Akhirnya Rosa bisa terbebas dari zona yang membuatnya terkekang. Kini ia bisa pergi sesuka hati tanpa harus diikuti oleh pengawal ayahnya. Sebelum ia pergi ke luar kota, ia terlebih dahulu mampir ke sebuah kontrakan kecil untuk mengajak temanya. Yang dulu pernah menolong Rosa saat ia kabur dari rumah. Sampai di kontrakan ia pun mengetuk pintunya.
Tok..tok..
"Tunggu sebentar," ucap seorang wanita muda membuka pintu.
Ceklek!
"Dinda!” saat melihat temanya sudah ada di depan matanya Rosa langsung memeluk temannya yang bernama Dinda Lestari. Sudah lama sekali Rosa tidak bertemu dengan Dinda.
"Ya, ampun, Rosa. ini benaran kamu? Ya, Tuhan." Dinda begitu terkejut dengan kedatangan Rosa, ia yang sudah rindu dengan temannya langsung membalas pelukan dari Rosa.
"Sudah lama kita enggak ketemu, aku kangen banget sama kamu Din. Gimana kabar kamu selama enggak ada aku?”
"Aku baik kok, ini semua juga berkat kamu Ros. Karena kamu aku bisa menghidupi keluarga aku, aku juga sudah membiayai adik aku sekolah.”
“Syukurlah, aku juga ikut senang bisa bantu kamu.” Rosa kembali memeluk Dinda, menumpahkan rasa rindu karena sudah lama tidak bertemu.
"Ayo kita masuk ke dalam, kebetulan aku lagi bikin kue bolu. Nanti kamu coba kue aku ya.”
Rosa memberikan dua jempol untuk Dinda, “sip, pasti aku cobain kok. Sekalian aku review kuenya, enak apa enggak.”
“Jelas kue bikinan aku enak, aku kan pintar masak. Hehe.”
Pertama kalinya Dinda bertemu dengan Rosa saat ia baru saja pulang dari tempat kerjanya kebetulan Dinda baru pulang setelah masuk shift siang. Dinda tidak sengaja bertemu dengan Rosa yang sedang duduk di pinggir trotoar jalan. Dinda mengira Rosa adalah anak jalanan yang tidak mempunyai rumah, ditambah lagi dengan penampilan Rosa yang seperti seorang laki-laki. Awalnya Dinda takut dengan Rosa, apalagi sekarang lagi musimnya banyak begal.
Tetapi Dinda heran dengan penampilan Rosa, walau Rosa hidup di jalanan namun pakaian yang Rosa kenakan masih terbilang bagus. Itulah yang dipikirkan oleh Dinda, ia tidak tahu jika sebenarnya Rosa adalah anak konglomerat.
"Kamu malam-malam di sini ngapain Mas? Sendirian lagi." tanya Dinda memberanikan diri mendekat kepada Rosa, matanya tak lepas dari pakaian yang Rosa kenakanan.
"Saya lagi duduk aja."
"Malam-malam begini? Kamu enggak punya rumah?"
"Punya."
"Lah, kalau punya kenapa enggak pulang aja Mas?" Dinda tidak tahu jika Rosa adalah seorang perempuan. Apalagi suara Rosa sedikit ngebass. Makanya dia memanggil dirinya Mas.
Rosa menggarukan kepalanya yang tidak gatal, wajar saya jika dirinya disangka pria. Wong penampilannya kaya cowok. "Heheh, enggak apa-apa. Lagi pengen di sini aja. Lagian udara malam adem kok, dan satu lagi, mohon maaf banget. Saya ini sebenarnya perempuan hanya penampilannya saja yang seperti laki-laki, Jadi jangan panggil saya Mas ya." Seketika Dinda menjadi cengo. Apa dia enggak salah dengar dengan ucapan Rosa barusan, dia bilang perempuan. Padahal suaranya aja kaya cowok.
"Hah! Pe-perempuan? Yakin Masnya perempuan?” tanya Dinda masih belum percaya.
