Share

Langit Malam Yang Menggambar Wajah Mereka

"Apa kamu sudah siap untuk menggantikan papa memimpin rumah sakit kita?" tanya Dewa pada putra semata wayangnya, Langit. Saat ini mereka sedang menikmati makan malam di meja makan rumah mereka yang megah dan mewah. Dewa memang kaya raya. Dia tidak hanya mempunyai rumah sakit tapi juga memiliki beberapa bisnis lain yang membuat uang dalam jumlah besar terus datang menambah kekayaannya.

Langit tak punya pilihan selain mengangguk. "Iya, pa. Aku siap."

"Bagus. Kalau begitu, besok pagi ikut papa ke rumah sakit."

Langit mengangguk lagi. Perintah papanya seperti tidak bisa dia tolak. Langit memang anak yang sangat patuh. "Baik, pa."

"Apa tidak bisa ditunda besok lusa, pa?" Senja urun suara dengan wajah prihatin. "Langit baru sampai tadi kemarin sore, lho. Mungkin dia masih capek dan ingin istirahat dengan berdiam diri di rumah untuk sehari lagi saja."

Dewa menoleh pada Senja yang duduk di sebelahnya. "Langit sudah beristirahat dari satu setengah hari. Itu cukup untuknya. Laki-laki itu, tidak boleh mudah mengeluh capek. Laki-laki itu harus giat bekerja. Semakin sukses seorang laki-laki, maka akan semakin dihormati. Langit bisa dikatakan belum punya pencapaian apa-apa karena di usianya sekarang, dia belum bisa membangun rumah sakit atau bisnis. Tidak seperti papa dulu. Di usia tiga puluh sudah banyak yang dicapai."

"Papa dan Langit beda, pa. Papa kan tidak sekolah kedokteran sehingga pendidikannya tidak serumit Langit, jadi bisa segera membangun ini dan itu. Sedangkan Langit menghabiskan waktunya untuk sekolah kedokteran yang lamanya tidak ketulungan. Bukannya papa sendiri yang merancang Langit untuk jadi seperti sekarang ini? Papa kan yang ingin Lamgit jadi dokter?"

"Ah, kau ini!" Nada bicara Dewa naik satu tingkat. "Kamu itu perempuan! Tidak perlu ikut bicara kalau yang kamu katakan bisa menghancurkan mental Langit sebagai seorang laki-laki! Cukup mendengar dan diam!"

Senja langsung tertunduk. Kedua mata beningnya berkaca-kaca. Dia merasa sakit hati setiap kali Dewa berkata seperti tadi. Melarangnya ikut bicara karena dirinya adalah seorang perempuan. Apakah suara perempuan memang tidak diperlukan dalam kehidupan pernikahan?

Langit yang melihat itu, mengepalkan jemari-jemarinya. Dia tidak pernah tega setiap kali Dewa merendahkan Senja. Rasanya ikut sakit hati. Tapi dia selalu menahan diri untuk menghentak Dewa karena baginya anak harus senantiasa berkata lembut dan menurut pada orangtua. Suara anak tidak boleh lebih tinggi daripada suara orangtua.

"Karena cara asuh kamu juga yang membuat aku menjauhkan Langit dari kamu dengan menyekolahkannya di luar negeri! Karena kalau terus bersamamu, Langit akan menjadi banci! Kamu terus memanjakannya seolah dia anak bayi! Kamu sadar tidak itu?! Hah?!"

Senja mengangguk tak berdaya. Matanya sudah mencair membentuk anak sungai di kedua belah pipinya yang mulus dan meskipun sudah berumur masih kencang.

Tapi Langit merasa tidak tahan. Dia pun memutuskan untuk tidak menyaksikan Dewa memarahi Senja lebih jauh dan lebih panjang.

"Aku sudah kenyang." Tanpa menunggu balasan dari kedua orangtuanya, Langit berdiri dan kemudian meninggalkan meja makan. Dia kembali ke kamarnya dan merenung di balkon. Di sana dia menatap langit malam yang berwarna hitam dengan bintik-bintik bintang. Lalu perlahan, secara samar-samar, hamparan langit menggambar wajah remaja perempuan pemberani yang menolongnya 15 tahun lalu.

'Di mana dirimu wahai gadisku? Aku sangat merindukanmu. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Jangan kamu tanya bagaimana bentuk rinduku ini. Mungkin telah memekat karena terlalu lama dan sangat dalam. Tolong, aku meminta tolong padamu dengan amat sangat untuk jangan bersembunyi lagi. Muncullah dan tunjukkan wujudmu secara nyata di depan mataku,' ucap Langit dalam hati yang gerimis.

