Tepat saat Kahyangan sampai di samping Langit, pria itu melangkahkan kakinya lagi diikuti yang lainnya. Jadi dia tidak melihat wajah petugas kebersihan itu. Begitu pun sebaliknya. Dan yang masih tinggal di tempat hanyalah Mentari.
"Pokoknya kamu harus bersihkan lantai itu sampai bersih sebersih-bersihnya. Jangan meninggalkan noda sedikit pun," ucap Mentari dengan suara tegas. Kahyangan mengangguk. "Baik, dok." Barulah setelah itu Mentari mengejar Langit dan yang lainnya. Setelah agak jauh, tiga staf berdiri membelakangi Kahyangan dengan pandangan mengarah ke arah perginya orang-orang itu tadi. "Itu ya calon pimpinan kita yang baru?" "Sepertinya iya." "Waw, tampan sekali. Kalau begini, aku bakal semangat berangkat kerja." "Percuma. Sudah tunangan orang." "Tidak masalah. Selama pernikahan belum terjadi, hati masih bisa berpaling." "Pelakor dong? Mau cari gara-gara sama Dokter Mentari?" Wanita itu menggendikan bahu. "Entahlah." Lalu tiga staf itu pergi dari sana dan kembali ke ruangannya masing-masing. Meninggalkan Kahyangan yang masih membersihkan lantai. *** Ini adalah ruangan barunya. Setelah serah terima kepemimpinan rumah sakit, dia langsung menempatinya. Dan sekarang dia sendiri di sini karena semua orang sudah kembali bekerja. Sementara dirinya, belum mengetahui apa yang harus dikerjakan. Karena bosan, Langit pun memilih untuk keluar ruangan dan berjalan-jalan di sekitar rumah sakit seorang diri. Dia menyusuri koridor yang panjang. Menyapa para staf yang dilewatinya dengan ramah dan membuat para staf itu histeris. Mengintip ruangan demi ruangan. Dan memperhatikan setiap hal unik yang dilewatinya. Meskipun menjadi dokter adalah pilihan papanya, dia cukup menikmati profesinya ini. Kini kemana lagi dia akan melangkah? Semua yang ada di lantai lima ini sudah dijelajahinya. Langit pun memutuskan untuk ke lantai empat lewat jalur tangga, bukan lift. Capek sedikit tidak masalah. Langit pun berbelok. Lalu mulai melangkahi satu demi satu anak-anak tangga. Dia baru saja menginjak anak tangga terakhir dan hendak menginjak lantai empat, ketika mendengar seruan seseorang. "Awas! Hati-hati! Licin!" Tapi Langit sudah terlanjur menginjakkan kakinya. Dan benar saja, kakinya bergerak sendiri ke arah depan dan dia nyaris jatuh jika seseorang tidak memeluknya dari samping. Dan ketika dia menoleh, matanya bertemu dengan mata remaja perempuan yang 15 tahun lalu menolongnya. "Kamu...." Di saat yang bersamaan, mata Kahyangan, gadis yang baru saja memeluk Langit, melebar begitu mengetahui orang yang baru saja ditolongnya ternyata adalah remaja laki-laki yang 15 tahun lalu telah ditolongnya. Selama beberapa saat mereka saling menatap satu sama lain. Tanpa kata, tapi hati bergemuruh oleh perasaan yang campur aduk menjadi satu. Ada rasa tak percaya, terkejut, rindu, dan lega. Lega karena akhirnya mereka bertemu kembali setelah 15 tahun terlewati. Hati yang terikat satu sama lain, langsung mampu mengenali wajah masing-masing. "Ada apa ini?" Langit dan Kahyangan tersentak kaget mendengar suara barusan. Keduanya menoleh bersamaan dan tersentak kaget begitu mendapati Mentari berada di anak tangan ke lima dari bawah. Sontak, kahyangan melepaskan pelukannya. "E... dokter ini nyaris terjatuh karena menginjak lantai yang licin. Karena itu refleks saya menangkapnya." Tapi Mentari tidak begitu saja percaya dengan penjelasan Laila. Dengan wajah curiga dan tidak suka, dia melangkah turun. Begitu sampai di anak tangga terakhir, dia menunduk melihat