“Dinda? Bagaimana? Apa kamu mau ikut denganku.” Rosa menatap mata Dinda dengan tatapan melas, agar ia mau menuruti keinginannya.
"Hmm, oke deh. Aku mau." Dalam sekejab mata Rosa langsung membinar, senyumnya mengembang lebar. "Good job, heheh." Rosa senang, akhirnya Dinda mau ikut dengannya ke luar kota, walau pun di hati Dinda ragu. ia pun mau mengikuti saran dari Rosa.
Sebenarnya Dinda sudah lelah bekerja di sebuah pabrik plastik yang bayaran hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari, ditambah lagi masih ada adik yang butuh biaya yang cukup besar untuk sekolahnya. Untungnya lagi, ia masih mempunyai pekerjaan sampingan untuk keluarganya. Ini semua berkat Rosa.
***
Tiga hari kemudian Rosa dan Dinda telah sampai di Kota S. Mereka berdua pergi menggunakan kereta kelas eksekutif semua biaya sudah Rosa tanggung. Tugas Dinda hanya menuruti perkataan Rosa. Butuh waktu 8 jam untuk sampai di kota S menggunakan mode Transport kereta.
Sesampainya di kota S ia bergegas mencari penginapan untuk beristirahat, sekalian menjadi tempat tinggal sementara. Jika dia sudah mendapatkan pekerjaan ia akan mencari tempat tinggal yang baru.
“Habis ini kita mau ke mana lagi Ros,” tanya Dinda.
“Kita ke hotel dulu ya, sekalian istirahat di sana.” Rosa mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya, ia ingin memesan taksi online dan mengantarkan ke tempat tujuan, setelah menunggu 15 menit taksi yang sudah di pesan sudah datang. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di hotel yang akan mereka tempati untuk istirahat sementara waktu.
“Ros, kamu yakin kita istirahat di hotel ini?” ucap Dinda ia terkejut saat melihat hotel yang berdiri megah di depan matanya, Dinda begitu kagum dengan gedung hotel ini.
“Yakin, ayo masuk. Enggak usah malu-malu, anggap aja hotel sendiri.” Rosa berjalan memasuki hotel, begitu juga dengan Dinda ia mengekor di belakang Rosa. Dan disambut baik oleh pelayan yang bertugas membukakan pintu hotel. Saat masuk ke dalam hotel semua mata tertuju ke arah Dinda dan Rosa, mereka heran. Bagai mana bisa penampilan sederhana bisa masuk ke hotel berbintang 5 seperti ini. Rosa tidak peduli dengan pandangan orang di sekitarnya. Ia terus berjalan lurus menuju resepsionis karena dia ingin memesan satu kamar VVIP.
"Permisi," ucap Rosa pada Resepsionis hotel.
"Iya, ada yang bisa saya bant--" Tiba-tiba Resepsionis itu berhenti berbicara saat melihat penampilan Rosa membuat wajah Resepsionis itu berubah.
"Iya ada yang bisa saya bantu," ucap Resepsionis dengan wajah datarnya.
"Tolong siapkan kamar VVIP untuk saya."
"Maaf, anda minta apa?"
"Saya minta kamar VVIP." Karyawan Resepsionis ini langsung menaikkan satu alisnya. Mendengar permintaan Rosa. Sikap Resepsionis ini berubah total. Ia tidak percaya dengan permintaan Rosa barusan. Terlihat karyawan hotel berbintang 5 ini merendahkan Rosa dengan tatapannya. Bagaimana bisa Rosa menyewa kamar VVIP yang harganya lumayan mahal. Apalagi kamar yang ia pesan hanya untuk kalangan atas dan juga penjabat saja.
"Mohon maaf sepertinya pihak hotel tidak bisa menyediakan kamar VVIP unuk anda." Rosa kaget mendengar permintaannya ditolak dengan nada angkuh.
"Loh, Kenapa?" tanya Rosa heran.
"Saya takut anda tidak sanggup untuk membayarnya." Resepsionis itu berkata blak-blakan meremehkan Rosa, tanpa peduli dengan perasaan Rosa. Ia pun tersenyum miring mendapati ada pegawai hotel bisa bersikap kurang ajar terhadap tamu. Pegawai hotel ini belum tahu, bahwa tempat ia bekerja saat ini adalah hotel milik Rosa yang masih ia kelola.
"Jadi sekali lagi mohon maaf, pihak hotel tidak bisa menyediakan tempat untuk anda. Jadi silakan cari hotel di tempat lain. Kebetulan sekali di kota ini masih banyak hotel dengan harga murah untuk Masnya dan juga Mbak yang ada di belakang anda.” Selesai berbicara karyawan itu melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, dia sengaja mengabaikan Rosa agar ia bisa pergi dari hotel ini.
Dinda menarik baju Rosa, sebenarnya ia merasa tidak nyaman jika beristirahat di hotel berbintang 5 ini. Ia sadar Dinda hanyalah orang kecil yang tidak pantas berada di sini. “Ros, udah yuk. Kita cari di tempat lain aja, kayanya hotel ini khusus kalangan atas aja deh.” Rosa menoleh ke arah Dinda, ia pun tersenyum kecil.
“Kamu tenang aja, hotel ini enggak cuma dari kalangan atas aja kok yang boleh datang ke hotel. Orang biasa yang bukan dari kalangan atas boleh kok nginap di hotel ini, karena tidak ada peraturan tertentu. Hanya kalangan ataslah yang boleh menginap di hotel ini.”
“Tapi Ros—“ Rosa mengangkat satu tangannya ke arah Dinda agar dia tidak berbicara lagi, masalah seperti ini biar Rosa yang turun tangan. Rosa menatap kembali ke arah resepsionis yang tengah sibuk menelepon. "Aduh! Kok bisa ya pihak hotel punya pegawai sombong kaya orang ini? Bisanya cuma memandang rendah orang lain hanya dari tampilannya saja,” gumam Rosa.
Walau pun Rosa telah berhenti menjadi CEO di perusahaan Ayahnya. Namanya masih tercantum di dalam hotel ini, secara langsung perusahaan itu sudah menjadi milik Rosa. Termasuk perhotelan yang ia datangi.
"Kalau gitu tolong panggil atasan kamu ke sini, biar saya yang ngomong sama dia." Pegawai itu menatap kembali ke arah Rosa, bahkan tatapan semakin merendahkan. Ia malas meladeni Rosa, bagi dia tamu seperti Rosa tidaklah penting. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Ternyata karyawan bagian resepsionis kupingnya tuli ya? Buktinya dia tidak bisa mendengar apa yang saya perintahkan,” sindir Rosa. Tahu dirinya disebut tuli, dengan kasarnya ia menutup sambungan telepon. Sebelum ia berbicara dan melabrak Rosa atas ucapannya, matanya terlebih dahulu melihat sekitar takut ada tamu yang melihat atau atasannya.
“Barusan anda bilang apa sama saya? Anda bilang saya tuli!?” Pegawai itu menatap tajam, emosinya sudah tidak bisa ia pendam lagi. Kalau saja ia tidak lagi bekerja, dengan senang hati ia akan meremas mulut Rosa. Sadar masih jam kerja, ia masih memperlihatkan senyum manisnya walau terlihat jelas dia sedang marah.
"Nah, kan. Apa yang saya bilang benar dong. Buktinya kamu masih nanya lagi kalau kamu itu memang benar tuli.”
“Tolong jaga ucapan anda di sini, saya tidak suka jika ada orang yang menghina saya dengan sebutan tuli! Kalau anda berbicara kasar terhadap saya, saya akan panggilkan pihak keamanan untuk mengusir anda dari hetel ini!” Rosa menghela napasnya, ia pun memberikan senyuman manisnya terhadap pegawai yang bernama Lia, terlihat dari kartu tanda pengenalnya.
“Ya sudah, panggil saja pihak keamanan. saya tidak keberatan kok. Kalau memang tidak tuli. Ya, tolong panggilkan atasan kamu. Biar saya saja yang bicara sama atasan kamu.”
"Untuk apa ya, anda menyuruh saya memanggil atasan saya? apa hak anda menyuruh saya?"
"Tentu saja saya punya hak, yang jelas panggil atasan kamu. Dan suruh hadap ke saya sekarang juga!"
“Ros, kita pergi aja ya dari sini, masih banyak kok tempat penginapan yang murah, aku takut kita berdua bakal diusir sama satpam di sini.” Dinda kembali menggoyangkan lengan Rosa, ia jadi takut karena suasana semakin mencekam. Walau pun pegawai itu masih terlihat senyum, wajahnya terlihat sangat marah. Dinda takut mereka berdua akan diusir dari hotel ini.
“Dinda, kamu lupa ya apa yang aku bilang barusan? Kamu tenang aja, kalau pun ada masalah kamu enggak usah khawatir, masalah seperti ini biar aku aja yang maju.”
“Tapi Ros—“
“Shut! Diam!” Rosa meletakan satu jarinya ke bibir, agar Dinda bisa diam. Dinda hanya bisa pasrah mengikuti saran dari temannya. Di saat mereka berdua sedang berbicara, datanglah satu lagi pegawai wanita menghampiri Lia.
"Mbak Lia ini ada apa? Dari tadi aku perhatikan Mbak Lia masih ngomong terus sama tamu?” tanya salah satu teman Lia bernama Sriyani.
"Ada tamu rese! Masa minta kamar VVIP sama pihak hotel, udah gitu minta panggil atasan kita lagi.” Lia menunjuk ke arah Rosa dengan kepalanya sambil melipatkan kedua tangannya di dada.Mata Sri langsung menoleh ke arah Rosa dan juga Dinda, matanya terus memperhatikan penampilan Rosa dari atas kepala hingga bawah kaki. Begitu juga dengan Dinda yang tak luput dari mata Sriyani."Pfft." Sriyani langsung menahan tawanya dengan cara menutup mulutnya pakai satu tangannya. Sebenarnya ia ingin tertawa kencang melihat penampilan Rosa dan juga Dinda, apalagi Dinda terlihat seperti orang kampung dengan pakaian biasanya."Mohon maaf nih, rasanya gue pengen ketawa," bisik Sriyani pada Lia."Ketawa aja Beb, gue juga dari tadi pengen ketawa kok," timpal Lia, ia juga heran bagaimana bisa Rosa yang berpenampilan seperti ini menyewa kamar VVIP untuk d
“Dinda, kamu ngapain di situ?" tanya Rosa setelah masuk ke dalam kamar, ia melihat temanya sedang berdiri di dekat jendala memandangi luasnya lautan biru. “Ros, lihat deh pemandangan laut itu. Bagus banget loh. Aku jadi pengen main air laut, kaya seru deh.” “Nanti aku ajak ke laut ya, tapi sebelum itu kamu di sini dulu ya. Aku masih ada urusan di luar, kalau kamu mau minta apa-apa kamu bisa telepon pegawai yang ada di sini, nanti kamu bisa dibantu.” “Oke!” Dinda memberikan dua jempol untuk Rosa, ia pun kembali melanjutkan melihat pemandangan laut yang begitu indah. Rosa bergegas pergi ke ruang kerjanya, ia berjalan di sepanjang lorong hotel. Ketika dia berjalan, ia berpapasan dengan manajer, ketika manajer itu melihat bos besarnya ada di depan matanya langsung terbelalak. Rosa menyadari sikap dari manajernya, ia menaruh 1 jarinya di bibirnya menandakan ag
Melihat temanya yang sangat keras kepala, Dinda hanya bisa pasrah menerima perkataan Rosa. Pagi hari telah tiba, Rosa telah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka berdua. Sedangkan Dinda tetap berada di hotel menikmati semua fasilitas yang ada di sini. “Aku pergi keluar dulu ya, kamu di sini aja sampai aku kembali ke sini. Kalau kamu mau berenang kamu tinggal ke bawah aja, kalau kamu masih bingung kamu boleh minta bantuan sama Rio. Nanti aku yang akan sampaikan.” Dinda menggoyangkan kedua tangannya, bahwa Dinda menolak akan hal itu. Ia tidak ingin merepotkan orang lain hanya karena ia ingin berenang di kolam renang. “Makasih Ros, aku lebih baik tunggu kamu aja dari pada sama orang lain. Aku lebih nyaman sama kamu, aku enggak apa-apa kok nunggu kamu.” “Kamu yakin?” “Yakin! Ya udah sana kamu keluar aja cari kerja, nanti kalau sudah dapat
"Aargghh, lepaskan!" Rosa berontak saat pengawalnya memegang lengannya, ia diseret keluar dari dalam lift dan membawanya pergi menuju mobil. Semua orang yang melihat kejadian itu, merasa heran dan juga takut. Apalagi para pengawal keluarga Adhitama begitu menakutkan. "Apa-apan ini? Lepaskan saya! Kalian jangan macam-macam ya!" Rosa terus saja memberontak, sayangnya kekuatannya kalah jauh dari para pengawalnya. Sekuat apa pun Rosa melawan, ia tidak akan sanggup menandingi kekuatan para pengawalnya. Rosa dipaksa masuk ke dalam mobil. "Awas ya kalian semua! Tunggu pembalasanku!" ancam Rosa dari dalam mobil. Tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah pengawalnya. “Halo adikku tersayang,” sapa Brian dengan senyuman lebarnya menampakkan barisan gigi putih dan rapih. "Arrghh!" Rosa berteriak kencang, ia kaget ada Brian di dalam mobil. Saking emosinya ia tidak sadar di depannya sudah ada kakak sulungnya. J
Keesokan paginya Dinda, dan Rosa tengah bersiap-siap untuk melamar pekerjaan di sebuah cafe yang jaraknya lumayan jauh dari hotelnya. Untuk melamar pekerjaan mereka berdua harus mempunyai penampilan sebagus mungkin."Kita sarapannya di sana saja ya? Takut telat nanti.""Iya, lagiian aku belum lapar kok."“Oke, kita berangkat sekarang yuk, takut macet di jalan. Soalnya sekarang waktunya orang berangkat kerja,” ucap Rosa, ia tidak ingin terjebak macet, ia sengaja berangkat lebih awal dengan sepeda motornya yang telah ia sewa seharian penuh, agar tidak telat. Ia lebih baik menunggu dari pada harus telat untuk datang ke cafe. Kesempatan seperti ini tidak boleh ia lewatkan sedetik pun.Satu jam kemudian Rosa telah sampai di tempat tujuan, ia melihat cafenya masih tutup. Tapi sudah banyak orang yang melamar di cafe ini. sebelum jam menujukan pukul 8 ia dan Dinda memutuskan untuk menunggu
“Terima kasih Pak atas pengertiannya, jika ada waktu. Saya akan mengurus semuaya." 25 menit sudah ia menjalani proses interview. Dalam hati ia senang, untuk masalah identitas masih bisa dilewati.“Kalau gitu untuk interview sudah selesai ya, untuk hasilnya nanti saya umumkan lewat email yang sudah kamu kasih ke saya.”“Sekali lagi terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit undur diri.” Rosa bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia keluar menuju pintu keluar. Selesai dari sini ia berniat ingin mampir di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari cafe untuk makan siang."Ros, gimana interview tadi? Aku sampai gugup loh pas ditanya-tanya sama Pak Abian," ucap Dinda ia baru pertama kali melamar pekerjaan di sebuah cafe."Hmm, baik kok. Mudah-mudahan kita berdua bisa diterima ya kerja di cafe sana. Apalagi pelanggan di cafe tadi cukup ramai pengunjung."&
“Enggak apa-apa, Pak. Saya cuma lagi senang aja lihat Pak Abian bisa tersenyum lagi. Sudah bertahun-tahun saya bekerja dengan anda, semenjak meninggalnya Almarhum Istri anda. Tiba-tiba senyum anda hilang begitu saja bagai ditelan bumi, tapi hari ini. Saya bisa lihat senyum anda kembali." Mendengar tutur kata Elang, membuat wajah Abian merona merah. Ia jadi malu sendiri hanya karena senyumnya. Tapi, yang dikatakan Elang memang benar. Semenjak istrinya meninggal, ia tidak pernah memperlihatkan senyumnya kepada siapa pun. Bahkan keluarganya sekali pun.Beberapa hari kemudian Dinda, dan Rosa mendapatkan panggilan dari tempat ia melamar pekerjaan di sebuah Cafe Birdella. Melalui sebuah email.“Ros, aku dapat pesan email dari Pak Abian. Katanya aku diterima kerja di cafenya,” ucap Dinda kegirangan, begitu juga dengan Rosa yang mendapatkan email, bahwa dia diterima kerja sebagai karyawan cafe Birdella.&
“Maaf, saya tidak punya IG, karena saya tidak terlalu suka bermain di media sosial.” Terlihat wajah wanita itu sedikit kecewa, tapi mereka tidak patah semangat.“Kalau nomor ponsel, pasti punya dong,” pintanya dengan gaya centilnya.“Saya punya.” Rosa pun mengeluarkan satu ponselnya dan memberikan nomor itu kepada pelanggannya, "ini nomor ponsel saya, jika Kakak ingin memesan makanan bisa hubungi saya.” Pelanggan wanita itu beserta teman-temannya langsung menyimpan nomor Rosa di ponselnya masing-masing, mereka semua belum sadar jika Rosa itu seorang perempuan sama seperti mereka.“Kalau butuh sesuatu lagi, kalian bisa panggil saya atau teman saya yang lainnya. Kalau begitu saya permisi ya.”“Iya, Kak.” Rosa segera pergi dari pelanggan wanita itu, bagi Rosa, hal seperti ini sudah biasa. Banyak sekali yang meminta nama Ignya atau nomor p