Raka tertawa geli melihat balasan usilnya yang hanya dibaca oleh Tara. Ia pastikan, perempuan itu sedang menggerutu di sana, mengatakan modusnya sudah tertinggal zaman atau gombalannya yang sudah tidak lagi mempan. Yang paling brengseknya, Tara langsung mengernyit jijik ketika Raka melancarkan aksi gombalnya. Sungguh mantan yang kejam.
“Senyam-senyum aja lo, gue perhatiin dari tadi. Kesambet setan gor baru tahu rasa!” seru Jaffar yang menghampirinya dengan raket di tangannya.
Nando dan Tian mengekor di belakang, kemudian duduk di tribun bawah sembari mengusap handuk kecil ke wajahnya yang berkeringat.
“Gue, sih, curiganya Raka lagi ngebucin sama pacar barunya,” ujar Nando.
“Nggak salah lagi, pasti dapet foto gunung kembar dia!” seru Tian yang langsung dihadiahi lemparan botol kosong dan handuk basah oleh ketiga temannya.
“Bego sampe ke urat!” Raka memukul kepala temannya menggunakan raket miliknya yang langsung mendapat umpatan dari Tian.
Nando menggeleng. “Udah tahu Raka orangnya cupu, pegangin tangan Kaila aja udah alhamdulillah dia!”
“Kalau sampai dapet foto gunung kembar, digaplok bolak-balik mukanya!” seru Jaffar yang langsung disambut tawa oleh yang lainnya.
“Tolol, tolol, tolol!” Raka menoyor kepala ketiganya bergantian. “Ini otak harus di laundry biar suci tanpa dosa. Isinya maksiat semua ini, mah. Kacau banget.” Jelas Raka tak terima dituduh seperti itu.
“Abis main sama Tara otaknya di laundry tiap minggu, sekarang sama kaila main kotor-kotoran gak?” tanya Tian dengan seringai jahilnya.
“Eh, dibilangin langsung digaplok! Itu kepala bisa-bisa dimasukin ke sepiteng sekolahan!” ujar Jaffar.
“Coba sini mulutnya, gue aduin biar makin berkah kalau ngomong!” Raka bergerak mendekati Jaffar dan Tian yang ada di sisi kanan kiri tubuhnya, lalu menyatukan dahi keduanya yang tadi tertawa keras. Mereka meringis, kemudian mengumpat bersamaan.
“Anjing, Ka, kalau sampai ini bibir nggak perawan lagi, gue patahin batang leher lo,” umpat Tian.
“Gue juga gak sudi tabrakan sama mulut simpanse kayak lo!” sahut Jaffar sembari mengusap dahinya.
Nando dan Raka terbahak mendengarnya.
Sebagai yang paling waras di antara teman-temannya, jelas Nando hanya geleng-geleng kepala dan ikut tertawa menyimak. “Kalau ngomong nggak pernah bener!”
Sebelum Tian maupun Jaffar hendak menyahuti, ponsel Raka berdering. Lelaki itu memberi isyarat pada mereka agar tidak bersuara sedikit pun. “Halo, sayang?”
Mendengar sapaan menjijikan itu membuat ketiganya kompak menutup mulut seakan ingin muntah detik itu juga.
“Nanti malam jadi nonton ‘kan?”
“Yah, sorry, Kai, nanti malam mau main badminton sama anak-anak.”
“Lho, sekarang kan kita lagi—” suara Nando terpotong oleh tangan Raka yang menutup mulutnya. Lelaki yang sedang dimabuk cinta itu mengatakan ‘bacot’ tanpan suara.
“Besok aja gimana?”
“Besok kan aku ke salon. Warna rambutnya mau diganti. Hari senin kan udah masuk sekolah lagi.”
Raka teringat rambut Kaila yang dicat biru terang di beberapa bagian, entah apa modelnya, ia tak paham.
“Gimana, ya...” Raka menatap teman-temannya meminta jawaban yang tepat, namun, mereka seolah tak peduli. Jaffar meneguk botol minumnya, sementara Nando memainkan ponselnya.
“Gimana?”
Tian menyugar rambutnya yang menjutai ke dahi, mulai tak peduli dengan obrolan Raka dengan pacarnya.
“Aku mau nemenin Tian potong rambut.”
“Katanya tadi mau main badminton?”
“Iya, abis badminton dia minta ditemenin potong rambut. Besok aja ya sekalian nyalon.” Raka menjauhkan ponselnya. “Apa, Mi? Oh, iya-iya! Kai, udah dulu ya, aku disuruh jagain Arlan. Bye!” Ia mematikan sambungan telepon sepihak.
