Saat ia tiba di kediaman keluarga Keina, Alden disambut oleh wajah Tiana yang menatapnya dengan panik.
"Alden, sebenarnya ada apa? Kenapa Keina datang membawa koper semalam? Apa kalian bertengkar?"Alden menghela nafasnya panjang mendengar penuturan Tiana, ia tidak menyangka jika Keina akan mengambil langkah seceroboh ini semenjak pernikahan mereka. Jika seperti ini, rusak sudah semua citra menantu terbaik yang selama ini sudah ia bangun.Alden mengusap tangan Tiana dengan lembut, "Tidak apa-apa Ma, biar Alden yang membujuk Keina untuk pulang."Alden bergerak maju ke dalam rumah Tiana. Alden mendengus saat melihat Keina sudah duduk di sana seolah menunggu kedatangannya."Ayo kita pulang, Sayang. Aku minta maaf, kita bicarakan ini di rumah."Alden segera menarik tangan Keina, namun ia terhenyak saat Keina menepis tangannya dengan kasar. Sesuatu yang tidak pernah Keina lakukan selama mereka bersama. Tunggu, bukankah ini juga pertama kalinya Keina kabur meninggalkan rumah yang mereka tinggali bersama?"Tidak, aku tidak akan pulang."Mata Alden melebar sempurna mendengar jawaban Keina. Apa Keina tengah merajuk kepadanya saat ini karena kejadian semalam?"Sayang..."Keina terlihat mengalihkan tatapannya ke arah Tiana, "Ada hal yang harus Keina bicarakan dengan Alden, bisa tinggalkan kami berdua?""Tapi Sayang...""Tolong Ma,"Tiana menyerah mendengar ucapan Keina, ia melangkahkan kakinya lalu pergi dari sana.Alden menatap ke arah Keina, lebam-lebam yang terlihat dari bahu Keina yang kurus membuat Alden merasa sangat bersalah. Helaan nafas panjang keluar dari mulut Alden, ia duduk menghadap Keina lalu berkata dengan nada lirih, "Apa kau marah padaku soal kejadian semalam hingga tidak mau pulang? Kalau begitu aku minta maaf Keina, aku terlalu kasar padamu. Aku terlalu banyak minum semalam."Keina tersenyum tipis mendengar ucapan Alden, "Ini pertama kalinya."Alden menatap Keina tidak mengerti."Selama ini kau selalu menyakitiku, tapi ini pertama kalinya kau meminta maaf." Lanjut Keina kembali.Alden kembali menghela nafas, "Aku tahu aku salah, tapi bisa tidak kita bicarakan ini di rumah saja? Ayo kita pulang, jangan membuat ibumu bingung dengan situasi ini."Keina menghela nafasnya panjang, "Mari kita bercerai saja."Perkataan Keina yang terakhir sontak membuat Alden tercengang."Apa?""Kita bercerai saja. Bukankah itu yang kau inginkan selama ini?""Omong kosong apa yang tengah kau bicarakan? Kau ingin membuat kedua orang tua kita terkejut?" Nada bicara Alden seketika meninggi. Selama setahun mereka menikah, tidak pernah sekalipun kata perceraian terungkap di sana. Alden memang salah, tapi bercerai? Itu berlebihan. Apa tanggapan orang tua mereka jika mereka tiba-tiba bercerai?"Aku yang akan bicara dengan mereka, kita bercerai saja. Aku melepaskanmu, Alden. Bukankah itu yang kau inginkan? Kau ingin bebas, bukan?"Setelah berkata seperti itu, Keina bangkit berdiri, "Aku sudah selesai bicara, sebaiknya kau pulang."Alden segera menangkap tangan Keina yang berlalu, raut wajahnya terlihat bingung dengan apa yang Keina bicarakan, "Kau serius dengan perkataanmu?""Aku tidak pernah seserius ini, Alden."Keina menepis tangan Alden lalu berjalan meninggalkan pria itu yang tengah termangu. Ini sulit dipercaya, benarkah Keina ingin bercerai darinya?