Sementara itu di tempat lain, Kahyangan menatap Langit yang sama. Langit malam yang berwarna hitam dengan bintik-bintik bintang. Tanpa dia inginkan, tiba-tiba langit itu memunculkan wajah remaja laki-laki yang pernah ditolongan. Wajah yang tampan dan memiliki kepribadian lembut.

Set!

Tapi Kahyangan memilih untuk menutupi hamparan langit itu dengan gordengnya yang berwarna putih. Dia tidak mau membayangkan wajah remaja laki-laki yang telah ditolongnya itu. Bukan karena benci. Akan tetapi setiap kali dia mengingat remaja laki-laki itu, rasa rindu yang begitu menyiksa muncul.

Dan Kahyangan tidak ingin lagi merasakan rasa rindu itu.

***

"Hari ini pimpinan baru kita akan datang ya?"

"Katanya sih begitu."

"Dia tunangan Dokter Mentari kan?"

"Sepertinya iya."

"Eh, dengar-dengar seorang dokter juga. Benar tidak ya berita itu?"

"Aku mendengarnya juga sama. Katanya dia seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Lulusan luar negeri."

"Wah, kedengarannya dia orang yang hebat ya?"

"Tentu dong. Kalau papanya punya rumah sakit, tentu anaknya harus menjadi dokter yang hebat."

"Beruntung sekali Dokter Mentari mendapatkan pria itu. Sudah dokter hebat, anak pemilik rumah sakit juga."

"Dokter Mentari kan juga hebat. Setahuku papanya memiliki perusahaan dan teman dekatnya Pak Dewa."

"Pantas saja mereka jadi tunangan. Jangan-jangan karena perjodohan."

"Bisa jadi. Tapi apa pun itu, aku berharap pimpinan baru kita sikapnya tidak sama dengan Dokter Mentari."

"Huss! Kita jadi membicarakan orang pagi-pagi begini."

Kahyangan menelan saliva setelah mendengar pembicaraan dua perawat itu tentang kepemimpinan yang akan berganti. Rasa khawatir langsung melandanya. Bukan tanpa sebab, saat pemimpin rumah sakit masih dipegang oleh Dewa saja, Mentari sudah mengancam akan memecatnya. Apalagi kalau pimpinan rumah sakit adalah tunangan Dokter itu. Mungkin dalam satu hari menjabat, Mentari sudah akan memecat dirinya.

Kahyangan belum siap untuk kehilangan pekerjaan ini. Dia masih ingin bekerja di rumah sakit ini karena bisa sambil mengawasi Purnama, adiknya. Berbeda jika dia bekerja di tempat lain, jangankan mengawasi, untuk mempunyai waktu mengobrol pun susah karena sama-sama sibuk.

Tapi Kahyangan segera membuang rasa khawatir itu karena tidak ingin larut di dalamnya. Lalu dia meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, Langit dan Dewa sudah tiba di rumah sakit. Kedatangannya disambut oleh Mentari dan beberapa staf penting rumah sakit. Dia disalami dan juga dihormati seperti juga papanya. Langit sendiri menerima penyambutan itu dengan ramah.

"Kedatangan anda sudah ditunggu di ruang rapat," ucap wakil direktur bagian pelayanan. "Mari kita ke sana."

Langit mengangguk. Mereka semua kemudian meninggalkan lobby menuju ruang rapat yang dimaksud. Belum terlalu jauh kaki melangkah, seorang anak kecil berusia 4 tahunan yang membawa minuman berwarna ungu melintas di depan Langit. Tangannya yang lemah yang memegang minuman itu, tak mampu menahan getaran tubuh saat berlari. Alhasil minuman itu jatuh tepat di depan Langit. Bahkan airnya menyiprat hingga ke celana Langit yang sangat rapi itu. Otomatis, itu membuat langkah mereka semua terhenti seketika.

Pada saat bersamaan anak kecil itu menangis karena minumannya jatuh dan langsung digendong oleh ibunya.

Mendapati hal itu, Mentari geram. Andai saja anak kecil itu sepupunya, mungkin sudah habis dimarahi. Dia lalu celingukan mencari petugas kebersihan yang ada di sekitar tempat itu dan menemukan Kahyangan yang baru muncul dari belokan. Dia pun langsung memanggil petugas kebersihan itu. "Kahya! Tolong bersihkan air minuman ini!"

Kahyangan seketika menoleh ke arah suara berasal. Dia mendapati Mentari, Dewa, dan Langit yang sedang menundukkan kepala karena membersihkan cipratan air minuman yang ternyata sampai ke bajunya juga. Kahyangan pun langsung mengangguk. "Iya, dok!"

Tanpa pikir dua kali, Kahyangan berlari mendekati genangan air minuman milik anak kecil tadi yang berada tepat di ujung sepatu Langit.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status