Mina sedang berdiri di depan cermin di kamarnya, memasang peniti di kerudungnya yang berwarna krem. Pagi itu terasa biasa saja. Matahari pagi yang hangat masuk melalui celah jendela, memberikan suasana yang sejuk. Namun, suasana hening pagi mendadak pecah oleh suara berisik dari luar.
Ada suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong, diselingi gumaman panik beberapa orang. Mina, yang awalnya hanya melirik ke arah pintu, mulai merasa penasaran. Ia merapikan kerudungnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamarnya.
Di luar, ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan kamarnya. Beberapa perempuan yang sepertinya penghuni kost terlihat berbicara satu sama lain dengan wajah khawatir. Di tengah kerumunan, ada tiga lelaki yang tampak sibuk membopong tubuh Bu Diah.
Mina mengerutkan kening, bingung. “Ada apa ini?” tanyanya sambil melangkah keluar.
Seorang perempuan berkacamata dengan rambut sebahu menoleh ke arah Mina. “Bu Diah pingsan. Kami nemuin dia pagi-pagi begini di depan kamar kamu.”
“Pingsan?” Mina menatap tubuh Bu Diah yang tampak lemas. Wanita paruh baya itu terlihat dengan wajahnya yang pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. “Kok bisa? Kemarin dia kelihatan baik-baik saja, deh.”
“Mana kami tahu, Mbak,” jawab perempuan lain dengan nada cemas. “Pas aku keluar mau ke dapur tadi, udah lihat beliau tergeletak.”
Lelaki bertubuh tegap yang memegang bahu Bu Diah menoleh ke Mina. “Mbak, ini kamar kamu, kan? Semalam nggak dengar apa-apa? Nggak ada suara minta tolong atau gimana gitu?”
Mina menggeleng, bingung. “Enggak, kok. Saya tidur nyenyak. Kalau ada apa-apa, pasti saya dengar.”
Salah satu penghuni lain, perempuan muda dengan piyama panjangnya yang tidak lain adalah Tara, menyela sambil melirik ke arah kamar Mina . “Kamar ini... emang aneh, ya. Kayaknya ada sesuatu yang nggak beres.”
Ucapan itu langsung membuat suasana menjadi hening. Beberapa penghuni kost saling pandang, tapi tidak ada yang berani berbicara.
Mina, yang tidak peka dengan perubahan atmosfer, justru bertanya polos, “Aneh kenapa? Saya di sini nggak merasa ada apa-apa.”
“Ya mungkin Mbak-nya nggak ngerasa,” perempuan berkacamata tadi menjawab, dia adalah Iren, mahasiswa semester 6 yang juga salah satu penghuni kostan ini. Suaranya lebih pelan, seperti takut didengar sesuatu. “Tapi anak-anak kost yang lama, katanya... kamar ini tuh....”
Ucapan itu langsung disusul dengan gumaman kecil dari yang lain. Beberapa terlihat melirik ke arah pintu kamar Mina dengan wajah tegang.
"Mau di bawa kemana ini, Mbak?" tanya salah seorang pria.
"Oh, iya, ke kamarnya saja, disana" jawab Tara sambil menunjukan arah.
Mina tetap berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia memperhatikan bagaimana ketiga pria itu dengan hati-hati mengangkat tubuh Bu Diah dan mulai berjalan menyusuri lorong menuju kamar pemilik kosan di kamar nomor 1. Para penghuni wanita berjalan di belakang mereka, sesekali berbisik cemas.
“Aduh, kasihan banget Bu Diah,” bisik salah satu dari mereka. “Semalam kayaknya beliau nggak kelihatan sehat.”
“Iya, mungkin kecapekan,” sahut yang lain.
Mina hanya menghela napas kecil. Baginya, situasi ini seperti pemandangan dari kejauhan—sesuatu yang tidak menyentuhnya secara langsung. Ia merasa tidak ada yang bisa dia lakukan, apalagi mereka sudah menangani semuanya dengan baik.
Setelah beberapa saat memandangi mereka yang menghilang di ujung lorong, Mina menutup pintu kamar dan kembali ke dalam. Ia mencoba melanjutkan aktivitas paginya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Udara di kamarnya terasa sedikit lebih dingin. Hening yang sebelumnya biasa-biasa saja kini terasa berat, seperti ada yang menggantung di udara. Sesaat, Mina merasa ingin membuka pintu lagi untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun, ia mengabaikan perasaan itu dan memilih untuk melanjutkan bersiap-siap bekerja.
Saat mencapai pintu gerbang kosan, Mina mendapati seseorang tengah berdiri sambil merapikan rambutnya.
“Kinan?” Mina menyapa dengan nada setengah terkejut.
Perempuan itu menoleh dan tersenyum. “Eh, Mina! Kamu juga baru mau berangkat?”
“Iya,” jawab Mina singkat sambil melirik jam tangannya. “Jamnya pas banget. Kalau nggak jalan sekarang, bisa terlambat.”
Kinan tertawa kecil. “Kita jalan bareng, yuk? Lumayan, kantor kan deket.”