****Tepat setelah pembicaraan mereka, beberapa hari kemudian Keina meminta kedua keluarga berkumpul."Jadi, kalian akan bercerai? Tapi kenapa?" Tanya Reymand tidak mengerti.Keina hanya terdiam, selama ini Reymand selalu melihat Keina dan Alden sangat harmonis di hadapan mereka, keputusan yang Keina utarakan hari ini sepertinya cukup mengguncang perasaan pria paruh baya itu.Reymand menatap ke arah Handika lalu bertanya, "Handika, kau tahu soal ini?""Aku juga baru tahu beberapa hari yang lalu, aku juga sama bingungnya dengan kau." balas ayahnya dengan lemah."Sebenarnya ada apa ini? Kalian selalu terlihat harmonis, tapi kenapa ingin bercerai?" Tanya Herman kembali tidak habis pikir."Sudah tidak ada kecocokan lagi diantara kami. Kami selalu berusaha memperbaikinya, tapi sepertinya tidak mungkin lagi." Jawab Keina dengan tatapan yakin."Tidak ada kecocokan? Papa sungguh tidak mengerti, Sayang. Jika tidak cocok, bagaimana mungkin kalian bertahan selama setahun ini? Papa tidak setuju dengan perceraian ini. Kamu harus membujuk Keina kembali Alden!"Keina menghela nafas, sudah ia duga Reymand tidak akan dengan mudah menerimanya."Tunggu apa lagi? Segera memohon pada Keina untuk kembali padamu!" Perintah Reymand dengan kuat.Melihat Reymand yang bersikeras, Keina segera membuka mulut, "Karena Alden tidak pernah mencintai Keina, Pa." balas Keina dengan getir, "Dia mencintai orang lain, Pa. Untuk itu Keina akan membiarkan Alden untuk memilih sekarang. Papa dan Mama juga sebaiknya melepaskan Alden, biarkan dia memilih pasangan hidupnya sendiri."Reymand menatap ke arah Alden tidak percaya, "Apa itu benar? Jangan-jangan kau... Kau masih mengharapkan wanita rendahan itu?"Keina menatap ke arah Alden menunggu jawaban dari pria itu."Ya, itu benar."Balasan Alden yang membenarkan ucapannya membuat Keina kembali merasa sesak. Sebelah tangannya terkepal di samping tubuh saat merasakan perih yang kembali menusuk hatinya. Ia harus kuat, ia sudah memutuskan semua ini."Jika kau benar-benar ingin bercerai denganku, baiklah, kita bercerai."Nyes. Rasanya hatinya tengah dihimpit sesuatu saat ia mendengar hal itu. Ia menghela nafasnya panjang lalu dengan susah payah Keina mengulas sebuah senyuman di bibirnya. Selesai sudah, pernikahannya dengan Alden sekarang hanya sampai di batas ini.Keina mengulurkan sebelah tangannya ke arah Alden lalu berkata, "Terimakasih atas waktu yang sudah kita lalui selama ini."Tanpa berkata apapun lagi, Alden menerima uluran tangan itu.Keina kembali tersenyum tipis. Ini adalah kali terakhir ia bisa menyentuh tangan besar pria itu. Ini sudah benar-benar berakhir.****Setelah hampir satu bulan proses perceraian mereka, hari ini mereka akan duduk di sidang perceraian.Hati Keina kembali merasa sesak saat melihat sosok Shiren yang kini menemani Alden. Rupanya Shiren memilih kembali pada pria itu karena mereka akan bercerai. Ada rasa sakit yang ia rasakan, namun Keina tetap berusaha tegar. Ia mencoba mengabaikan pemandangan itu lalu pergi ke ruang sidang dengan langkah percaya diri. Ia tidak bisa mundur lagi.Perjalanan sidang berlangsung alot, hakim banyak bertanya mengenai keseriusan mereka untuk bercerai dan Keina tetap teguh memilih perceraian. Sementara Alden hanya mengikuti keinginan wanita itu."Baiklah, saudara tergugat..."Keina mengerjapkan matanya saat merasakan pening yang mendera kepalanya tiba-tiba saat mendengar putusan hakim. Suara-suara di sekitarnya seketika terasa kebas, pemandangannya mulai kabur dan terasa berputar-putar.Ada apa ini? Apa ia terlalu lelah mengurus perceraian mereka hingga merasakan sakit seperti ini? Keina mencoba fokus, namun kepalanya terasa sangat sakit.Tepat sebelum hakim selesai mengambil putusan, pemandangan Keina seketika menggelap. Untuk sedetik kemudian...Bruugh! Keina seketika ambruk di tengah-tengah jalannya sidang.Saat Keina tidak sadarkan diri di hadapannya, Alden teramat shock. Ia tertegun menatap wajah pucat Keina yang terbaring di ranjang rumah sakit. Ada perasaan bersalah yang menelusup hatinya saat melihat Keina seperti ini. Kenapa Keina sampai pingsan? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah dia sendiri yang menginginkan perceraian mereka, tapi kenapa Keina Nayara malah membuatnya cemas tepat sebelum perceraian mereka terjadi?"Bisa saya bicara sebentar dengan keluarga?"Alden yang tengah menatap ke arah Keina seketika mengalihkan pandangannya ke arah dokter yang sudah memeriksa Keina."Saya ayahnya, bagaimana keadaan anak saya, Dok?""Apa tidak ada suaminya? Saya harus bicara dengan suaminya."Semua orang di sana terlihat menatap ke arah Alden. Alden mengerjapkan matanya dengan bingung. Suami? Kenapa dokter Keina tiba-tiba membahas mengenai suami?"Ah, maaf dokter, tapi kenapa Anda menanyakan perihal suami anak saya?" Tanya Handika, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang teramat se
