aku tidak mau!"

Prang!

Mangkuk berisi sup ayam itu pun berceceran menjadi beling-beling tajam di atas lantai.

Valia beranjak menuruni ranjang dan ingin pergi, namun tubuhnya yang lemas membuat gadis itu terjatuh.

"Astaga Nona Va-"

"Jangan mendekat," lirihnya gemetar menatap sayu.

"Nona, maafkan kami. Kami hanya..."

"Tinggalkan aku sendirian!" Valia pun meraih satu beling mangkuk di sampingnya. "Atau kalian akan melihatku mati di sini sekarang juga!"

Sementara di luar, Aaron baru saja turun dari dalam mobil miliknya. Dengan setelan formal dibalut mentel hitam panjang, ia memasuki mansion megah yang kini terasa sangat sunyi.

Aaron melangkahkan kakinya ke ruang tengah, dan melepaskan mantel yang ia pakai. Tiba-tiba perhatiannya teralih saat melihat satu pelayan berlari dari lantai dua.

"Tuan... Tuan Muda!" pekik pelayan itu mendekatinya.

"Ada apa?" Aaron menatap dingin.

"Tuan Muda, Nona Valia sekarang sedang marah di kamarnya. Sudah dua hari ini Nona tidak mau makan, padahal perutnya sedang sakit. Dan sekarang Pelayan Merina sedang membujuk Nona, tapi Nona malah terus marah," jelas wanita itu histeris.

Aaron melemparkan jas hitam yang tadinya ia pakai. Langkah jenjangnya cepat membawa laki-laki itu ke kamar Valia.

"Apa lagi kali ini," geram Aaron mendengar tangisan Valia di kamar ujung.

Begitu Aaron tiba, ia terkejut melihat Valia sangat kacau. Gadis itu terduduk di lantai dengan dress putih panjangnya yang kusut dan wajahnya begitu pucat menyedihkan.

"Valia, apa yang kau laku-"

"Berhenti di sana!" Valia menyela cepat, ia meraih satu pecahan beling mangkuk di hadapannya.

Valia mengarahkan beling yang ia genggam tepat di nadi tangan kirinya. Melihat kedatangan Aaron, ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat emosi.

"Jangan mendekat, atau aku akan mati di depan kalian semua!" desis Valia, air matanya masih berderai-derai.

Aaron merasa hawa takut menyerangnya saat itu juga. Pemandangan ini membuat ia merasa deja vu, mengingat seseorang yang ia sayangi pernah melakukan hal seperti apa yang Valia lakukan saat ini.

Ingatan itu membuat tubuh Aaron merinding ngeri. Detak jantungnya berpacu, dan napasnya mulai terasa sesak. Namun, sebisa mungkin tak ia tunjukkan. 

Pria itu berusaha mengendalikan diri. Dia tidak boleh bertindak gegabah kalau tidak mau hal mengerikan dalam bayangannya menjelma menjadi nyata.

"Jangan melakukan hal gila, Valia." Aaron mendekat dengan wajah cemas. Dia menelan ludah saat Valia justru semakin menekan beling tajam itu pada pergelangan tangannya.

"Aku lebih baik mati daripada harus tinggal selamanya bersamamu, Aaron!" 

"Kau bisa melukai dirimu sendiri," kata Aaron dengan suara yang kali ini terdengar lembut. Tatapannya menyiratkan cemas yang begitu kentara. 

Mata sayu Valia menatapnya frustrasi. "Aku tidak peduli. Tidak usah berpura-pura baik padaku."

Sebisa mungkin Aaron menenangkan dirinya sesaat, bayangan bila runcing beling itu akan menyayat membuat detak jantung Aaron semakin berdebar.

Di depannya, Valia masih menangis meminta semua orang menjauh. Namun, Aaron tetap maju perlahan untuk mendekatinya.

"Letakkan benda itu, ya?" Aaron memelankan suaranya dan menekuk lututnya di hadapan Valia.

Gadis itu menggeleng lemah dengan air mata yang masih berderai. Meskipun ia tidak punya banyak tenaga saat ini, tapi Valia telah dikuasai rasa frustasi. Pikirannya tidak jernih.

"Lebih baik aku menyusul Papaku di surga. Di dunia ini sudah tidak ada orang baik lagi padaku!"

Valia menangis tak berdaya mendongakkan kepalanya bersandar di dinding. Hal itu menjadi celah bagi Aaron melangkahkan mendekatinya.

Sigap Aaron menarik tubuh kecil Valia ke dalam dekapan eratnya. Satu tangannya berusaha mencengkeram pelan pergelangan tangan Valia.

"Jangan melakukan hal ini," bisik Aaron sambil berusaha merebut beling yang masih digenggam Valia.

"Tidak, jangan halangi aku. Aaron menyingkirlah, lepaskan tanganku!"

Gadis itu memberontak hebat, dekapan Aaron pun menjadi sangat erat. Digenggamnya tangan kanan Valia yang membawa satu beling lancip hingga tanpa sengaja ujung runcing beling itu menggores tangan Aaron.

"Akh!" Aaron mengerang pelan. Cairan merah mengucur dari telapak tangan Aaron setelah berhasil merebut beling di tangan Valia dan melemparkannya jauh.

Tangisan Valia pun terhenti melihat tetesan darah di depannya, nyalinya langsung menciut dalam dekapan Aaron.

"Ta-tanganmu," lirih Valia mendongak menatap wajah Aaron. "Tanganmu berdarah..."

"Lupakan," bisik Aaron menyampingkan tangan kanannya dari pandangan Valia.

"Tapi, kenapa? Kenapa kau..." Ucapan gadis itu tiba-tiba melirih. Tubuh Valia melemas dalam hitungan detik, pandangannya menggelap, sampai akhirnya Valia menyandarkan kepalanya di dada bidang Aaron dengan kedua mata tertutup sempurna.

"Tuan Muda..." Pelayan Merina tidak berani mendekat.

"Cepat bersihkan semua belingnya dan panggil Fabio ke sini," perintah Aaron.

"Baik Tuan."

Sejenak Aaron mantap wajah pucat Valia dalam pelukannya, gadis itu benar-benar sangat pucat tak berdaya.

"Benar-benar merepotkan," bisik Aaron mengusap pipi Valia yang basah dengan tangannya yang tidak terluka.

Perlahan ia mengangkat tubuh kecil Valia dan kembali membaringkannya di atas ranjang, menarik selimut menutupi tubuh mungil Valia yang tak berdaya.

Sesekali Aaron mendesis karena luka robekan lebar di telapak tangannya dan darah yang terus mengucur.

Ekor matanya melirik Valia yang terbaring lemah.

"Aku tidak menginginkan kematianmu, Valia. Melainkan hal lain, suatu saat nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status