lantai di bawahnya. Memang terdapat cairan seperti minyak di sana. Namun, dia tidak mempermasalahkan minyaknya. Yang kini menganjal di hatinya adalah apa yang telah dilihatnya. Yaitu Kahyangan dalam keadaan memeluk Langit dari samping. Api cemburunya sudah terbakar sejak melihat itu. Dari cairan minyak itu, Mentari mengalihkan pandang pada Kahyangan. Tatapannya begitu tajam dan menusuk. Lalu dia menarik Langit ke arah dirinya. "Jadi apa kerjamu sebagai petugas kebersihan sampai menyebabkan orang nyaris jatuh?! Atau kamu sengaja menaruh minyak di sini agar bisa memeluk dia?!" Kahyangan menggeleng membantah tuduhan Mentari. "Tidak, dok. Aku tidak menaruh minyak itu di sana. Ketika aku tiba di sini, aku sudah melihatnya. Sepertinya orang dapur tadi tidak sengaja menumpahkan minyak di sini." "Sudahlah! Jangan berusaha menutupi niat busukmu!" Penjelasan Kahyangan justru membuat Mentari menjadi kian marah. "Kamu pikir aku tidak tau siapa kamu?! Kamu selalu tidak benar dalam bekerja! Kamu juga bekerja sambil tebar pesona!" Dengan kuatnya, Mentari menekan bahu Kahyangan hingga petugas kebersihan itu terdorong ke belakang. "Kamu pikir hanya kamu yang cantik di rumah sakit ini?!" "Sudah! Sudah!" Melihat gadis penolongnya kian dipojokan, Langit langsung bertindak. Dia mengambil alih jarak di antara Mentari dan Kahyangan dengan berdiri di sana dengan tubuh menghadap Mentari. "Kenapa masalah sepele seperti ini diperbesar? Aku yakin bukan dia yang dengan sengaja menumpahkan minyak di sini. Untuk apa coba dia melakukan itu?" Mentari menoleh pada Langit. "Kamu membelanya? Jangan-jangan pelukannya tadi sudah membuat kamu jatuh cinta padanya?!" "Kamu itu bicara apa sih, Tar? Jangan mengatakan yang tidak-tidak." Ucapannya mendadak terhenti saat beberapa orang lewat. Kahyangan segera mengambil tanda dari aluminium yang bertuliskan 'AWAS LICIN' yang dibawanya dan ditaruhnya ke atas genangan minyak agar orang-orang yang lewat itu tidak menginjaknya. Lalu setelah orang-orang yang lewat itu menghilang dari pandangan, Langit memegang tangan Mentari. "Kita ke ruanganku sekarang ya? Kita bicarakan ini di sana." Dirayu selembut itu, Mentari pun luluh. Dia tak memberontak saat Langit menariknya naik. Tapi sebelum mereka berdua menghilang di balik kelokan tangga, Langit sempat menoleh pada Kahyangan dengan tatapan sendu. *** "Dia itu wanita penggoda yang berpura-pura polos. Maka dari itu semua yang aku katakan padanya cukup beralasan. Aku yakin dia berusaha untuk merayu kamu dengan menaruh minyak di sana," ucap Mentari dengan menggebu-gebu. Dia sangat emosi dengan kejadian ini. Apalagi benaknya terus terbayang Langit dalam pelukan Kahyangan. Langit yang mendengarkan semua ucapan Mentari menghela nafas berat. "Tuduhanmu tidak masuk akal, Tar. Kamu menuduh dia menggodaku padahal dia tidak tahu aku bakal lewat sana. Memangnya di benaknya ada layar lebar yang mempertontonkan diriku akan lewat tangga tadi? Tidak mungkin ada kan? Itu artinya dia tidak berbohong kalau minyak itu sudah tergenang di sana saat dia datang. Sebelum dia sempat melakukan apa-apa, aku juga datang. Lalu terjadilah kejadian itu tanpa kami berdua rencanakan. Ayolah, kamu seorang dokter. Tidak boleh bertindak berdasarkan emosi saja." "Bagaimana aku tidak emosi kalau melihat kamu dipeluk olehnya? Aku yakin wanita lain juga emosi kalau ada di posisiku. Lagian, mengapa kamu tidak langsung menyingkirkannya saat dia memelukmu?" "Waktu kamu datang, dia baru saja memelukku. Dan namanya