“Baru jadian sebulan aja udah berapa kali nih lo bohong. Dasar penipu ulung,” cibir Jaffar.
“Mana bawa-bawa nama gue segala lagi. Dosanya lo yang tanggung, ya!” Tian menggeleng pelan.
Raka tak merespon cibiran temannya.
“Emang mau ke mana lo nanti malem?” tanya Nando.
“Ke rumah Tara.”
Jawaban lempeng itu membuat yang lainnya berdecak. Jaffar sudah memiliki ancang-ancang akan menyabet bokong Raka kalau saja Nando tidak menahannya. “Belom beres juga lo sama Tara?” tanyanya.
“Emang kapan, sih, mereka pernah beres?” Nando bertanya balik.
Raka mendengkus kasar. “Dibilangin otaknya cuci dulu. Gue mau ambil songket pesanan mami di temennya Tara.”
“Berak sekebon! Ke rumah Tara-nya pasti bawa donat, tuh!” Seru Tian. “Gue juga heran lagi sama Tara, mau-mau aja dulu jadian sama lidah buaya macem lo.”
“Tara juga tahu kali, lidah buaya banyak manfaatnya. Jadi ojek bisa, Go-food bisa, jongos bisa, tempat marah-marah juga bisa!” sahut Raka. “Lagian, menjalin silaturahim sama mantan itu bagus, sambil melepas rindu!”
“Makan nih, berak gue! Tai kambing lo!” Tian berseru tak senang. Bukan hal yang aneh karena sedari masa orientasi tahun lalu, Tian memang naksir berat pada Tara, yang sayangnya, perempuan itu malah mermbalas perasaan Raka yang dan mereka jadian. Nasib tampang remedial.
[]
Setelah pagi tadi bertengkar masalah papa dan Makassar, sorenya, Tara dan Dio terlihat akur meskipun keduanya tidak melakukan interaksi apapun selain duduk bersebelahan, menonton acara TV kesukaan mereka tiap Sabtu sembari menikmati kue kering buatan Eva.
Sesaat, Tara melirik ibunya yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rapi, sebelum tatapannya kembali pada TV. “Mau ke mana, Bu?”
Eva melirik sekilas, lalu mematut diri di cermin di sebelah lemari TV. “Temen kantor ada yang nikahan. Kamu sama Dio jaga rumah, ya.”
“Sama om Arsen?”
Eva mengangguk. “Nanti mau dibeliin apa?” Ia memang sering pergi dengan Arsen, dan pulang membawa makanan yang kedua anaknya inginkan.
“Richeese aja.” Suara Dio terdengar untuk pertama kalinya.
“Tara juga.”
“Oke, ibu berangkat ya. Jangan berantem,” katanya sembari berjalan ke arah ruang tamu.
Setelah suara klakson terdengar dari luar, Dio bergegas ke ruang tamu, mengintip di balik gorden, ibunya dan Arsen baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Ia kembali bergabung bersama kakaknya yang kini tengah menatapnya.
“Gue gak suka mereka sering pergi,” aku Tara.
Dio mengangguk.
“Menurut lo, ibu bakal serius?”
“Belum tahu.” Selama ini Arsen memang bersikap baik padanya, tapi yang ada maunya memang sering begitu kan? “Lo setuju ibu nikah lagi?”
Dengan cepat Tara menggeleng. “Gue udah nyaman sama kondisi kita sekarang. Kalau lo gimana?”
“Gue?” Dio menatap lurus layar TV, namun jelas pikirannya bukan ke sana. Memikirkan apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba om-om kaya raya itu melamar ibunya.
Suara dering ponsel milik Tara membuyarkan keheningan mereka. Dio meliriknya sekilas, membuat Tara akhirnya mengangkat telepon.
“Tar, gue di depan, bukain pintu.” Suara itu lebih dulu terdengar.
Raka sudah duduk di kursi teras sembari memainkan ponselnya saat Tara menghampirinya. Perempuan itu duduk di kursi di sebelah Raka yang terhalang meja bundar, lalu menyimpan paperbag tadi pagi di atas meja bersamaan tatapannya tertuju pada sekotak donat yang sudah mengisi meja lebih dulu. “Lo mau ngapel?”