Rosa tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Iya saya perempuan, sama seperti Mbaknya. Percaya deh sama saya.” Dinda menggarukan keningnya yang tidak gatal, mungkin masih belum percaya.
"Hoh, maaf. Saya kira kamu laki-laki, habisnya penampilan kamu kaya--"
"Enggak apa-apa, itu sudah biasa kok."
“Terus sekarang kamu mau ke mana lagi? Masih mau duduk di sini malam-malam? Emangnya enggak takut? Di sini lagi musin orang jahat loh."
“Enggak kok.”
“Ya udah kalau gitu saya duluan ya, dan ini.” Dinda menyerahkan satu kantong plastik berwarna hitam, isi dari kantong itu adalah makanan yang baru saja di beli oleh Dinda saat pulang kerja. Awalnya Rosa menolak pemberian dari Dinda, akhirnya ia menerimanya sebagai tanda menghormati karena sudah mau berbagi.
Dinda pun pulang ke rumahnya, sekali-kali ia menengok ke arah Rosa yang masih diam terpaku duduk di pinggir jalan. Ia merasa kasihan dengan Rosa, dengan perasaan bimbang ia memutuskan untuk kembali menghampiri Rosa. Siapa tahu ia sedang mengalami masalah dengan keluaranya.
"Eee, Mas! Eh, maksud saya Mbak ikut saya ke rumah yuk? Dari pada duduk enggak jelas di sini. Bahaya loh malam-malam di sini, nanti kena begal loh."
“Enggak usah Mbak, saya lagi pengen di sini aja sendirian.” Rosa menolak dengan lembut.
“Jangan! lagi pula udara malam itu enggak bagus loh buat kesehatan.” Karena Dinda terus memaksa Rosa mau tidak mau ia ikut dengan Dinda ke rumahnya.
“Ini Mbak rumah saya, maaf ya kalau tempatnya kecil. Maklum saya cuma bisa ngontrak di tempat kecil ini.”
“Enggak apa-apa, bagi saya enggak masalah kok.”
“Hoh, iya. Nama kamu siapa? Nama saya Dinda Lestari, kamu bisa panggil Dinda aja.” Dinda mengulurkan tangannya tanda perkenalan diri.
“Saya Rosa, panggil aja Rosa.” Selama Rosa berada di rumah Dinda, ia pun menceritakan masalah besarnya kepada Dinda. Mendengar cerita dari Rosa, ia menjadi merasa iba.
“Kalau gitu kamu tinggal sama saya aja, dari pada kamu balik lagi ke rumah itu.”
“Sekali lagi terima kasih, sebagai gantinya biar saya yang membayar kontrakan ini. Anggap saja saya ikut menyewa.” Selama beberapa hari Rosa tinggal dengan Dinda di tempat kontrakannya, Ia lebih senang tinggal bersama dengan Dinda dibandingkan tinggal dengan keluarga besarnya. Banyak sekali hal baru yang belum pernah ia rasakan saat tinggal di kontrakan ini. Maklum Rosa terbiasa hidup di rumah sultan, jadinya ia sedikit terkena mental.
Tanpa ia duga, pengawal ayahnya menemukan Rosa di tempat persembunyian. Rosa heran, bagai mana bisa para pengawal ayahnya bisa menemukan dirinya? dengan sangat terpaksa Rosa pergi dari kontrakan Dinda tanpa berpamitan dengan temannya. Karena saat kejadian berlangsung, Dinda masih berada di tempat kerjanya. Ia tidak tahu ternyata Rosa sudah tidak ada di rumahnya.
Semenjak kejadian itu Rosa tidak pernah lagi bertemu dengan Dinda. Sebelum Rosa dibawa pergi oleh pengawal Ayahnya. Rosa terlebih dahulu menulis no ponselnya di secarik kertas, dan menaruhnya di atas meja kamar. Agar Dinda bisa menghubungi dirinya lagi.
***
"Wah, sudah berapa lama ya kita enggak pernah ketemu lagi? Soalnya waktu itu kamu langsung pergi sih, untungnya kita masih bisa komunikasi ya lewat hp.”
