Setelah Kinan meninggalkan dapur, Mina duduk kembali di kursinya, menyeruput kuah mie perlahan. Suasana di dapur mulai berubah. Lampu dapur berkedip pelan sekali, hampir tidak kentara. Angin dingin perlahan masuk dari jendela yang entah sejak kapan sedikit terbuka. Tapi Mina, yang asyik menikmati mie hangatnya, sama sekali tidak menyadarinya.
Saat Mina kembali ke meja, ia tidak melihat sosok itu sama sekali. Hantu itu bergerak lebih dekat, rambutnya perlahan menjuntai hampir menyentuh bahu Mina. Tapi Mina hanya duduk kembali dan menyeruput kuah mie lagi. “Ah, ini baru pas. Sempurna,” katanya puas.
Hantu itu mengerang pelan, mencoba menarik perhatian Mina. Suara seperti desiran angin terdengar di telinga, tapi Mina hanya mengusap telinganya. “Aduh, dingin banget anginnya sampai masuk ke telinga"
Ketika Mina selesai makan dan membawa gelas mie-nya ke tempat cuci piring, hantu itu memutuskan untuk mencoba cara lain. Gelas piring di rak perlahan-lahan bergeser sendiri, mengeluarkan suara krak…. Mina berhenti sejenak, menoleh. "Eh? Apa itu? " Ia memeriksa rak sebentar, lalu kembali melanjutkan cuci piring dengan santai.
Sementara itu, hantu itu tampak semakin penasaran. Ia kini melayang, muncul di cermin kecil yang tergantung di dinding dapur. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara lirih. Mina, tanpa sengaja, menatap ke arah cermin ketika ia mengeringkan tangannya. Tapi bukannya ketakutan, Mina malah mengerutkan alis. "Wah, kok cerminnya kayak kotor banget, ya? Siapa sih yang ngelap cermin pakai tangan basah? Nanti aku bersihin deh."
Mina mengambil kain lap dari rak, mengusap cermin itu sambil mengomel kecil. Hantu itu tampak bingung ketika wajahnya di cermin perlahan memudar karena dilap oleh Mina.
Setelah selesai, Mina menutup kembali keran dan melangkah keluar dari dapur. Tapi tiba-tiba, lampu dapur padam. Gelap menyelimuti ruangan, hanya ada sedikit cahaya dari lorong. Mina berhenti sejenak di ambang pintu dapur, melirik ke belakang. "Ah, lampunya mati? Kalau di lihat-lihat serem juga ya" ujarnya dengan nada bercanda "Kalau tiba-tiba ada hantu disana bagaimana ya? Hahaha" ucapnya dengan nada mengejek lalu kembali berjalan menuju kamarnya.
"Aku memang ada disini, perempuan bodoh!" ucap hantu itu kesal, kini ia melayang di belakang Mina, mencoba terakhir kalinya untuk menerornya. Ia mendekat pelan-pelan, jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Ia berbisik tepat di telinga Mina dengan suara serak: “Peeeeerrrgggiiii….”
Mina menoleh sedikit, tapi bukannya ketakutan, ia malah mengernyit. "Eh, suara apaan barusan, ya?" Ia kemudian berjalan ke kamarnya tanpa menoleh lagi, meninggalkan hantu yang kini terduduk lesu di lantai dapur.
“APA SIH MASALAHNYA MANUSIA INI?! KENAPA NGGAK TAKUT SAMA SEKALI?!” jerit si hantu dengan suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Mina keluar dari kamar mandi. Ia mengelap wajahnya dengan handuk kecil, lalu meletakkannya di gantungan. Udara kamar yang terasa gerah membuatnya segera menghidupkan kipas angin, mengarahkannya ke tempat tidur.
“Hah, lega. Besok pagi harus bangun lebih awal” gumamnya sambil mematikan lampu kamar, menyisakan cahaya redup dari lampu tidur di meja kecil di sebelah ranjang. Mina berbaring, menarik selimut hingga sebatas dada. Ia memejamkan mata, mencoba memaksa tubuhnya untuk rileks.
Namun, suasana kamar mulai terasa berbeda. Dari sudut langit-langit, muncul sosok perempuan buruk rupa dengan tubuh kurus kering. Rambutnya panjang menjuntai, wajahnya dipenuhi luka, dan matanya melotot tajam. Sosok itu menggantung perlahan, semakin mendekat ke atas tempat tidur Mina.
Wanita itu berbisik lirih, “Peeeeerrggiiii…”
Mina menggeliat kecil di bawah selimut. Ia membuka matanya sejenak, lalu mendesah. "Aduh, kenapa jadi dingin banget ya? Kegedean volume kipasnya, ya?" Ia bangkit sebentar, mengurangi kecepatan kipas angin, lalu kembali berbaring tanpa melihat ke atas.
Sosok itu tampak terkejut dengan reaksi Mina, tapi tidak menyerah. Ia menurunkan tubuhnya lebih rendah, tepat di atas Mina. Rambut panjangnya menjuntai ke wajah Mina, mencoba memancing perhatian. Tapi Mina, bukannya takut, malah mengibas-ngibaskan tangannya sambil mengerutkan hidung. "Ih, kok ada bau aneh? Jangan-jangan ada tikus mati di plafon."
Sosok wanita itu kini tampak frustrasi. Ia bergeser ke sisi tempat tidur, duduk di lantai sambil menatap Mina yang sudah kembali terlelap.
