“Astagfirullah!” seru Riyan beristighfar. Ia terbangun dengan tidak baik lantaran tidur kebablabasan, langsung memeriksa jam di layar ponsel. Riyan lantas bergegas untuk mandi.
Seperti biasa, Riyan selalu pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. ketika teman-teman seusianya sibuk dengan pendidikan Riyan justru harus sibuk mencari uang demi pengobatan rumah sakit ibunya. ia bekerja di sebuah warung makan dengan upah gaji tidak begitu besar. Meski begitu, Riyan selalu menyisihkan dari uang gajinya untuk ditabung.
Kebetulan hari ini hari minggu dan tempat ia bekerja libur, Riyan memutuskan untuk berada di rumah sakit sampai sore nanti. Setelah merapikan rantang makanan berisi bubur ia mematikan semua lampu rumah selama pergi. Riyan memanaskan motor sebentar kemudian melaju pergi menuju rumah sakit.
Sekilas Riyan memperhatikan rantang makanannya. Semalam, suster yang biasa merawat ibunya menelpon bahwa si ibu ingin makan bubur buatannya. Riyan tersenyum manis hingga kembali memperhatikan jalanan. Sesampainya di rumah sakit segera ia memakirkan motor. Sepanjang lorong, Riyan mengunggah senyum pada suster maupun orang yang melewati dirinya.
Pintu perlahan dibuka, Riyan melihat ke dalam lalu kembali menutupnya lagi. “Suster kemana, yah?” gumam Riyan melihat sekeliling.
Kebetulan sekali suster yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. “Pak Riyan?” ujar si suster.
“Iya, Sus. Ini saya mau antar bubur buat Ibu apa boleh masuk?” tanya Riyan.
“Oh boleh.” Riyan mengikuti langkah suster dari belakang.
Diletakkan rantang tersebut di atas lemari pasien tepat berada di samping tempat tidur Ibunya. Riyan menarik kursi untuk duduk menemani Ibunya di sisi kanan. Setelah memeriksa beberapa hal suster tadi ke luar meninggalkan mereka. Dingin rasanya saat Riyan menggenggam tangan Ibunda.
Riyan membuka laci mengambil secarik kertas dari sana. “Aku hampir lupa soal ini.” Riyan memperhatikan Ibunya sejenak, kemudian beranjak dari kursi. Ia harus pergi ke bagian administrasi untuk mengurus sesuatu.
***
“Permisi, Mba,” ucap Riyan.
“Iya, Mas bagaimana ada yang bisa dibantu?” jawabnya dengan sopan.
“Saya mau minta kwitansi pembayaran, Mba.”
“Kalau boleh tau atas nama pasien siapa, ya?”
“Ibu Ariani, Mba.”
“Baik sebentar.”
Riyan memeriksa sisa uang yang ada dalam dompetnya.
“Ini, Mas.” Bagian administrasi itu menyela.
“Oh iya, Mba.” Riyan menerimanya dan memeriksa dengan jelas nominal yang tertera di sana. “Ini, Mba,” kata Riyan memberikan sejumlah uang.
Wanita cantik itu lantas menghitung dengan teliti uang tersebut. Ia kembali duduk di kursi dan mengetik sesuatu. Tidak lama kemudian memberikan sebuah kertas pada Riyan.
“Makasih, Mba,” ucap Riyan kemudian berlalu pergi dari sana dan kembali ke kamar ibunya.
“Alhamdulillah.” Syukur terucap saat Riyan mengetahui bahwa tersisa tinggal 3 cicilan lagi pembayaran rumah sakit ibunya. Ia menyimpan dengan aman bukti itu di dalam dompet. “Loh, Ibu sudah bangun?” tutur Riyan saat melangkah masuk.
“Kamu barusan datang, Nak?” tanya Ibunya dengan nada yang lemas.
“Iya Bu, Riyan baru aja datang beberapa menit lalu. Ibu lapar gak? Kemarin suster Ina bilang Ibu pengen bubur. Nah, kebetulan udah Riyan bawa. Ibu makan, yah.” Riyan mengambil rantang makanan tadi lalu mempersiapkannya.