“Iya, maaf ya. Aku enggak sempat pamit sama kamu. Hoh, iya. Din Aku punya satu permintaan."
"Apa itu?"
"Kamu mau enggak ikut sama aku? Kerja di luar kota?"
"Keluar Kota!"
"Iya, kamu maukan ikut sama aku? Kita berdua cari pekerjaan di sana, kamu tenang saja untuk biaya hidup biar aku yang mengagungnya," ucap Rosa meyakinkan Dinda agar ia mau ikut bersamanya.
"Tapi kenapa? Di sini aku sudah mendapatkan pekerjaan ditambah lagi dengan pendapatan hasil jualan online kita berdua. Untuk apalagi kita mencari pekerjaan sampai ke luar kota?" jujur saja ia tidak berani pergi terlalu jauh ke tempat yang belum pernah ia kunjungi, apalagi sampai ke luar kota.
"Aku tahu itu, tapi aku butuh pekerjaan."
"Hoh, kamu mau kerja? Bilang dong dari tadi. Di tempatku kebetulan lagi ada lowongan." Seketika Rosa langsung menepuk jidatnya, ternyata Dinda tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan Rosa barusan.
"Bu-bukan seperti itu, maksud aku kita pergi ke luar kota dan mencari pekerjaan lain, yang artinya kamu harus harus berhenti kerja! Dari pekerjaan yang sekarang!" jelas Rosa ia tidak mau jika bekerja masih di area kota tempat ia tinggalnya. Ia ingin pergi jauh dari kotanya, agar ayahnya tidak bisa mengawasinya.
"Tapi, apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya Dinda sekali lagi ia masih ragu jika keluar dari pekerjaannya.
"Aku yakin, percaya deh sama aku."
"Tapi, aku masih belum yakin. Aku takut Ros."
"Enggak perlu takut, ada aku. Aku pasti akan menjamin kebutuhan kamu selama kita belum mendapatkan pekerjaan di luar kota. Kamu akan menjadi tanggung jawabku, apa pun yang terjadi aku yang akan maju ke depan. Tugas kamu saat ini adalah ikut denganku. Bagai mana? Mau ya?" ia terus membujuk temannya agar mau mengikuti dirinya, Rosa masih membutuhkan bantuan Dinda maka dari itu ia mengajaknya pergi ke luar kota bersama. Sedangkan Dinda masih memikirkan keputusannya untuk ikut dengan Rosa.
“Rosa? Ke sini dong.” Rosa melihat kea rah bosnya yang memanggil dirinya. Ia langsung bangkit dan berjalan kea rah arahnya. Melihat Rosa ada di depan matanya, pemilik café ini seketika terbelalak. Matanya terbuka lebar, mulutnya sampai menganganga melihat wajah Rosa mirip mendiang istri Abian.“Pa-Pak, dia—“ pemilik salon menunjuk Rosa dengan jarinya yang masih bergetar.“Namanya Rosa, dia ini perempuan. Jadi saya minta tolong sama kamu, tolong bikin dia makin cantik kaya artis Korea ya,” pintanya, sedangkan pemilik salon masih menatap takjub dengan wajah Rosa. Bisa ganteng, bisa juga cantik.“Luar biasa!” ujaranya lagi mengaggumi ketampanan Rosa. ia melihat penampilan Rosa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Benar-benar mirip mendiang istri Abian. "Kaya kembarannya Mbak Birdella," ujarnya dalam hati.Hampir satu jam lebih Rosa berada di s
"Keluar sana! Gue mau kerja.”“Jadi lo usir gue? Oke, fine. Kalau lu usir gue dari sini, jangan harap lo bisa dekat lagi sama Ade gue!” Brian langsung berjalan ke arah pintu keluar, tak disangka Abian menahan lengan temannya. “Jangan beper lo, gue Cuma bercanda doang! Yailah, gitu aja dimasukin ke hati.” Brian tersenyum puas, baru diancam sedikit aja Abian ketar-katir.“Makannya Bi, lo harus bisa ambil hati gue. Bikin gue senang, siapa tahu hati gue luluh.” Mendengar hal itu Abian hanya berdesis. Rasanya dia mau muntah seember.Selama seharian penuh Brian berada di ruang kerja, tanpa melakukan aktifitas apa pun. Yang Brian lakukan hanyalah main ponsel, mengawasi Rosa bekerja, hingga tertidur di atas sofa. Sedangkan Abian tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama Brian tidak menggangu pekerjaanya.“Lo enggak bosen apa di sini terus seharian?&rdqu
“Bi, mending lo pulang aja deh. Biar Rosa urusan gue!” kesalnya, padahal Rosa adalah adik kandungnya. Akan tetapi temannya selalu menyerobot apa yang dibutuhkan Rosa.“Mending lo duduk aja deh, biar Rosa gue yang urus.”“Gue ‘kan Kakak. Kenapa jadi lo yang repot sih.”“Lo Kakaknya, sedangkan gue bosnya. Jadi wajar aja gue kasih perhatian sama karyawan gue!”“Alibi banget lo!” melihat pertengkaran kakaknya dengan bosnya, Rosa hanya bisa tersenyum. Ia sih tidak masalah jika Abian membantu dirinya jika ia mengalami kesulitan, jika dibandingkan kakaknya. Abian lebih telaten dan sedikit berhati-hati.***"Cih, lihat aja kalau tuh duda tua pepet Rosa terus,” gumamnya mengingat ketika di rumah sakit. Brian benat-benar tidak diberi kesempatan untuk merawat adiknya. “Tapi, gue enggak sangka. Model kaya Abian udah nikah
"Eeh, tapi saya bisa kok pak pulang sendiri, lagian rumah saya dekat kok. Jadi enggak perlu diantar.”“Biarpun rumah kamu dekat, tetap saya antar pulang ke rumah. Malam-malam begini kita harus waspada dari tindak kejahatan.” Rosa memutar bola matanya malas, ia semakin risi. Baginya bosnya ini terlalu berlebihan.“Udah ya Pak, saya pulang dulu. Makasih deh tawaranya.” Dengan cepat ia berlari menuju pintu keluar.“Rosa! Tunggu saya.” Semakin ia mengejar Rosa, semkain jauh pula Rosa.***“Rosa?” ujar Abian dengan nada sedikit syahdu, membuat Rosa bergidik ngeri.“Dih, Pak Abian kenapa ya? Kok nada bicaranya jadi kaya cewek gitu sih?”“Hmm, saya mau minta tolong sama kamu? boleh?” lagi-lagi ia berucap dengan nada seperti perempuan.“Ngomongnya biasa aja
"Kamu pantas mendapatkan ini! Hukuman ini belum seberapa buat kamu. Aku akan memberikan hukuman yang berat lagi buat kamu!” ancamnya.Wajah cantik Mila kini sudah membiru, ia sudah kehabisan napas. Dengan cepat Aska melepaskan cekikanya. Ia tidak ingin Mila mati begitu saja. Ia ingin menghukum Mila dengan tanganya sendiri hingga Mila merasakan penderitaan."Hhukk...hhukkk." Mila menjatuhkan dirinya ke lantai, setelah ia lepas dari tangan Aska. napasnya sudah terengah-engah. nyawa dia hampir saja melayang.Aska memerintahkan pengawalnya, “bawa dia ke dalam mobil, dan ikat tubuhnya sekuat mungkin!” Mila hanya bisa pasrah tubuhhnya diseret paksa oleh pengawal ksusus. Sementara Brian dan Rosa sudah diamankan oleh para pengawalnya dan juga Abian yang sudah tiba di lokasi.“Ros, tolong kamu bertahan sedikit lagi. Kakak bakal bawa kamu ke rumah sakit, tolong jangan tinggalin Kakak se
1 pengawal pingsan. Tinggal sisa satu lagi. Karena takut ketahuan oleh pengawal yang lainya. Brian langsung mengeluarkan sebuah pisau ke arah pengawal, tepat mengenai keningnya seketika pengawal itu tewas."Rosa! Sadarlah Rosa. Ini Kakakmu!" Brian membagunkan Rosa yang sudah tidak sadarkan diri. Ia begitu sakit melihat keadaan adiknya yang cukup mengenenaskan. Brian tidak akan tinggal diam, dia akan membalas perbuatannya.Brian melepaskan ikatan tali dari tangannya, hati Brian semakin teriris melihat pergelangan tangan adiknya yang sudah penuh luka akibat ikatan tali terlalu kencang. Ia meneteskan air matanya, ia tidak sanggup melihat keadaan adiknya. Selama ia menjadi seorang kakak. Tidak pernah sekali pun ia melukai fisik adiknya, apalagi sampai separah ini.“Kak, Brian.” Sayup-sayup ia mendengar suara adiknya memanggil namanya. Ternyata adiknya masih bisa membuka matanya, ia mengusap air matanya agar adikn
Sudah 1 jam lebih Brian mengikuti mobil Mila, tetapi belum juga sampai di tempat tunjuan. Hingga akhirnya mobil Mila telah sampai di sebuah hutan yang lebat. Mobil Mila masuk ke dalam hutan. Begitu juga dengan Brian. Ia harus berhati-hati mengikuti mobil Mila agar tidak ketahuan. Setelah memasuki hutan yang paling dalam, mobil pun sampai di sebuah rumah tua yang sudah tidak berpenghuni.Diam-diam langkah Brian mengikuti Mila untuk sampai ke rumah tua. Tak di sangka ternyata rumah tersebut dijaga ketat oleh orang yang bertubuh kekar. Ada sekitar 3 orang yang menjaga di luar rumah dibagian luar.“Ck, penjaganya banyak banget di pintu depan,” gumamnya, ia terus memperhatikan rumah tua dan mencari celah agar bisa masuk ke dalam. Ia yakin jika adiknya pasti ada di dalam bersama dengan Mila. Brian mengembil ponselnya dalam saku celana untuk mengirim lokasi agar tim khususnya bisa datang ke sini untuk membantunya.
“Rosa lagi sama lo enggak?” Abian langsung bertanya ke inti permasalahan, ia lagi malas berdebat saat ini.“Lah, kenapa lo jadi nanya Rosa ke gue? Rosa 'kan lagi ada di kota tempat dia kerja.”“Serius lo?”“Serius lah, lagian ngapain juga gue sama si Rosa. Gue sekarang lagi di kota gue.”“Hoh, berarti Rosa lagi enggak sama lo ya? Ya udah gue tutup ya.”“Eh, jangan ditutup dulu! Sebenarnya kenapa sih lo nanya Ade gue lagi ada di mana?”“Semalam Ade lo enggak pulang ke rumah, temannya yang namanya Dinda sampai cari Rosa ke mana-mana tapi enggak ketemu. Malah ponselnya ada di gue sekarang, makannya gue hubungi elo, siapa tahu Rosa lagi sama lo.” Brian berdiri dari tempat duduknya, jantung berdetak kencang mengetahui adiknya belum pulang ke rumah sampai sekarang.&nbs
“Brian!” suara Mila sedikit ditinggikan agar Brian tersadar.“Eh, iya. Kenapa?”“Kamu ini kenapa sih? Dari tadi dipanggil kok enggak jawab?”“Masa sih?”“Dari tadi kamu terus lihatin saya loh, kamu ini kenapa sih? Apa penampilan saya terlihat aneh ya di mata kamu?” tanyanya membuat Brian kelimpungan, ia tidak sadar jika dirinya terus memperhatikan ibu tirinya ini. Ia sedang memikirkan mencari alasan yang tapat.“Kalung berliannya bagus, kayanya baru ya,” jar Brian baru mendapatkan ide ketika melihat kalung Mila.“Hoh, ini.” Mila menujuk ke arah kalungnya. “Kamu kok tahu kalau kalung berlian ini baru?”“I-iya, soalnya kelihatan silau. Kayanya kalungnya mahal ya?”“Enggak mahal kok, ini murah. Harganya cuma