orang kepeleset, tubuh tidak seimbang dengan cepat. Please, tolong jangan dibahas lagi apa yang terjadi tadi. Musibah datang tidak direncanakan, Tar. Kalau aku tahu akan kepeleset di sana, aku tidak akan lewat sana." "Kamu bisa bicara seperti itu karena tidak merasakan jadi aku. Melihat calon suami dipeluk wanita lain itu rasanya sakit sekali." Mentari masih mencoba mengungkapkan alasannya menjadi sangat emosi walaupun kejadiannya terkesan sederhana. Semua karena perasaan cemburu dan sakit hati. Bukan sembarangan marah. "Jujur padaku, saat kamu dan dia dalam jarak yang sangat dekat seperti tadi, adakah perasaan suka padanya?" Langit membisu seketika. Bukan tanpa sebab, pertanyaan barusan sudah memiliki jawaban yang pasti akan menyakiti Mentari. Tapi jawaban itu sudah ada sebelum kejadian ini terjadi. Yaitu sejak 15 tahun lalu. Dimana Kahyangan dengan berani menolongnya. Bersambung.Kahyangan langsung berdiri dari duduknya. "Maaf jika bapak tersinggung dengan percakapan kami. Kami tidak bermaksud_""Tidak masalah," sela Dewa sembari tersenyum. Senyum yang pertama kali dia perlihatkan untuk kakak beradik itu. "Justru aku ingin tahu banyak bagaimana kalian menilaiku. Selama ini, aku memang terlalu egois dan selalu merasa benar. Sampai akhirnya orang-orang terdekatku yang meninggalkan aku menyadarkan aku kalau aku benar-benar sosok orang yang buruk. Dan aku bertekad untuk mengakhirinya. Aku ingin menjadi orang yang baik sekarang."Kahyangan tersenyum samar. "Syukurlah kalau anda punya keinginan seperti itu. Aku turut senang mendengarnya."***Beberapa jam setelah pernikahan yang penuh kesederhanaan dan makan-makan, Dewa dan rombongan berpamitan pulang. Mereka cukup tahu diri tidak ingin mengganggu malam pertama pasangan berbahagia yang baru saja sah menjadi suami istri."Kapan rencananya kalian akan kembali ke kota?" tanya Dewa dengan wajah penuh harap. Dia bukan s
"Mama? Purnama? Pa...." Langit baru akan menyebutkan kata 'papa' ketika dia menggantungnya. "Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanyanya meskipun dia tahu bagi papanya tidak akan sulit mencari keberadaannya.Senja memaksakan senyum. "Untuk bertemu kamu dong. Tapi kami datang ke sini dalam keadaan hati yang tenang dan baik.""Oya?" Langit melirik Dewa. "Mama yakin?"Senja mengangguk. "Yakin." Wanita itu lalu menoleh pada Dewa. Dengan kedipan matanya, dia memberi kode. Karena kode itu, Dewa yang semula berdiri tak jauh dari supirnya, melangkah maju mendekati Langit. "Sebelumnya papa minta maaf karena telah mengganggu ketenangan kamu. Tapi papa tidak bisa menahan keinginan untuk segera bertemu kamu. Papa mau meminta maaf atas semua kesalahan papa padamu dan Kahyangan. Papa sudah sadar bahwa tidak seharusnya papa memaksakan kehendak. Kamu bebas menjalani hidup yang kamu inginkan. Dan yang terpenting adalah papa sudah mengakhiri kesepakatan perjodohan kamu dengan Mentari. Kamu bebas mau men
Guruh tersentak seketika. Matanya sampai membuka begitu mendengar ucapan Dewa. "Ke-kenapa kamu berkata seperti itu?""Kenapa? Apa perlu aku menjelaskan secara rinci apa yang telah kamu lakukan lima belas tahun yang lalu pada Langit? Aku khawatir kamu jadi tidak bisa tidur malam ini."Guruh menelan saliva. Dia mencubit tangannya berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Tapi nyatanya dia merasakan sakit."Aku tidak menyangka sama sekali kalau kamu pernah melakukan itu pada putraku, putra sahabat sendiri. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu sampai bisa memiliki pemikiran untuk menghabisi Langit? Apa salah Langit yang waktu itu masih berusia lima belas tahun? Atau... kamu melakukannya karena dendam padaku? Katakan! Apa yang membuatmu memiliki dendam itu karena seingatku aku tidak pernah dengan sengaja mau menyakiti kamu?"Guruh membisu. Dia tidak berani untuk menjawab. Dia tidak menyangka kalau Dewa telah mengetahui rahasia ini. Rahasia yang telah disembunyikan selama lebih dari lima belas t
