Share

BAB 1 : Kain Songket

“Bunga di halaman depan udah disiram, Dek?” tanya Eva—sang ibu yang sedang memotong sayuran di dapur.

“Udah, kok.” Tara membuka kulkas, lalu menghirup udara di dalamnya yang wangi buah-buahan. Kebiasaannya jika sedang kepanasan. “Yang pot deket jendela itu kayaknya harus diganti deh, Bu, tadi Tara lihat udah retak gitu.”

“Ya udah, nanti ibu mampir beli pot besok.”

Tara tak menyahut lagi, ia menuangkan air es ke dalam gelas di atas meja, lalu meneguknya.

“Oh iya, Dek, tadi papa telepon, kamu mau berangkat ke Makassar kapan emang?” Eva melirik anaknya yang kini malah mengerutkan alisnya bingung.

“Lho, bukannya Dio ya yang mau ke sana?” Kini Tara bergabung bersama Eva di meja makan.

“Dio kan udah kelas sembilan, sibuk bimbel. Kamu aja yang ke sana.”

“Tara gak mau.” Selama ini ia tak pernah berjauhan dengan ibunya kecuali untuk acara sekolah. “Lagian, kenapa nggak papa aja yang samperin kita? Makassar kan jauh, Bu. Luar pulau.”

“Terakhir kalian telepon itu bukannya udah sepakat ya mau liburan bareng papa? Terus katanya kan harus ada yang tinggal sama papa juga di sana.” Eva melirik wajah anak sulungnya yang kini mendung.

“Kenapa harus ada yang tinggal sama papa di sana?”

“Gimana pun juga, papa pengin tinggal sama anak-anaknya.”

Terus kenapa malah pergi jauh? ucap batinnya. “Kita udah lama banget nggak ketemu papa, lho, Bu. Nggak kebayang deh gimana canggungnya, apalagi ada tante Gita. Selama ini kita cuma kenalan virtual,” jelas Tara.

Eva tersenyum lembut pada putri sulungnya. “Ibu selalu dukung apapun yang kalian suka. Termasuk tinggal sama papa. Dicoba dulu ketemu, perkenalan, kalau merasa nyaman ya... kenapa nggak?”

“Tapi kan...” Tara menghela napas.

“Katanya, Dio pengin SMA di sini. Dia udah ada sekolah incaran.”

Meskipun orangtua Tara sudah tidak tinggal bersama, tapi hubungan keduanya masih sangat baik. Mereka saling berkomunikasi mengenai perkembangan kedua anaknya yang beranjak remaja agar keluarga tetap harmonis. Namun, untuk tinggal bersama di lingkungan baru dengan orang-orang baru pula, rasanya Tara belum bisa.

“Nanti diobrolin lagi aja, ya,” ucap Eva.

Tara tidak kembali ke kamarnya seperti niat awalnya setelah menyiram tanaman, melainkan menghampiri adiknya di kamar yang berhadapan dengan kamar miliknya. Dengan sedikit kasar, ia membuka pintu bercat hitam itu. “Lo apa-apaan, sih, Di? Kalau emang gak mau datang, jangan batalin tiba-tiba, dong!” serunya.

Dio membagi fokusnya antara game di ponsel dan menatap kakaknya heran. “Apanya?”

“Lo yang bilang setuju tinggal sama papa dan bakal masuk SMA di sana, kenapa sekarang malah berubah pikiran?”

“Suka-suka guelah.” Dio membalikan tubuhnya membelakangi Tara, seolah tak mau membahas masalah ini dengannya.

Tara berdecak sebal melihat respon adiknya. “Pokoknya, kalaupun lo gak mau tinggal sama papa, gue gak mau tinggal sama papa gantiin lo.”

“Ya udah, sih, terserah. Ribet banget lo,” ujar Dio.

Tara menahan diri untuk tidak meledak. Ia memilih meninggalkan Dio ketimbang harus berdebat dengan lelaki itu dan mendapat respon tak mengenakan. Dio dengan segala tingkah menyebalkannya selalu membuat Tara kesal. Kata orang, lebih baik memiliki adik yang umurnya terpaut jauh ketimbang berdekatan seperti ini, karena akan saling mudah tersulut emosi. Dan benar, mereka tak segan saling melempar kalimat kasar dan bertengkar berhari-hari.

Tepat saat dirinya keluar dari sana, Eva menghampirinya dari arah ruang tamu dengan paperbag putih di tangannya. “Dari Sarah, Dek.”

“Makasih, Bu.” Tara mengambil alih paperbag itu, kemudian melihat isinya sekilas.

“Songket punya kamu?”

“Bukan.” Ia menggeleng samar. “Maminya Raka nitip. Gara-gara lihat Tara pakai songket pas kartinian waktu itu,” jelasnya tanpa diminta.

Eva duduk di sofa ruang TV, diikuti Tara yang juga duduk di sebelahnya. “Itu kan udah lama banget,” gumamnya.

Saat itu, sepulang acara hari Kartini di sekolah, Raka mengajaknya ke rumah lelaki itu karena maminya mengadakan acara makan-makan dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-17. Tara pikir toh tidak masalah memakai songket, mengingat keluarga Raka hanya terdiri dari mami, papi dan satu adiknya yang masih balita. Mereka pun sudah sering bertemu guna mengasah otak Raka yang kerap kali mendapat nilai di bawah KKM di hasil ujiannya.

Namun, siapa sangka, Kiera yang super heboh, menyambutnya kelewat senang di depan pintu, dan pandangannya gagal fokus pada songket yang dipakai Tara selama acara berlangsung. Bahkan ketika Raka mengantarnya pulang dan ia baru menapaki kakinya di depan pintu, Kiera meneleponnya dan bertanya designer mana yang menjahitnya. Tante rempong itu naksir berat!

Tara tidak tahu, tawarannya untuk memesankan songket pada Sarah akan memakan waktu lama. Sampai di hari berakhirnya hubungan mereka pun, mbak-mbak yang baru saja lulus S1 tata busana itu tak kunjung mengabarinya perihal kain pesanannya. Tara bahkan sempat melupakan hal itu kalau saja minggu lalu Sarah tidak mengabari beserta permohonan maafnya lewat email atas keterlambatannya. Beruntungnya, Kiera senantiasa bersabar dan masih mau membayar kain itu.

“Mau dianterin ke rumah Raka?”

“Hah?”

Eva menunjuk paperbag yang masih dipegang Tara. 

“Raka aja yang ke sini.” Tara memasuki kamarnya, lalu segera mengetikan pesan pada Raka di ponselnya. 

Tara Givanka : Songket udah dateng. 

Raka Tasena : OK.

Tara Givanka : Ambil sini.

Raka Tasena : Katanya lo yang anter?

Tara Givanka : Males.

Raka Tasena : Hm... ini modus lo biar ada yang apel malem minggu kan?

Sekilas, ia menggulir layar ponselnya untuk melihat tanggal, benar, ini malam minggu. Tapi bahkan Tara tidak ingat ini hari apa.

Tara Givanka : Njs.

Raka Tasena : Gak nyangka gue sama lo, Tar. Masih ngarep aja, wkwkwk.

Tara Givanka : Ynj.

Raka Tasena : HAH? IYA-IN AJA? BENERAN DONG? HAHAHA.

Raka Tasena : Tungguin ya, jangan ke mana-mana. Aku juga kangen sama kamu.

[].

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status