Share

Jaket Remaja Laki-laki Yang Disimpan Kahyangan

"Selamat datang kembali, sayang. Mama sangat merindukanmu." Senja, mama Langit, memberi pelukan hangat pada putra semata wayangnya yang baru tiba. Selama ini putranya tersebut mengenyam pendidikan dan bekerja di luar negeri.

Langit membalas pelukan Senja dengan pelukan yang sama karena dia juga merindukan wanita ini. "Aku juga merindukan mama."

Senja mengurai pelukannya. Dalam jarak yang masih sangat dekat, dia tengadah dan menangkupkan kedua tangannya di bagian kanan dan kiri wajah Langit. "Kamu pasti letih dan mengalami jet lag. Pergilah ke kamarmu. Para pelayan akan membawakan makanan dan minuman ke sana."

Langit mengangguk. "Baik, ma."

Langit baru melangkah beberapa langkah ketika Senja berkata. "Apakah mama harus mengabari Mentari tentang kedatanganmu, sayang?"

Langit tersenyum samar. "Terserah mama saja."

"Oke. Mama akan mengabarinya sekarang. Soalnya dia berpesan untuk memberitahu tentang kedatanganmu padanya."

Langit kembali tersenyum samar. "Ya, ma."

Langit pun melangkahkan kakinya kembali. Dia meninggalkan lantai satu menuju lantai dua. Lalu masuk ke dalam sebuah kamar yang luas dan mewah.

Yang dilakukan Langit pertama kali begitu masuk ke kamar itu bukanlah membaringkan tubuhnya yang lelah dan merasa jet lag melainkan menghubungi seseorang.

"Bagaimana?" tanya Langit tanpa basa-basi sama sekali. Langkah kakinya tanpa sengaja membawanya ke balkon yang  sejuk karena semilir angin yang berhembus.

Terdengar helaan nafas berat di ponsel. "Apa yang harus saya sampaikan lagi pada anda, tuan muda? Mencari seseorang tanpa bekal nama dan foto adalah misi paling berat yang pernah saya jalani. Saya... memilih untuk menyerah saja."

"Jangan!" sahut Langit cepat. "Tolong jangan menyerah! Teruslah berusaha meskipun itu bukan lagi misi utama kamu. Kamu bisa melakukannya secara santai."

"Tapi tuan in_"

"Aku mohon. Sekali lagi aku mohon."

"Sayang! Ini mama bawakan minuman dingin dan makanan kesukaan kamu!"

Langit menoleh ke dalam kamar. Dia mendapati Senja datang dengan dua pelayan yang membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Kita akan bicara lagi nanti," ucap Langit lirih. Lalu dia mengakhiri panggilannya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar dengan senyuman. "Wah, ternyata mama sudah menyiapkan semua ini ya?" Langit mengambil duduk di sofa dengan pandangan mengarah ke makanan dan minuman yang sudah tersaji di atas meja.

"Iya, dong. Namanya juga menyambut kepulangan anak tercinta." Senja mengambil duduk di samping Langit. Dia mengambil piring berisi makanan, menyendoknya, dan kemudian mendekatkan sendok itu ke mulut Langit. "Aaa!"

Langit menggeleng. Dia lalu mengambil piring yang dipegang ibunya. "Biar aku makan sendiri, ma. Aku bukan anak kecil lagi yang harus disuapi."

"Itu menurutmu. Tapi bagi mama kamu tetap anak kecil. Mau sekarang atau pun nanti."

"Walaupun aku sudah menikah?"

"Ya."

"Ka_"

Baru Langit akan menjawab ketika Mentari masuk tanpa permisi dan lansung memeluk Langit. "Maaf aku tidak bisa menjemput di bandara. Tadi ada pasien yang membutuhkan diriku."

Langit membalas pelukan Mentari sekadarnya, pun senyum yang ala kadarnya juga. "Tidak apa-apa. Aku tahu kamu sangat sibuk. Lagian bagi seorang dokter, pasien adalah yang utama."

Mentari melepaskan pelukannya. Dia lalu mengulurkan tangannya pada Langit. "Oleh-olehnya mana?"

"Ada di koper. Bisa ambil sendiri kan? Soalnya aku mau menikmati masakan mama yang sudah lama aku rindukan."

Mentari menggendikan bahu. "Tidak masalah," jawabnya sembari melangkah mendekati koper yang berada di dekat tempat tidur dan mulai membukanya. "Berapa banyak buatku?"

"Terserah kamu saja. Aku membawa beberapa. Berbagi dengan mama ya?"

"Oke."

"Kamu tidak membawa oleh-oleh untuk papamu?" tanya Senja.

Langit menggeleng. "Jujur tidak, ma. Untuk apa juga papa dibelikan oleh-oleh. Pasti dia tidak akan senang menerimanya." Dia sudah hafal betul sifat papanya setiap kali dibawakan buah tangan, tidak pernah terlihat sumringah malah menunjukkan wajah merendahkan. Membuat dirinya yang memberi jadi kecil hati. Oleh sebab itu, dia tidak menyiapkan lagi buah tangan buat sang papa daripada harus melihat ekspresi tidak suka yang menyakitkan di wajah sang papa.

