Share

Sosok Menghampiri

“Loh ini pintunya kenapa gak bisa dibuka.” Berulang kali Riyan memutar-mutar knop pintu. Seketika langsung menepuk kening lupa sesuatu, ia merogoh saku celana kanan untuk mengambil kunci. Barulah pintu bisa dibuka.

“Assalamu’alaikum,” salam Riyan seraya melangkah masuk.

Riyan meletakkan rantang kosong di meja kemudian bergegas untuk membersihkan badannya. Selang beberapa menit selesai mandi, Riyan segera melaksanakan ibadah.

***

“Sus apa Riyan tidak ke sini lagi?” tanya Bu Ani.

“Tidak, Bu. Besok baru, Pak Riyan ke sini jenguk lagi,” jelas Suster Ina kembali mengecek cairan infus.

Bu Ani meraih tangan Suster Ina perlahan, “Ina makasih, yah.”

Suster Ani diam sesaat kemudian ia tersenyum. Berbeda dengan pasien lainnya bisa dibilang Ina lumayan dekat dengan Bu Ani. Ia juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bu Ani walaupun bukan waktunya untuk mengontrol pasien, Ina selalu menyempatkan untuk ke kamar Bu Ani.

“Oh iya Ina kalau Riyan ke sini jangan dipanggil, Pak. Panggil, mas aja kalian, ‘kan umurnya tidak jauh beda,” kata Bu Ani.

“Iya, Bu baik. Kalau gitu saya keluar dulu. Ibu istirahat, yah.” Suster Ina merapikan kembali selimut Bu Ani.

***

“Inaaaa,” panggil seseorang

Ina berbalik badan mendapati temannya sedang berlari menghampiri. Ia juga sebagai suster sama seperti Ina di rumah sakit itu.

“Ada apa, Vi?” tanya Ina.

“Kamu masih ada tugas gak? Aku mau minta tolong belikan air botol sama roti di luar. Ini juga buat kamu terserah mau dibeliin apa,” pintanya.

“Oh yaudah kalau gitu aku minta tolong ini catatanku taruh di mejaku.” Ina memberikan catatan yang selalu ia bawa jika ke kamar pasien pada temannya itu. Ina pun berjalan ke pintu ke luar.

“Makasihh Inaa!” teriak Vivi.

Sebelum menginjakkan kaki di pintu ke luar, Ina berjalan pelan di lorong melewati kamar kosong yang sudah tidak digunakan. Walaupun ia lumayan lama bekerja di rumah sakit tersebut dan tahu cerita sebenarnya soal kamar itu, tetap saja rasa takut untuk sekadar memperhatikan kamar tersebut ada. Padahal lampu di kamar itu selalu menyala tanpa pernah dimatikan setidaknya mengurangi rasa horor yang ada.

Semenjak kejadian hari itu, kamar pasien dengan nomor 8 tersebut selalu terlihat rapi. Tidak ada yang pernah merapikan atau pun masuk ke dalam sana. Pihak rumah sakitlah yang memang sudah mengunci mati pintunya. Orang-orang yang melewati kamar itu bisa melihat dengan jelas keadaan di dalam dari balik pintu.

Ina sampai di toko kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Ia membeli pesanan temannya dan juga untuknya, setelah itu kembali ke rumah sakit. Ia kembali melewati pintu berbeda yang memang khusus untuk pekerja rumah sakit.

***

Riyan mengecek jam di bar atas layar ponsel menunjukkan pukul 23:00, ia belum juga tidur karena masih bermain game. Padahal besok harus bekerja.

“Yes menang!” seru Riyan berhasil memenangkan gamenya.

“Satu pertandingan lagi gak?” tanya teman satu timnya lewat mic game.

“Udahan, deh besok gue harus kerja.”

“Yaudah kita lanjut sendiri.”

“Okee.”

Riyan pun keluar dari game dan mematikan data seluler. Ia menyetel alarm di ponsel lalu menaruh ponselnya di laci samping kasur. Sebelum memejamkan mata Riyan berdo’a terlebih dahulu baru pergi tidur.

Beberapa menit saja Riyan sudah tertidur pulas. Ditambah dengan empuknya guling yang ia dekap menambah kenyamanan dalam istirahat. Tanpa Riyan tahu ada sosok tidak jauh dari tempatnya sedang berdiri memperhatikannya. Dengan luka sayatan besar di area leher, serta bau darah yang amis dari leher terluka itu tentunya membuat siapa saja yang merasakan kehadiran sosok tersebut bisa langsung lari terbirit-birit.