“Pa, lebih baik kita hentikan pemaksaan ini. Tak akan baik akhirnya. Ya, mungkin sekarang kita bisa mendapatkan Langit seperti keinginan kita. Tapi nantinya tetap akan kehilangan. Mentari akan kembali berusaha untuk bunuh diri ketika Langit meninggalkannya. Mama lebih setuju kalau kita benahi anak kita, Mentari. Menguatkan mentalnya dan memberinya banyak pandangan tentang kehidupan. Mama merasa itulah yang diperlukan Mentari daripada apa yang kita perbuat sekarang ini,” ucap Cahaya dengan penuh kesadaran. Terus menerus memaksa orang telah membuatnya lelah."Mama sudah gila apa punya usul seperti itu?! Dewa sudah setuju untuk memaksa Langit menikah dengan Mentari secepatnya malah ingin digagalkan. Sia-sia saja kalau begitu usiaku selama lima belas tahun ini," balas Guruh."Ini bukan soal masalah ke sia-siaan atau apa. Tapi mengenai masa depan Mentari juga. Kalau pun kita berhasil menikahkan mereka berdua, nantinya bakal cerai mengingat Langit tidak pernah memiliki rasa suka pada Mentar
"Aku belum bicara. Tapi kamu sudah menjawab seperti itu. Kamu tidak punya sopan santun sama sekali," ucap Dewa kemudian. Sedikit marah."Maaf kalau anda menganggap saya tidak sopan. Tapi saya hanya mempercepat menuntaskan keingintahuan anda," balas Purnama lagi. Dewa mendengkus kesal. "Jadi apa yang kamu tahu tentang kakakmu sekarang? Mustahil kakakmu tidak memberitahu keberadaannya.""Anda boleh percaya boleh juga tidak. Tapi inilah kenyataannya. Saya bukan seorang pembohong.""Lalu kenapa kamu tidak panik kehilangan kakakmu?" "Karena kakakku bersama orang yang sangat mencintainya. Saya yakin dia akan baik-baik saja di sana."Dewa menyeringai. "Bagaimana kamu bisa memastikan kakakmu baik-baik saja kalau kakakmu ada kemungkinan diculik? Hilang tanpa ada pemberitahuan.""Apakah anda ingin mengatakan kalau putra semata wayang anda seorang penculik?"Pertanyaan yang cukup menyudutkan. Dewa pun langsung mengubah dugaan. "Bukan putraku yang seorang penculik. Tapi kakakmu yang seorang man
"Ini hanya untuk sementara, Dokter Purnama. Kamu tidak perlu panik. Kakakmu baik-baik saja. Nanti setelah Langit mengganti nomer ponselnya, pasti dia akan menghubungi kita. Dia terpaksa melakukan hal ini karena tidak memiliki pilihan. Keadaan sangat sulit untuk menyatukan cinta mereka. Papanya, Mentari, dan kedua orangtua Mentari, terus mendesaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Jadi terpaksa dia melarikan diri sementara dengan membawa Kahyangan. Memang Langit sedikit melakukan pemaksaan pada Kahyangan. Tapi jika tidak begitu, kakakmu tidak akan pernah mengutamakan kebahagiaan sendiri. Saya menjamin keselamatan mereka. Jika ada sesuatu pada Kahyangan, saya akan bertanggung jawab. Saya harap, kamu bisa mengerti dan paham dengan situasi ini."Tak langsung menjawab, Purnama termenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk-angguk kecil. "Saya mulai paham, nyonya. Memang Kak Kahyangan tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Dia selalu memikirkan orang lain. Mungkin karena i