Begitulah hubungannya dengan papanya. Kaku. Bukan dia yang menghendaki, tapi papanya yang memulai.

Selain itu, sebenarnya Langit memiliki kemarahan yang besar pada papanya, Dewa. Saat setelah peristiwa percobaan penculikan pada dirinya terjadi 15 tahun lalu, dia meminta papanya untuk mencari remaja perempuan yang menolongnya. Papanya itu menyanggupi. Tapi beberapa tahun kemudian baru diketahui kalau papanya ternyata tidak pernah mencari remaja perempuan itu dan justru sibuk mencari siapa yang ada di balik percobaan penculikannya yang hasilnya tidak pernah didapatkan.

***

"Kak, sudah jam sepuluh malam, lho. Kenapa malah beres-beres isi lemari?" tanya Purnama di pintu kamar Kahyangan.

"Ingin saja," jawab Kahyangan tanpa menoleh. Tetap sibuk melipat pakaian yang ada di lantai. "Soalnya sudah lama tidak dibereskan. Sekalian mengecek takutnya ada rayap."

Purnama meninggalkan pintu dan mendekati Kahyangan. Karena ingin kakaknya ini segera beristirahat, dia pun mendadak memutuskan untuk membantu kakaknya. Yaitu memeriksa setiap baju, memastikan tidak ada binatang perusak pakaian yang menempel di serat kain, dan kemudian melipatnya kembali dengan rapi.

Tak banyak pakaian yang dimiliki oleh Kahyangan karena dari dulu hampir seluruh penghasilan kakaknya ini dipakai untuk menyekolahkan dirinya di kedokteran.

Kahyangan menyimpan beberapa pakaian lawas yang harusnya sudah dibuang tapi justru dijadikan barang antik oleh gadis iu yang selalu dirawat dengan baik. Yaitu pakaian milik ayah dan ibunya yang sudah meninggal, serta....

"Kakak masih menyimpan jaket ini ya?" tanya Purnama sembari mengambil sebuah jaket remaja laki-laki berwarna coklat.

Kahyangan menoleh dan menatap lekat pada jaket yang sedang dipegang oleh Purnama. Seketika hatinya seperti tersentak karena jaket itu mengingatkannya pada pemiliknya. "Iya."

"Tapi kan kakak sudah tidak pernah bertemu dengan pemiliknya. Jadi untuk apa disimpan? Mending juga diberikan pada orang. Jadi berguna kan?"

Kahyangan menghela nafas berat perlahan. Bayangan saat detik-detik terakhir dengan remaja laki-laki itu membayang jelas di pelupuk mata seolah baru terjadi kemarin saja. Padahal kejadian itu sudah berlalu 15 tahun yang lalu. "Waktu itu dia bilang bahwa aku harus mengembalikan jaket itu jika kami nanti bertemu lagi."

"Dan kakak percaya kalian akan bertemu lagi?"

Kahyangan membisu. Dia sendiri juga tidak begitu percaya. Tapi janji adalah janji. Maka, dia harus menepatinya. Makanya jaket itu tetap disimpannya dengan baik. Siapa tahu suatu hari nanti dia akan bertemu lagi dengan remaja laki-laki itu meskipun nyaris tidak mungkin.

"Sudah lima belas tahun lho kak peristiwa itu terjadi. Rasanya tidak mungkin kalau kalian akan bertemu lagi. Kalaupun bertemu, kalian pasti sudah tidak saling mengenali wajah masing-masing. Dulu kan kalian bertemu waktu masih remaja. Sekarang sama-sama sudah berusia tiga puluh tahun. Bisa jadi dia sudah menikah dan punya anak."

Ya, itu kemungkinan yang benar menurut Kahyangan. Bisa jadi remaja laki-laki itu memang sudah menikah atau bahkan punya anak. Meskipun kemungkinannya seperti itu, tidak masalah bagi Kahyangan. Sekali lagi dia hanya ingin menepati janjinya untuk mengembalikan jaket itu jika bertemu lagi. Maka sebelum bertemu, dia akan tetap menyimpannya.

"Tidak apa-apa." Kahyangan akhirnya bersuara lagi. "Aku akan tetap menyimpannya sampai kapan pun juga. Kalau bukan aku yang akan mengembalikan jaket itu padanya, mungkin akan dikembalikan oleh anak dan cucuku."

"Pada anak dan cucunya juga?" Purnama tertawa geli membayangkan kekonyolan ini. "Tapi aku selalu berdoa agar kalian bisa bertemu secepatnya. Bukan tidak mungkin kalian berjodoh. Soalnya kisah kalian itu romantis sekali."

Kahyangan menanggapi ucapan Purnama barusan tanpa ekspresi apa pun. Wajahnya tetap dingin seperti biasa.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status