Riyan senang karena Ibunya makan dengan lahap. Walau hanya sedikit-sedikit bubur yang masuk itu lebih baik daripada tidak sama sekali. “Ibu mau minum?” tanya Riyan.
Anggukan yang terlihat. “Bismillah pelan-pelan minumnya.” Ia kembali menyuapi lagi.
Sehabis makan, Riyan mengobrol santai dengan Ibunda. Seputar pekerjaan, kondisi kesehatan Ibunya maupun hal yang lain. Sebuah kalimat yang selalu Riyan dengar saat ia mengunjungi Ibunya di rumah sakit adalah, “Ibu capek di sini terus, Riyan. Ibu mau pulang mengurusi kamu lagi.”
Rasanya setiap mendengar kalimat itu terucap Riyan ingin menangis. Ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dada. ia pun juga ingin Ibunya kembali ke rumah, tapi keadaan tidak mengizinkan. Tiba-tiba pintu terbuka datang suster Ina berdiri di ambang pintu.
“Sudah habis, yah?” tanya Riyan sudah peka.
“Benar waktu menjenguknya sudah habis. Bu Ariana harus kembali istirahat,” kata suster.
“Bu Riyan pamit pulang dulu, yah. Besok Riyan ke sini lagi.” Riyan berpamitan dengan menyalimi punggung tangan Ibunya.
Diiringi dengan lambaian tangan dan salam, Riyan meninggalkan kamar tersebut. Ia pulang dengan membawa rantang kosong. Menuju ke pintu luar rumah sakit, pandangan Riyan teralihkan pada sebuah kamar.
“Kamar ini baru, yah? Selama Ibu dirawat di sini kayaknya aku belum pernah lihat,” tutur Riyan sangat yakin. Pasalnya kamar itu satu jalur dengan kamar Ibunya. Rasa penasaran mulai menyelimuti.
“Iya kayaknya baru. Itu di dalam ada yang tidur.”
“Maaf, Mas?”
“Ehh Astagfirullah!” Riyan terkejut karena sentuhan di pundaknya.
“Mas keluarganya, yah? Mari ikut saya,” ajak suster itu.
Aneh. Riyan merasakan ada yang aneh dengan kalimat suster barusan. Ia bahkan mengikuti langkah si suster ke dalam, tapi ada satu hal yang membuat Riyan tidak menyesal masuk ke kamar tersebut. Gadis yang tengah tertidur di kasur itu terlihat manis di mata Riyan. Bahkan wajah tidurnya sangat menenangkan.
“Maaf, Sus kalau boleh tahu dia kenapa, yah?” tanya Riyan.
“Dia kecelakaan. Kalau begitu saya tinggal dulu.” Dengan tersenyum suster tadi berlalu pergi.
Riyan ingin tanya lebih jauh, tapi rasanya bukan hak dirinya untuk tahu. Kini di kamar itu hanya ada dia dan gadis yang ia sama sekali tidak tahu siapa namanya. Riyan celingak-celinguk bingung sendiri, apakah ia harus pulang atau tetap di sana. Rasanya seperti ada yang menahan agar laki-laki itu tidak pulang.
“Eh jarinya!” seru Rian saat jari jemari gadis itu bergerak.
Kelompak mata gadis itu perlahan terbuka. Mendadak Riyan jadi bingung, apa ia harus pergi memanggil suster karena pasien itu bangun atau bagaimana. Satu-satunya yang Riyan lakukan hanyalah diam dengan raut wajah yang bingung.
Gadis itu melihatnya, walau dengan wajah yang pucat tidak mengurangi paras cantiknya. Gadis itu hanya diam tidak mengucap sepatah kata pun membuat Riyan semakin bingung.
“Halo,” sapa Riyan tiba-tiba. “Gimana keadaanmu?” Entah darimana ia bisa memikirkan kalimat tersebut. Gadis itu mengangguk.
Anggukan itu membuat Riyan bingung. “Oh iya nama kamu siapa?” Mungkin salah bertanya, Riyan pun mengganti pertanyaan.