Sebenarnya, Raka tidak berniat membelikan donat untuk Tara, tapi perkataan Tian pagi tadi tidak salah juga. “Gue tahu, semenjak putus lo biasa nyemilin batu apung, makanya gue bawain donat biar lo gak bosan.”
“Sembarangan lo!” Tara memukul bahu lelaki usil itu dengan kencang.
Raka meringis karena pukulan itu bukan main sakitnya. “Tuh, kan! Udah gabungnya sama Karina, ditambah gara-gara nyemilin batu apung, makanya tenaga lo jadi badak gini. Bar-bar!”
“Gue gak bar-bar!”
“Udah, makan aja, sana. Mulut lo gatel banget itu gak tahan kangen makan donat dari gue,” candanya dengan alis yang dinaik-turunkan.
Tara menatap lelaki itu dengan serius. “Tapi lo gak perlu bawain donat kalau mau ke sini.”
“Gue pengin bawa.”
“Seharusnya gak perlu.”
“Gak pa-pa, Tar.”
Mendapati jawaban Raka yang kelewat santai membuat Tara mendengkus. Apa saat mereka pacaran dulu, Raka juga melakukan hal yang sama pada perempuan lain tanpa sepengetahuannya?
“Gue gak enak sama pacar lo.”
“Kaila gak mempermasalahkan kok.”
Helaan napas kasar keluar darinya. “Kedunguan lo jangan dibiarin menjalar sampai pankreas, dong. Gak ada cewek yang gak mempermasalakan pacarnya malam-malam antar makanan buat cewek lain. Terlebih lagi, gue mantan lo.”
[].
Raka Tasena : Tar :(Tara Givanka : Ya?Raka Tasena : Kangen sama lo.Tara Givanka : Gak usah lebay. Lo baru aja nganter gue pulang tiga hari lalu.Raka Tasena : Hhh.Tara Givanka : Ketawa?Raka Tasena : Menghela napas pasrah.[]Raka Tasena : Tar, Tar, masa tadi ada senior jurusan gue nanya sebenernya gue jomlo apa nggak.Tara Givanka : Hm, trs?Raka Tasena : Gue bilang jomlo, soalnya belom bisa ngajak balikan mantan gue.Tara Givanka : Azraka...Raka Tasena : Gue bener kan?[]Raka Tasena : Tar, i can't sleep :(Tara Givanka : Kenapa?Raka Tasena : Kepikiran sesuatu.Tara Givanka : Hal yang penting?Raka Tasena : Maybe.Raka Tasena : Gue cuma mikir random aja, sih.Tara Givanka : Di Melbourne udah tengah malam, Ka. Besok Lo harus masuk pagi.Raka Tasena : Mau video call.Tara Givanka : Boleh."Tar, i miss Indonesia.""Lagi ada yang nyebelin, ya?""Ya, gitu, deh. Males. Gue juga akhir-akhir ini begadang terus bikin maket. Udah kebiasaan gak tidur kali, ya?""Minum susu coba.""Mau pu
[Sambel Ijo]Raka Tasena : Mau ke nikahan Sesha sama siapa?Septi_an : Sama lo. AH Jaffar : ^2 Raka Tasena : Serius, nyet.Septi_an : Emang mau sama siapa sih lo? Kita nih jomlo, ya! Jelas kita datang kek teletubis berempat!Arnando Kusuma : Gue sama Karina. AH Jaffar : LAH?! SUKSES, BRO??Arnando Kusuma : Y.Septi_an : Oh, selama ini capernya sama Karina. AH Jaffar : LO TAU GAK SIH, NI BOCAH GEMES BGT SAMA KARINA YANG POLOS T_TSepti_an : Gue akui nyali lo oke juga, Ndo. Septi_an : KARINA BROW, PAWANGNYA TARA.Arnando Kusuma : Gue nggak cupu kayak sebelah. Septi_an : Buka jasa free tag @Raka Tasena Raka Tasena : Gue mau ngajak Tara. AH Jaffar : HAHAHAHAHALU.Raka Tasena : Gue ketemu Tara. Septi_an : Afh iyh, fren? Raka Tasena : Gue serius.Arnando Kusuma : WAH.AH Jaffar : Jadi besok gue sama Tian jadi pasangan homo dulu? Septi_an : NAJIS.Septi_an : Frustasi boleh ya ditinggal Sesh
Desember akhir memang selalu disuguhkan hujan yang membuat siapapun yang beraktivitas di luar ruang ingin cepat-cepat pulang. Duduk menghadap jendela ditemani mie rebus lengkap dengan telur di atasnya dan secangkir teh hangat. Itu pun yang ada di pikiran Tara.Baru pukul dua siang, tapi Tara sangat enggan berlama-lama di luar rumah. Ia memasuki kedai roti dengan tergesa untuk menghindari derasnya hujan yang sudah membuat bajunya setengah basah. Suara lonceng berbunyi bertepatan dengan aroma adonan roti, kopi, dan moka menusuk penciumannya.“Selamat siang, selamat datang di Taraka’s Bakery!” seru seorang pelayan di kasir.Tara tersenyum simpul. Di sini hanya ada dua remaja berseragam SMA yang sedang menikmati cake di dekat jendela, dan satu wanita tua yang sedang berdiri di kasir. Ia berjalan ke arah rak donat yang berjajar dengan banyak varian rasa yang menggugah selera, seolah siap untuk dibawa pulang.Tempat ini sangat strategis dari segi mana pun sehingga pengunjungnya akan berdat
Nando duduk selonjoran di sisi lapangan bersama Tian dan Jaffar setelah latihan dibubarkan. Mereka ada pertandingan bulu tangkis dalam waktu dekat, maka di saat yang lainnya sibuk di dalam kelas, mereka justru di lapangan mengasah skill—setelah mendapat surat dispensasi dari guru piket—karena pertandingan sudah di depan mata.Raka baru saja kembali dari kantin dengan membawa beberapa botol air mineral dan camilan di kantung plastik. Ia ikut bergabung dengan teman-temannya menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon cokelat.Sebulan telah berlalu. Di saat yang lainnya beraktivitas seperti biasanya, Raka justru lebih sering sendirian. Ia tidak lagi diam-diam melirik kelas sebelas IPS satu saat melewatinya, datang ke sana dengan dalih menyapa Kaila padahal ekor mata meilirik satu meja yang biasanya diisi oleh Tara. Terdengar brengsek memang. Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tahu keadaan Tara dulu.Beberapa kali Raka mencoba menghubungi Tara kembali namun hasilnya nihil. Akun Li
Pagi ini mereka sudah di bandara; Arsen, Eva, Kaila, Tara dan Dio. Setelah semalam makan malam bersama untuk terakhir kalinya, mereka menghabiskan malam yang panjang bersama di ruang TV dengan beberapa percakapan ringan. Tara akan merindukan hal itu.Eva menatap anak pertamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak menduga sebelumnya kalau hari ini akan tiba dengan cepat. “Hati-hati ya, Dek. Kalau udah landing langsung kabarin kita.”“Iya, Bu.” Tara mengangguk menahan perasaan sesak.“Jaga diri ya, Tar. Kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungi kami,” ucap Arsen seraya megusap kepala anak tirinya.“Makasih, Pa.” Ia beralih menatap Kaila yang sudah menangis. “Kai,”Kaila langsung memeluknya. “Harus sering-sering pulang. Jangan marah kalau nanti gue sering telepon, jangan simpan semuanya sendirian.”Tara balas memeluk. “Nggak akan. Gue pasti selalu ngabarin.”Kemudian, Tara beralih pada adiknya yang lebih banyak diam. Dio tidak bisa ikut ke Makasssar karena besok ada try out untuk kelas s
Pagi ini Tara dan Kaila berangkat sekolah bersama. Mereka melambaikan tangan pada Dio yang menatap keduanya dengan malas. Semalam mereka menyelesaikan lego yang dibeli Dio, dua lawan satu. Jelas saja Dio kalah. Dan hukumannya Dio terpaksa harus berangkat sekolah dengan rambut berantakan yang sudah ditata oleh Kaila.Mereka tertawa melihat wajah masam Dio. “Lo kok bisa kepikiran ke sana, Kai?” tanya Tara.“Selama ini kan gue lihat rambutnya rapih terus, Tar. Good boy banget anaknya. Perlu gue modif biar kelihatan lebih laki,” kekeh Kaila.Tara pikir Dio akan menolak dan marah, namun, lelaki itu tetap menurut meskipun rautnya tidak bisa berbohon kalau ia tidak nyaman dengan itu.Mereka berpapasan dengan Kanaya yang juga akan masuk ke kelas. “Hai, Tar!” sapanya.“Hai, Nay,” balasnya.Kanaya beralih menatap Kaila. “Udah sembuh, Kai?” Kaila mengangguk.“Nanti makan siang bareng kayak biasa, ya?” ajak Kanaya.Tara mengangguk.“Gue b