Namun, bisa juga tidak jikalau mereka melihat wajah dari sosok itu. Walau dengan luka parah yang dimiliki ia masih punya paras cantik meskipun bukan lagi manusia.

“Ri-riyann …,” ucapnya terbata-bata dengan nada lirih. Sebab luka di leher itu membuatnya jadi kesulitan bicara.

Semakin lama memandangi Riyan, sosok itu menangis. Riyan mendadak terbangun karena bermimpi aneh. Cepat-cepat ia membaca do’a dan menenangkan diri. Sosok tadi begitu cepatnya juga hilang setelah Riyan bangun. Ia mengecek jam baru pukul 01:00 dini hari lantas kembali melanjutkan tidur.

Tidak lama setelah tidurnya Riyan sosok tadi kembali lagi, berdiri memandangi Riyan. Sosok itu terus berada sampai waktu hampir menjelang subuh.

***

Pagi harinya setelah selesai berberes rumah dan mandi, Riyan sarapan ringan. Semenjak ibunya di rumah sakit dan jarang mengurus rumah, Riyan yang mengganti tugas ibunya semua. Bahkan untuk sarapan pagi pun ia yang memasak. Selesai sarapan Riyan ke teras depan untuk memanaskan motor sebentar, kemudian mencuci bekas makannya yang kotor. Setelah semua pekerjaan di rumah selesai Riyan pergi berangkat kerja.

Jalanan masih terlihat sepi karena memang waktu yang masih pagi. Sesampainya di tempat kerja segera Riyan memarkirkan motor. Ia melangkah masuk tidak lupa dengan salam. Di dalam sudah ada Ibu pemilik warung dan anak laki-lakinya tengah memotong-motong sayur sawi. Di warung itu menjual nasi goreng dan ayam lalapan.

“Wa’alaikumsallam. Riyan sarapan dulu,” kata Ibu warung. Namanya Ibu Ela. Orangnya baik tidak heran kalau Riyan betah kerja di sana walau gajinya tidak besar.

Lagian dari sanalah Riyan mendapatkan penghasilan untuk biaya rumah sakit, jadi tidak ada alasan ia tidak bersyukur kerja di tempat itu.

“Anwar tolong dicek dulu ayamnya,” perintah Bu Ela pada anak laki-lakinya, Anwar.

Anwar beranjak pergi ke belakang. “Riyan sarapan dulu nanti baru pegang kerjaannya.”

“Alhamdulillah tadi sudah sarapan di rumah, Bu.”

“Kamu sering kali kalau disuruh sarapan bilangnya sudah sarapan di rumah. Itu Ibu sudah masak pagi-pagi, loh. Besok sarapan di sini saja, yah,” pinta Bu Ela.

“Iya, Bu terima kasih banyak.”

“Bagaimana keadaanmu ibumu, yan?” tanya Bu Ela.

“Alhamdulillah baik,” jawab Riyan.

Sebelum warung buka mereka mengobrol santai sambil mengerjakan pekerjaan bersama. Perangai sopan santun yang dimiliki membuat Bu Ela enggan mau melepas pekerja seperti Riyan.

“Sayurnya biar Ibu yang lanjutkan, kamu bereskan warung saja, yah.”

“Baik, Bu.” Riyan beranjak dengan membawa lap bersih ke warung.

Ia mulai dari meja berlanjut ke mengelap tempat gelas, tisu dan kawan-kawannya. Selesai di sana Riyan lanjut ke bagian gerobak tempat nantinya dagangan diletakkan.

“Mari, Mas saya bantu,” ucap Riyan segera menghampiri Anwar yang membawa satu ember penuh ayam. Jarak umur antara Riyan dan Anwar tidak jauh, tapi Anwar lah yang lebih tua.

“Sebentar lagi warungnya saya buka ya, Mas,” kata Riyan.

“Iya kalau udah waktunya buka aja. Ini ayamnya bisa sekalian ditata juga, saya mau ke belakang lagi.”

“Iya baik, Mas.”

Selagi menata ayam-ayam itu sepintas nama Elina muncul di pikiran Riyan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status