***
Jam di kamar Bu Diah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Biasanya, setiap malam, suara-suara aneh dari lorong kost akan terdengar. Namun, malam ini berbeda. Tidak ada suara ketukan, langkah kaki, atau benda jatuh. Sunyi. Bu Diah merasa resah. “Tenang seperti ini malah nggak enak,” pikirnya sambil menggigit bibir bawah.Bu Diah memutuskan untuk keluar mengecek keadaan di luar, memastikan bahwa malam ini aman. Ia keluar dan kamarnya dan berjalan perlahan menuju lorong, derit kecil dari sandal rumahnya menggema di lantai ubin. Lampu kuning temaram menggantung di langit-langit, menciptakan bayangan aneh di sepanjang lorong.
Saat ia sampai di depan kamar nomor 5, hawa dingin menyergapnya. Udara yang sebelumnya hangat berubah seketika, seperti ada sesuatu yang mengisap seluruh kehangatan di sekitarnya. Jantung Bu Diah berdebar lebih cepat. Ia memegang gagang pintu dengan ragu, tapi tidak membukanya.
“Hening sekali,” gumamnya pelan. Tapi saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, suara dari balik pintu terdengar. Bukan suara Mina yang tengah tidur, melainkan suara pelan—seperti seseorang yang sedang merintih.
"Uuuuhhh..."
Bu Diah mundur satu langkah. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, lampu lorong berkedip perlahan, cahayanya mulai memudar. Seketika, ia merasakan kehadiran di belakangnya.
Perlahan, ia menoleh. Dan di sana, di ujung lorong, sesosok perempuan berdiri. Tubuhnya kurus, rambut panjang terurai acak menutupi sebagian wajahnya, hanya menyisakan satu mata hitam yang berkilauan di bawah cahaya temaram.
Bu Diah membeku. Sosok itu tidak bergerak, tapi atmosfernya seperti menekan tubuhnya. Perlahan, perempuan itu mulai melangkah, suaranya seperti gemerisik kain yang diseret di atas lantai.
Bu Diah mencoba mengumpulkan keberanian. “Siapa ya?” tanyanya dengan suara rendah tapi tegas.
Sosok itu tidak menjawab. Ia terus mendekat, matanya tidak berkedip, menatap Bu Diah dengan intensitas yang menusuk. Lampu di atas kepala Bu Diah berkedip lagi, dan ketika cahayanya stabil, perempuan itu sudah berada lebih dekat.
Bu Diah masih berdiri mematung di depan pintu kamar Mina, tubuhnya tegang. Tiba-tiba hawa dingin yang keluar dari celah pintu mengalir seperti angin malam, tetapi ini berbeda—dinginnya menusuk tulang, membuat napas terasa berat. Saat ia menoleh ke depan sosok yang tadi hampir mendekat itu sudah hilang di hadapannya.
Tubuhnya kini dapat bergerak, ia berusaha untuk pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ada suara samar dari dalam kamar Mina, seperti bisikan dan langkah kaki yang berputar di tempat.
“Mina?” panggilnya dengan suara pelan. Tidak ada jawaban.
Ruangan di sekitarnya begitu sunyi hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Namun, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak, merambat, dan mengawasinya dari balik pintu. Perasaan itu begitu nyata hingga bulu kuduknya berdiri, membuatnya perlahan mundur satu langkah.Ketika Bu Diah berbalik untuk pergi, pintu kamar Mina tiba-tiba terbuka dengan suara kriiiiet panjang yang memekik. Angin dingin keluar dari dalam kamar, membawa bau busuk yang menyengat, seperti daging membusuk yang bercampur tanah basah.
Tubuh Bu Diah kaku seketika. Matanya terpaku pada kegelapan yang mengisi kamar. Tidak ada apa-apa di dalam, hanya kehampaan yang pekat. Namun, di tengah kegelapan itu, ia mulai melihat sesuatu—dua titik cahaya redup, seperti mata, perlahan menyala dan bergerak mendekat.
Langkah-langkah pelan terdengar dari dalam kamar. Tok... tok... tok. Suara itu mendekat, semakin keras, hingga akhirnya sosok perempuan muncul dari kegelapan.
Hantu itu berjalan perlahan, tubuh kurusnya terbungkuk. Rambut panjangnya yang kusut menutupi sebagian besar wajahnya, tetapi bagian yang terlihat cukup untuk membuat darah Bu Diah membeku: kulit wajahnya retak seperti tanah kering, mulutnya terbuka lebar hingga ke telinga, dan dari rahangnya yang menganga, cairan hitam menetes perlahan ke lantai.
“Kamu...????”
Langit di ufuk timur perlahan mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi ungu keemasan. Udara pagi terasa dingin menusuk, namun semangat rombongan mulai bangkit kembali saat mereka memulai perjalanan ke puncak tepat pukul 05.00.Pak Rahman memimpin rombongan di barisan depan, diikuti oleh Zuen, Iren, Mina, dan Tara yang berjalan berdekatan di tengah, sementara Pika memilih untuk berada di barisan paling belakang. Sebagai salah satu yang paling berpengalaman dalam mendaki, Pika merasa tanggung jawabnya adalah memastikan tidak ada yang tertinggal atau mengalami masalah di perjalanan.Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin tidak tenang perasaan Pika. Bukan hanya karena medan yang semakin berat, tapi karena Tara.Pika melirik ke arah Tara yang berjalan di depan dirinya. Gerakannya terlihat lambat dan kaku, berbeda dari biasanya. Wajahnya tetap pucat, dan tatapannya kosong. Pika merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu."Tara… kenapa kamu jadi seperti ini?" gumamn
Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam
Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn
Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah
Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu
Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang