Share

Gagal Move On!
Gagal Move On!
Penulis: donatlumer

Prolog

Lagu All I Ask milik Adele seharusnya mengalun indah pagi ini. Tapi karena ini hari libur, dengan rasa malas yang menggunung Tara meraih ponselnya yang semalam ia simpan di meja kecil di ujung tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Ia berdecak malas membaca nama si penelepon.

Raka Tasena is calling...

“Halo?”

“Gue di depan rumah lo.”

“Hah?” Mendadak telinganya terasa tuli.

“Cepetan keluar!"

Tara menyibak gorden kamar, di depan pagar rumahnya, Raka dengan kaos santai dan jins dongker selututnya sudah nangkring di atas motor dengan tatapan tertuju padanya. “Lo gila apa ya?!”

“Apaan, sih? Cepet keluar dah, lo!”

Perempuan itu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Pagi-pagi buta sudah dibangunkan oleh mantan, apalagi yang kurang sial? Tara membuka pintu gerbang rumahnya, membiarkan Raka memasukan motornya ke carport, kemudian kembali duduk di atas jok motornya.

“Lo ngapain, sih?” tanya Tara yang kesal waktu tidurnya dipotong. Waktu baru menunjukan pukul delapan pagi. Iya, bukan lagi pagi buta. Tapi ini kan hari libur. Seharusnya Raka cukup tahu diri untuk tidak menganggunya.

“Tante Eva mana?” tanya Raka sambil melirik ke dalam rumah.

Tara menatapnya malas. “Gak ada. Mau ngapain?”

“Mau ambil songket titipan mami di rumah mbak Sarah.”

“Kayaknya gue bilang dianterin nanti, deh,” gumamnya.

“Suka-suka guelah. Gue maunya sekarang. Gitu aja repot lo.”

Dengkusan kasar keluar dari Tara. “Apa kata lo? Suka-suka lo? Sinting! Lo udah ganggu waktu tidur gue!”

Raka terkekeh melihat perempuan itu menggerutu, ia menyentuh dahi Tara.

“Stres lo, ya, pagi-pagi udah emosi.”

“Apaan, sih!” Tara menepis tangan Raka dengan kasar.

“Sensitif banget, deh.” Ia mengangkat bahu tak acuh. “Ya udah, ayo ambil songketnya.”

Tara menghela napas kasar. “Tunggu di sini, lima belas menit lagi gue keluar.”

“Ngapain?”

“Gue pikir lo cukup waras dengan bawa gue weekend gini pakai piyama,” dengkus Tara tak tertahan.

Tatapan lelaki itu akhirnya jatuh pada penampilan Tara yang masih mengenakan pakaian tidur bergambar donat berbagai varian rasa, belum lagi rambut sebahunya yang awut-awutan. Lucu. Kalau mereka masih pacaran, ia yakin Tara butuh waktu bermenit-menit lamanya untuk menemuinya pagi ini.

Sebelum Raka kembali bersuara, Tara lebih dulu berlari ke dalam rumah. Lima belas menit kemudian Tara keluar dengan penampilan berbeda. Piyama kebesarannya telah berganti dengan kaos putih oversize bertuliskan ‘i donut care’ di bagian dada, dipadukan dengan jins biru muda serta sneakers putih. Sembari berjalan ke carport, ia mengikat rambut sebahunya dengan asal.

“Ayo!” ajaknya.

Raka yang sedari tadi memerhatikannya, berkedip sesaat. “Tar.”

Tara berhenti berjalan. “Apalagi?”

“Gak ada bedanya belum mandi sama sekarang.”

“Sialan! Sini, lo!” katanya memberi ancang-ancang untuk memukul kepala lelaki itu. Ia langsung mengamuk meskipun 'tidak ada bedanya' yang dimaksud Raka itu tetap cantik atau tetap jelek.

Namanya juga Raka, tidak bisa jika tidak membuat Tara kesal. Sesampainya di rumah Sarah—designer baru kenalan keluarga Tara—pekerja di rumah itu mengatakan bahwa sang tuan rumah sedang ada seminar di Bandung selama dua hari dan akan kembali besok lusa.

Tara menghampiri Raka yang sibuk memainkan ponselnya. Dengan wajah tidak bersahabat, ia berseru, “Gue bilang juga dianterin nanti! Susah banget, sih, dibilanginnya.”

“Kenapa, sih? Songketnya mana?” tanya-nya melihat Tara kembali dengan tangan kosong. Ia kembali menyalakan mesin motornya.

“Orangnya lagi gak ada. Gue juga udah infoin kemarin kok. Baca chat, deh, kebiasaan!” omelnya sembari menaiki motor itu.

“Ya udah, sih, maaf.” Ia membuka ruang obrolan mereka, dan benar. Tara tidak pernah salah.

“Lain kali jangan ngeyel, deh!” sungutnya.

“Iya, iya. Bawel amat. Gue kan udah minta maaf.” Raka ikut sewot. Ia mulai melajukan motonya kembali.

Tara memilih tak menanggapi, ia melihat arah yang diambil lelaki itu. “Ini mau ke mana, sih? Arah rumah gue kelewat!”

“Puter balik.”

“Apa-apaan puter balik segala, lo kira rumah gue di mana?” cibirnya.

Raka meliriknya sekilas melalui spion, dengan iseng ia menambah kecepatan laju motornya, membuat Tara reflek menjerit takut.

“Gila lo, ya! Mati gak usah ngajak-ngajak gue.”

“Makanya pegangan dulu!”

“Dih!” Tara mendelik protes, tapi tak urung ia memegang kedua bahu Raka.

“Lo pikir gue tukang ojek? Di pingganglah!”

“Apaan, sih, najis lo!” Tara bergidik geli.

“Halah, najis-najis gini juga pernah lo panggil sayang. Inget gak, lo chat gue malem-malem, ‘sayang, kayaknya enak deh makan seblak malem-malem. Kata Karina, yang di perempatan deket sekolah seblaknya enak.’ Gue jabanin, Tar! Gak peduli tuh waktu itu lagi musim begal juga, mana ujan rintik-rintik lagi,” cerocos Raka.

“Gue gak bilang gitu, ya!”

“Sama ajalah intinya.”

“Bedalah! Itu namanya lo melebih-lebihkan!”

Raka berdecak. “Masih untung gue gak kenapa-kenapa. Masih bisa, nih, semotor sama lo sekarang,” gerutunya.

“Berisik. Gue gak open curhat.”

“Tai.”

“Ih, Raka! Kapan puter baliknya ini? Kenapa jalan terus? Gue mau pulang!”

“Penumpang diem aja, nggak usah banyak minta,” katanya. “Gue jual juga deh ke toko jam.”

“Dih, ngapain lo ngejual gue ke toko jam?”

“Biar lo ada kerjaan.”

“Garing.”

“Nggak ada ujan ngapain basah-basahan?”

“Ah, Raka, bisa nggak jangan main-main sama gue? Kapan lo putar baliknya, sih?! Gue nggak bego, ya!” kesal Tara.

“Ya udah.”

“Apaan?” Tara mencondongkan wajahnya ke depan karena suara Raka teredam oleh bisingnya kendaraan lain.

“Lo nggak mau main-main ‘kan? Mau yang serius aja?”

 [].

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurkhuzaeni Azis
Keren nih...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status