“Elina,” jawabnya lemah sekali.
Riyan tersenyum, ia bahkan juga tidak tahu kenapa dirinya tersenyum. “Aku Riyan.”
Elina tersenyum membuat Riyan salah tingkah sendiri. Riyan sekilas memperhatikan perban yang menyelimuti leher Elina. Setahunya kalau kecelakaan biasanya kepala yang diperban, tapi apapun itu Riyan mengurungkan niat untuk bertanya terkait hal itu.
“Oh iya aku harus pulang. Kamu gak ada yang jagain?” tanya Riyan.
Elina menggeleng. “Orang tuamu kemana, mereka tidak menjaga di sini?” Elina kembali menggeleng.
“Gitu, yah. Tapi di sini banyak suster, kok. Kalau gitu aku duluan, yah.”
Elina tidak memberikan respon apapun. Riyan melambaikan tangan dan keluar dari kamar itu. Di depan pintu, Riyan dibuat bingung lagi dengan tatapan orang-orang yang memandanginya. Bergegas ia segera pulang karena sebentar lagi waktu maghrib tiba.
“Loh ini pintunya kenapa gak bisa dibuka.” Berulang kali Riyan memutar-mutar knop pintu. Seketika langsung menepuk kening lupa sesuatu, ia merogoh saku celana kanan untuk mengambil kunci. Barulah pintu bisa dibuka.“Assalamu’alaikum,” salam Riyan seraya melangkah masuk.Riyan meletakkan rantang kosong di meja kemudian bergegas untuk membersihkan badannya. Selang beberapa menit selesai mandi, Riyan segera melaksanakan ibadah.***“Sus apa Riyan tidak ke sini lagi?” tanya Bu Ani.“Tidak, Bu. Besok baru, Pak Riyan ke sini jenguk lagi,” jelas Suster Ina kembali mengecek cairan infus.Bu Ani meraih tangan Suster Ina perlahan, “Ina makasih, yah.”Suster Ani diam sesaat kemudian ia tersenyum. Berbeda dengan pasien lainnya bisa dibilang Ina lumayan dekat dengan Bu Ani. Ia juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bu Ani walaupun bukan waktunya untuk mengontrol pasien, Ina sel
Syukur Alhamdulillah di hari senin penuh berkah ini warung tempat Riyan bekerja ramai akan pembeli yang datang. Selain dibuat sibuk akan pembeli yang membungkus, mereka juga dibuat sibuk akan pesanan orang-orang yang makan di tempat.“Mas es teh manisnya satu lagi, yah!” pesan kembali Ibu-ibu. Sebelumnya sudah tiga gelas es teh manis yang ia pesan dan kali ini gelas keempat.“Riyan Ibu yang itu pesan es teh lagi. Tolong dibuatkan dulu,” perintah Bu Ela.Baru selesai mencuci piring kotor bergegas Riyan langsung ke tempat minum dan membuat es teh. Lambat laun warung semakin penuh terisi sampai beberapa pembeli yang datang tidak jadi makan lantaran tidak ada tempat lagi. Riyan sampai melewatkan makan siangnya karena kondisi warung yang tidak memungkinkan ia harus mengisi perut. Lagian Bu Ela dan anaknya pun juga sibuk sedari pagi. Ia masih bisa tahan beberapa jam lagi.“Kira-kira kalau aku punya usaha kayak gini terus dikelola b
“Kamu di rumah sakit udah berapa lama? Pasti bosan, yah. Soalnya ibuku sering ngeluh katanya di rumah sakit bosan. Kamu juga gitu?” tanya Riyan tanpa mengalihkan pandangannya dari Elina.Lagi-lagi respon Elina hanya mengangguk. Riyan yang sebenarnya penasaran akan perban di leher Elina, mencoba untuk bertanya sesuatu.“Itu apa ….” Riyan bermaksud pada leher Elina dengan memegang lehernya sendiri, “Sakit banget, yah? Aku lihat beberapa kali kita ngobrol kamu jarang bersuara hanya mengangguk saja.”Elina justru tersenyum, senyuman yang terlihat paksa tapi begitu manis. Tangan Riyan bergerak membelai halus pucuk kepala Elina. Baru dua hari ini mereka bertemu sejujurnya Riyan sudah jatuh hati pada Elina. Tapi, Riyan belum mau untuk mengungkapkan perasaannya pada Elina. Ia ingin dirinya bisa memberikan sedikit perhatian-perhatian kecil terlebih dulu. Niat Riyan pun kalau ia dan Elina sudah lumayan dekat, ia mau memperkenalka