Tanpa banyak pikir, Mina mengangguk. Memang hanya perlu sekitar 15 menit untuk sampai ke kantor mereka, dan berjalan kaki bersama tentu terasa lebih menyenangkan daripada sendirian.
Mereka pun mulai melangkah keluar gerbang kosan. Udara pagi terasa segar, meskipun di beberapa sudut jalan masih tampak embun yang menempel di dedaunan. Kinan, seperti biasanya, memulai percakapan lebih dulu.
“Tadi pagi rame di lorong, ya? Aku dengar Bu Diah pingsan?” tanya Kinan sambil melirik Mina.
“Iya,” jawab Mina datar. “Bu Diah jatuh pas di depan pintu kamarku. Tapi sudah dibawa ke kamarnya sama yang lain.”
Kinan mengangguk pelan. “Aku sempat dengar cerita kalau Bu Diah sering kurang istirahat. Mungkin kecapean. Untung masih ada orang-orang di kosan yang bisa nolong.”
Mina hanya mengangguk tanpa menambahkan komentar. Dia tidak terlalu tertarik membahas hal itu lebih jauh. Namun, perasaan dingin dan ganjil yang ia rasakan pagi tadi membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Aku harap Bu Diah cepat pulih,” lanjut Kinan sambil tersenyum. “Kalau nggak ada beliau, kosan ini kayaknya bakal berantakan.”
“Hmm, iya,” jawab Mina singkat.
Kinan tiba-tiba melirik Mina dengan raut wajah yang tampak sedikit ragu. Langkahnya melambat sejenak sebelum akhirnya dia bersuara.
“Mina, aku boleh tanya sesuatu nggak?” suara Kinan terdengar hati-hati.
Mina menoleh sekilas, sedikit bingung dengan nada temannya itu. “Tanya apa?”
Kinan tersenyum kecil, tetapi ada ketegangan di matanya. “Kamu… kamarmu nomor lima, kan?"
“Iya, memang kenapa?” Mina menjawab sambil mengerutkan kening.
Kinan menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menimbang-nimbang bagaimana melanjutkan percakapan. “Kamu nyaman tinggal di situ? Maksudku… nggak ada yang aneh atau bikin kamu nggak betah?”
Mina mengangkat bahu, menanggapi dengan santai. “Nggak ada masalah, sih. Kenapa? Kamarku biasa aja kok, ya kayak kamar kosan pada umumnya.”
“Serius? Kamu nggak pernah merasa… ada yang aneh?” Kinan menatap Mina lebih serius kali ini.
Mina menghentikan langkahnya sejenak, kemudian menatap Kinan dengan alis terangkat. “Kinan, maksud kamu apa sih? Kalau mau ngomong, ngomong aja langsung.”
Kinan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Kamar nomor lima itu katanya… ada sejarahnya. Beberapa penghuni sebelumnya bilang mereka sering dengar suara-suara aneh, bahkan sampai lihat penampakan hantu perempuan. Itu kenapa kamar itu lebih murah di bandingkan kamar yang lainnya”
Mina hanya menatap Kinan tanpa ekspresi. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana.
“Tapi kamu sendiri nggak pernah ngerasain apa-apa, kan?” Kinan buru-buru menambahkan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Mina menghela napas, merasa pertanyaan itu berlebihan. “Nggak ada apa-apa, Kinan. Aku nggak pernah dengar suara aneh atau merasa diganggu. Lagipula, aku nggak terlalu percaya sama hal-hal kayak gitu.”
Kinan masih terlihat ragu, tapi akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin cuma cerita lama aja, ya. Kalau kamu nggak ngerasain apa-apa, berarti aman. Cuma tadi pas Bu Diah pingsan di depan kamarmu, aku jadi keinget cerita-cerita itu.”
"Tentang kamar itu. Memangnya cerita seperti apa?" Mina kembali bertanya.
"Tentang seorang perempuan yang pernah tinggal disana"
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang
Di dalam tenda, suasana menjadi semakin mencekam. Semua orang berkumpul dalam satu tenda untuk saling menjaga, wajah-wajah mereka dipenuhi ketegangan.Kinan memeluk lututnya sendiri, matanya terus melirik ke arah pintu tenda. "Kenapa ini bisa terjadi? Kita cuma mau mendaki gunung, tapi… kenapa jadi kayak gini?"Ratna mencoba menenangkan dirinya dengan meminum air dari botol kecil. "Tara nggak mungkin hilang gitu aja. Dia pasti masih di sekitar sini, kan?"Zuen, yang duduk di dekat pintu, menatap mereka dengan raut serius. "Kita harus percaya sama Pak Rahman. Dia pasti bakal nemuin Tara."Namun, Pika tetap diam, pandangannya tidak lepas dari Mina yang duduk di sudut tenda. Akhirnya, ia membuka mulut dengan nada tajam."Mina, kenapa kamu nggak hilang? Kenapa harus Tara? Kamu berdua kan sama-sama di sana."Semua orang terdiam, menatap Pika dengan ekspresi kaget. Mina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa."Pika, jangan begitu," ujar Nadin, mencoba menenangkan suasana."Tap