Meski Keina sudah bersikeras bahkan hampir memohon untuk ikut dengan orang tuanya saja, semua orang menentang keinginannya dengan keras. Tepat setelah ia dipulangkan dari rumah sakit, Keina tetap diserahkan kepada Alden dan memintanya kembali ke rumah tinggal mereka."Ingat Alden, jangan pernah menyakiti Keina dan jaga dia baik-baik. Keina sedang mengandung penerus perusahaan kita. Ingat, Papa akan selalu mengawasi kalian berdua,"Keina menghela nafasnya panjang mendengar banyak wejangan yang diperuntukkan oleh Alden dan juga dirinya dari orang tua mereka. Bahkan saat Keina hendak bangkit dan berjalan sendirian saat turun dari mobil setelah diantar oleh mertuanya, Reyman dan juga Audrey malah berteriak mengagetkan dirinya dan juga Alden."Apa yang kamu lakukan, Alden? Cepat papah istrimu ke dalam!"Keina terlihat melebarkan matanya saat Alden menarik tubuhnya lalu melingkarkan tangannya ke arah pinggang Keina sementara tangannya yang lain memeluk pundak Alden."Aku bisa jalan sendir
Pembohong.Keina tahu ia sudah menjadi pembohong ulung yang berbakat saat ini. Ia baik-baik saja saat ini dan menerima hubungan Sean dan Shiren itu semua bohong. Mana mungkin ia baik-baik saja saat melihat kontak Shiren Athalia di layar ponsel Alden? Saat ini ia merasa sesak, sangat sesak hingga Keina memilih menghindar.Bukannya ia tidak merasakan sakit lagi, bukannya ia sudah tidak memiliki perasaan apapun di hatinya, namun untuk mengulangi kembali perasaan cintanya yang selalu tidak berbalas, Keina tidak bernyali. Lebih baik seperti ini, lebih baik ia merasa sakit hingga semakin membenci pria di hadapannya dan membuat perasaannya hilang seluruhnya."Ya Shiren?"Keina memejamkan matanya saat mendengar suara Alden yang menyambut panggilan Shiren. Ini hanya sementara, rasa sakit ini hanya akan dirasakan sementara olehnya dan akhirnya Keina pasti tidak akan memperdulikannya lagi. Keina tersenyum miris lalu beranjak berjalan menuju kamar. Ia tidak akan mendengarkan keseluruhan percakapa
"Arghh!!!"Beberapa barang berserakan di bawah lantai di hadapan Shiren Athalia. Shiren menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan kasar, setelah melampiaskan amarahnya, ia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Sial, menyebalkan sekali! Padahal ia sudah merencanakannya sejauh ini, tapi lihat apa yang terjadi? Keina hamil katanya? Cih! Seorang pria tetap saja pria, padahal Alden bilang bahwa hanya dirinya yang ia cintai, tapi dia malah menyentuh perempuan sialan itu!Kata siapa ia merelakan Aldennya menikah dengan orang lain? Tidak, Shiren tidak pernah merelakannya. Ia menghilang dari hadapan Alden karena desakan orang tuanya yang memberikannya banyak uang, namun setelah uang itu habis, Shiren merasa hampa. Ia menginginkan Alden kembali, ia butuh sesuatu yang lebih dan ia pikir ia harus merebut Alden kembali dan menjadikan pria konglomerat itu menjadi miliknya lagi.Padahal Shiren sudah sejauh ini, padahal satu langkah lagi selesai Shiren bisa menjadi Nyonya Syarakar di kediaman mewa
Alden membuka jas bajunya lalu menekan leher Keina yang tengah muntah dengan hebat. Perasaannya menjadi semakin cemas saat melihat wajah Keina yang semakin pucat pasi."Kenapa kau masih ada di sini? Kau tidak pergi ke kantor?"Alden mendesah melihat Keina yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang dirinya yang belum pergi ke kantor."Bagaimana bisa aku pergi jika melihatmu kacau seperti ini? Aku tidak akan pergi."Baru saja ia membalas perkataan gadis itu, Keina kembali muntah. Dengan cekatan Alden kembali membantu wanita itu. Alih-alih merasa jijik, Alden merasa sangat iba melihat kondisi Keina yang seperti mabuk parah.Apa ini yang dinamakan morning sickness? Alden baru melihatnya secara langsung seperti ini. Melihat Keina yang kepayahan karena rasa mual yang dideritanya membuat Alden merasa sangat tidak tega."Ayo ku bantu,"Keina terlihat menolak bantuannya secara halus, "Aku bisa berjalan sendiri, tidak apa-apa."Alden hanya terdiam melihat kekeraskepalaan Keina. Dengan langkah
Akhirnya ia pergi sendirian untuk memeriksakan kandungannya. Keina menghela nafasnya saat mendapati tatapan para ibu hamil yang mengantri bersamanya ditemani suami mereka. Ia menggigit bibirnya melihat suami mereka memperhatikan istrinya dengan baik. Keina memejamkan matanya mengusir pemikiran buruk itu. Jangan iri, Keina Nayara, jangan iri pada mereka yang pernikahannya baik-baik saja dan normal seperti pada umumnya.Keina memilih mengambil salah satu majalah di tempat ruang tunggu. Sebaiknya ia berpura-pura membaca majalah saja daripada memikirkan hal yang tidak perlu."Bu Keina Nayara?"Keina seketika bangkit saat mendengar namanya dipanggil oleh perawat, "Iya? Saya Keina.""Mari Bu, ikut saya."Keina mengangguk lalu mengikuti langkah perawat yang membawanya ke arah ruang dokter."Silahkan masuk Bu,"Keina tersenyum dengan ramah lalu membuka pintu. Sepertinya dokter yang akan ia temui berbeda dari dokter yang kemarin."Selamat pagi Dokter, saya Keina Nayara.""Astaga, ternyata ini
Saat Keina masih di perjalanan, ponselnya seketika berdering. Keina mengambil ponselnya yang berada di tas tangannya, dengan cepat ia mengangkat panggilan itu saat mengetahui panggilan itu berasal dari Audrey, ibu mertuanya."Ya Ma?""Kamu dimana, Sayang?""Ah aku... Aku di rumah," kilah Keina enggan menjelaskan lebih lanjut. Ia tidak mau jika Audrey mengetahui bahwa ia pergi sendiri untuk memeriksakan kandungannya."Kamu yakin di rumah? Mama ada di rumah kalian dan kata asisten rumah tangga kalian kamu pergi ke dokter hari ini."Keina seketika tersentak, ia memijat kepalanya mendengar penuturan Audrey. Sial, kenapa Audrey harus datang sekarang di saat ia tidak ada di rumah?"Nanti Keina jelaskan Ma, sebentar lagi Keina sampai."Ia segera turun dari mobil yang dinaikinya setelah sampai lalu bergegas masuk ke dalam.Bi Ningsih, asisten rumah tangganya terlihat bergegas menghampirinya lalu membawakan barang bawaan yang ia bawa."Sejak kapan Mama datang?""Baru saja Non, maaf Non Ibu tad
Alden terlihat berpandangan dengan Keina mendengar hal ini. Ia tersenyum dengan canggung tidak menyangka jika Audrey berkata akan menginap di tempat mereka."Kenapa Mama tiba-tiba ingin menginap? Bagaimana dengan Papa?" Tanya Alden dengan gugup."Kenapa mengkhawatirkan ayahmu? Mama hanya menginap semalam disini,""Tapi Ma, Alden tidak enak dengan Papa."Audrey terlihat berdecak mendengar ucapan Alden, ia mengambil ponselnya lalu mulai mengetik kontak suaminya."Hallo Pa, Mama ingin menginap di tempat Alden dan Keina hari ini, apa tidak apa-apa? Hanya semalam, besok Mama akan langsung pulang. Tidak apa-apa kan Pa?""Tidak masalah Ma, kamu jaga anak-anak,"Klik. Audrey mematikan panggilan teleponnya lalu menatap Alden penuh kemenangan, "Bagaimana? Sekarang Mama boleh menginap?"Alden menghela nafasnya dengan kasar. Tamat sudah! Sekarang mereka tidak dapat mengelak lagi.Audrey terlihat menatap keduanya dengan tatapan menyelidik, "Sebenarnya kenapa kalian bersikeras tidak ingin Mama meng