[Emang lu yakin banget kalau bakal berjodoh sama cewe dengan nama Elina?] tanya teman Riyan meragukan. Mereka belum memulai game sedari tadi.[Tentu saja. Gue sangat yakin banget.] Riyan tersenyum seraya membalas chat tersebut.[Waduh pada ngomongin cewe, nih. Kapan mau main?] singgung teman yang lain.[Ayok sekarang.]Game dengan dua tim saling berlawanan, masing-masing tim yang terdiri dari 5 pemain tengah berusaha untuk meraih kemenangan mereka. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada tim Riyan sedari tadi tim mereka terus menerus meraih kemenangan. Riyan bahkan sudah tidak menghitung berapa kali pertandingan ia mainkan. Ia sudah terbawa suasana bermain.Keasyikannya bermain tanpa memperhatikan sekitar tanpa Riyan sadari, sosok pada malam sebelumnya beberapa menit lalu tengah berdiri di sudut ruangan memperhatikan Riyan. Dengan baju yang sangat kotor serta darah yang ikut mengotori sebab luka di leher sosok itu membuat penampilannya kian m
“Cantik emang yang namanya Elina itu?” tanya Bu Ela ikut penasaran.Riyan menyelesaikan makanan di mulutnya terlebih dulu, “Cantik, Bu cantik banget!”Ibu Ela mengernyitkan keningnya heran sendiri melihat keantusiasan Riyan soal wanita bernama Elina tersebut. Sejujurnya ia ikut penasaran dengan wanita itu.“Tambah lagi Riyan rebungnya,” ujar Anwar ikut bergabung.“Iya, Mas.”Segera Riyan selesaikan sarapannya. Ia tadi sudah mengobrol dengan Bu Ela soal Elina, ia juga tahu akan membawa apa untuk Elina nanti. Selesai sarapan, Riyan beralih untuk membersihkan warung. Hari ini Bu Ela membuat porsi dagangannya lebih banyak ketimbang kemarin. Kalau nantinya hari ini ramai atau bisa lebih ramai lagi dari hari kemarin bisa dipastikan mereka akan tutup lebih awal lagi.“Mas nasi gorengnya satu, yah.”Riyan sedikit terkejut dengan datangnya dua orang remaja berpakaian sekolah, saat dir
Riyan meletakkan roti yang ia bawa di atas lemari. Senyuman hangat terlihat dari Ibunya yang menyambut kedatangan Riyan. Suster Ina yang masih sedikit malu ikut bergabung dengan mereka ia sekilas mengecek cairan infus Ibu Ani agar situasi dirinya bisa lebih santai.“Sus saya bawa roti, Suster mau?” Riyan menawarkan.“Tumbenan bawa roti Riyan?” ujar Ibunya.“Sesekali, Bu. Suster mau gak?” Riyan mengambil satu bungkus. “Nih.”Melihat kode mata dari Ibu Ani yang menyuruh agar Suster Ina mengambil, walau ia tidak begitu ingin tapi rasanya tidak baik juga menolak. Apalagi sudah ditawarkan seperti itu.Ina lantas menerima, “Terima kasih.”“Itu enak saya pilihnya khusus di toko tadi. Ini ada juga buat, Ibu mau dimakan sekarang?” Riyan bersiap membuka bungkus atasnya.Ina yang mendengar kata khusus dari kalimat yang dilontarkan Riyan barusan membuat jantungnya sesaat berm
“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia h
Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur. “Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai. Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus y