Lagu All I Ask milik Adele seharusnya mengalun indah pagi ini. Tapi karena ini hari libur, dengan rasa malas yang menggunung Tara meraih ponselnya yang semalam ia simpan di meja kecil di ujung tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Ia berdecak malas membaca nama si penelepon.
Raka Tasena is calling...
“Halo?”
“Gue di depan rumah lo.”
“Hah?” Mendadak telinganya terasa tuli.
“Cepetan keluar!"
Tara menyibak gorden kamar, di depan pagar rumahnya, Raka dengan kaos santai dan jins dongker selututnya sudah nangkring di atas motor dengan tatapan tertuju padanya. “Lo gila apa ya?!”
“Apaan, sih? Cepet keluar dah, lo!”
Perempuan itu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Pagi-pagi buta sudah dibangunkan oleh mantan, apalagi yang kurang sial? Tara membuka pintu gerbang rumahnya, membiarkan Raka memasukan motornya ke carport, kemudian kembali duduk di atas jok motornya.
“Lo ngapain, sih?” tanya Tara yang kesal waktu tidurnya dipotong. Waktu baru menunjukan pukul delapan pagi. Iya, bukan lagi pagi buta. Tapi ini kan hari libur. Seharusnya Raka cukup tahu diri untuk tidak menganggunya.
“Tante Eva mana?” tanya Raka sambil melirik ke dalam rumah.
Tara menatapnya malas. “Gak ada. Mau ngapain?”
“Mau ambil songket titipan mami di rumah mbak Sarah.”
“Kayaknya gue bilang dianterin nanti, deh,” gumamnya.
“Suka-suka guelah. Gue maunya sekarang. Gitu aja repot lo.”
Dengkusan kasar keluar dari Tara. “Apa kata lo? Suka-suka lo? Sinting! Lo udah ganggu waktu tidur gue!”
Raka terkekeh melihat perempuan itu menggerutu, ia menyentuh dahi Tara.
“Stres lo, ya, pagi-pagi udah emosi.”
“Apaan, sih!” Tara menepis tangan Raka dengan kasar.
“Sensitif banget, deh.” Ia mengangkat bahu tak acuh. “Ya udah, ayo ambil songketnya.”
Tara menghela napas kasar. “Tunggu di sini, lima belas menit lagi gue keluar.”
“Ngapain?”
“Gue pikir lo cukup waras dengan bawa gue weekend gini pakai piyama,” dengkus Tara tak tertahan.
Tatapan lelaki itu akhirnya jatuh pada penampilan Tara yang masih mengenakan pakaian tidur bergambar donat berbagai varian rasa, belum lagi rambut sebahunya yang awut-awutan. Lucu. Kalau mereka masih pacaran, ia yakin Tara butuh waktu bermenit-menit lamanya untuk menemuinya pagi ini.
Sebelum Raka kembali bersuara, Tara lebih dulu berlari ke dalam rumah. Lima belas menit kemudian Tara keluar dengan penampilan berbeda. Piyama kebesarannya telah berganti dengan kaos putih oversize bertuliskan ‘i donut care’ di bagian dada, dipadukan dengan jins biru muda serta sneakers putih. Sembari berjalan ke carport, ia mengikat rambut sebahunya dengan asal.
“Ayo!” ajaknya.
Raka yang sedari tadi memerhatikannya, berkedip sesaat. “Tar.”
Tara berhenti berjalan. “Apalagi?”
“Gak ada bedanya belum mandi sama sekarang.”
“Sialan! Sini, lo!” katanya memberi ancang-ancang untuk memukul kepala lelaki itu. Ia langsung mengamuk meskipun 'tidak ada bedanya' yang dimaksud Raka itu tetap cantik atau tetap jelek.
Namanya juga Raka, tidak bisa jika tidak membuat Tara kesal. Sesampainya di rumah Sarah—designer baru kenalan keluarga Tara—pekerja di rumah itu mengatakan bahwa sang tuan rumah sedang ada seminar di Bandung selama dua hari dan akan kembali besok lusa.
Tara menghampiri Raka yang sibuk memainkan ponselnya. Dengan wajah tidak bersahabat, ia berseru, “Gue bilang juga dianterin nanti! Susah banget, sih, dibilanginnya.”
“Kenapa, sih? Songketnya mana?” tanya-nya melihat Tara kembali dengan tangan kosong. Ia kembali menyalakan mesin motornya.
“Orangnya lagi gak ada. Gue juga udah infoin kemarin kok. Baca chat, deh, kebiasaan!” omelnya sembari menaiki motor itu.
“Ya udah, sih, maaf.” Ia membuka ruang obrolan mereka, dan benar. Tara tidak pernah salah.
“Lain kali jangan ngeyel, deh!” sungutnya.
“Iya, iya. Bawel amat. Gue kan udah minta maaf.” Raka ikut sewot. Ia mulai melajukan motonya kembali.
Tara memilih tak menanggapi, ia melihat arah yang diambil lelaki itu. “Ini mau ke mana, sih? Arah rumah gue kelewat!”
“Puter balik.”
“Apa-apaan puter balik segala, lo kira rumah gue di mana?” cibirnya.
Raka meliriknya sekilas melalui spion, dengan iseng ia menambah kecepatan laju motornya, membuat Tara reflek menjerit takut.
“Gila lo, ya! Mati gak usah ngajak-ngajak gue.”
“Makanya pegangan dulu!”
“Dih!” Tara mendelik protes, tapi tak urung ia memegang kedua bahu Raka.
“Lo pikir gue tukang ojek? Di pingganglah!”
“Apaan, sih, najis lo!” Tara bergidik geli.
“Halah, najis-najis gini juga pernah lo panggil sayang. Inget gak, lo chat gue malem-malem, ‘sayang, kayaknya enak deh makan seblak malem-malem. Kata Karina, yang di perempatan deket sekolah seblaknya enak.’ Gue jabanin, Tar! Gak peduli tuh waktu itu lagi musim begal juga, mana ujan rintik-rintik lagi,” cerocos Raka.
“Gue gak bilang gitu, ya!”
“Sama ajalah intinya.”
“Bedalah! Itu namanya lo melebih-lebihkan!”
Raka berdecak. “Masih untung gue gak kenapa-kenapa. Masih bisa, nih, semotor sama lo sekarang,” gerutunya.
“Berisik. Gue gak open curhat.”
“Tai.”
“Ih, Raka! Kapan puter baliknya ini? Kenapa jalan terus? Gue mau pulang!”
“Penumpang diem aja, nggak usah banyak minta,” katanya. “Gue jual juga deh ke toko jam.”
“Dih, ngapain lo ngejual gue ke toko jam?”
“Biar lo ada kerjaan.”
“Garing.”
“Nggak ada ujan ngapain basah-basahan?”
“Ah, Raka, bisa nggak jangan main-main sama gue? Kapan lo putar baliknya, sih?! Gue nggak bego, ya!” kesal Tara.
“Ya udah.”
“Apaan?” Tara mencondongkan wajahnya ke depan karena suara Raka teredam oleh bisingnya kendaraan lain.
“Lo nggak mau main-main ‘kan? Mau yang serius aja?”
[].
“Bunga di halaman depan udah disiram, Dek?” tanya Eva—sang ibu yang sedang memotong sayuran di dapur.“Udah, kok.” Tara membuka kulkas, lalu menghirup udara di dalamnya yang wangi buah-buahan. Kebiasaannya jika sedang kepanasan. “Yang pot deket jendela itu kayaknya harus diganti deh, Bu, tadi Tara lihat udah retak gitu.”“Ya udah, nanti ibu mampir beli pot besok.”Tara tak menyahut lagi, ia menuangkan air es ke dalam gelas di atas meja, lalu meneguknya.“Oh iya, Dek, tadi papa telepon, kamu mau berangkat ke Makassar kapan emang?” Eva melirik anaknya yang kini malah mengerutkan alisnya bingung.“Lho, bukannya Dio ya yang mau ke sana?” Kini Tara bergabung bersama Eva di meja makan.“Dio kan udah kelas sembilan, sibuk bimbel. Kamu aja yang ke sana.”“Tara gak mau.” Selama ini ia tak pernah berjauhan dengan ibunya kecuali untuk acara sekolah. “Lagian, kenapa nggak papa aja yang samperin kita? Makassar kan jauh, Bu. Luar pulau.”“Terakhir kalian telepon itu bukannya udah sepakat ya mau lib
Raka tertawa geli melihat balasan usilnya yang hanya dibaca oleh Tara. Ia pastikan, perempuan itu sedang menggerutu di sana, mengatakan modusnya sudah tertinggal zaman atau gombalannya yang sudah tidak lagi mempan. Yang paling brengseknya, Tara langsung mengernyit jijik ketika Raka melancarkan aksi gombalnya. Sungguh mantan yang kejam.“Senyam-senyum aja lo, gue perhatiin dari tadi. Kesambet setan gor baru tahu rasa!” seru Jaffar yang menghampirinya dengan raket di tangannya.Nando dan Tian mengekor di belakang, kemudian duduk di tribun bawah sembari mengusap handuk kecil ke wajahnya yang berkeringat.“Gue, sih, curiganya Raka lagi ngebucin sama pacar barunya,” ujar Nando.“Nggak salah lagi, pasti dapet foto gunung kembar dia!” seru Tian yang langsung dihadiahi lemparan botol kosong dan handuk basah oleh ketiga temannya.“Bego sampe ke urat!” Raka memukul kepala temannya menggunakan raket miliknya yang langsung mendapat umpatan dari Tian.Nando menggeleng. “Udah tahu Raka orangnya cup
Berharap perkataannya dapat menyadarkan Raka, ternyata Tara salah besar. Justru karena hal itu, Tara terseret ke sebuah mall dengan Raka. Emosinya sudah sampai ubun-ubun saat lelaki itu dengan seringai jahilnya menatap Tara. “Kata siapa gue suka rela ngasih lo donat? Temenin gue beli hadiah.”Tara menolak. “Minta temenin aja sama pacar lo!”Dan ketika Raka menjawab, “Kan kadonya buat pacar gue. Lo bantu cariin.”Ia berusaha meredam amarahnya. Si bodoh ini benar-benar keterlaluan! Apa tidak bisa sedikit saja memikirkan perasaannya? Mereka bahkan baru putus beberapa bulan lalu.Tapi apa boleh buat, ia tidak mau merasa memeras Raka, setelah izin pada Dio dan menyerahkan kotak donat itu pada adiknya, Tara akhirnya mengekori ke mana pun langkah Raka pergi. Terhitung sudah sudah satu jam lebih, beberapa toko telah mereka sambangi, namun tak ada satu pun barang yang menarik perhatian lelaki itu. Atau, memang Raka tidak berniat membeli hadiah yang dia maksud.Langkah panjang lelaki itu mening
Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru adalah hal yang dinanti para siswa Adipura. Mereka akan bertemu dedek-dedek gemes baru puber yang masih berseragam sekolah asal karena masih dalam masa orientasi, lengkap dengan atribut yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah dan pengurus OSIS. Termasuk Karina, teman sejoli Tara itu memaksanya ikut berdesak-desakan di kantin agar bisa melihat dedek gemes jogan, alias jomlo ganteng.Keduanya beruntung sudah mendapat tempat duduk di tengah ramainya kantin. Tara sangat khusyuk menikmati mie goreng pedas dan segelas es teh manisnya, berbanding terbalik dengan Karina yang justru tak melirik nasi gorengnya sama sekali sejak mang Ujang mengantarnya ke meja mereka. Perempuan berkucir kuda itu sibuk menyapukan pandangan ke seisi kantin. “Arah pukul dua, Tar,” bisiknya.Sontak saja Tara mengikuti intruksi Karina, yang sialnya di arah pukul dua itu juga ada Raka dan Kaila yang sedang tertawa di tengah ramainya kantin.“Cakep banget, ya? Tapi kayaknya
“Ka, Tara kok gak pernah main ke sini lagi?” tanya Kiera iseng. Sehabis menidurkan Arlan, ia dan Raka duduk di depan TV sembari menunggu Bian pulang.“Males. Tara kalau diajak ke sini kebawelannya setara sama mami,” sahutnya yang masih fokus pada ponsel.“Cewek kalau nggak bawel pasti lagi sariawan!”“Teori darimanaaa mamiku sayang? Kaila kalem-kalem aja, tuh.”Kiera mendengkus pelan. “Pacar baru kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak ngobrol. Takut mami sleding kali, ya, ginjalnya.”Raka terbahak. “Nggak gitu juga. Kaila masih malu-malu, Mi. Lagian baru sekali kan Raka ajak dia ke rumah.”Atensi Kiera beralih sepenuhnya dari majalah di tangannya pada anak sulungnya. “Tapi mami beneran mau Tara main lagi, Ka. Udah lama nggak bikin kue bareng.”“Taranya sibuk. Raka lihat dia makin aktif ikut olimpiade gitu, bolak-balik ruang guru. Kayaknya yang sekarang ikutan matematika, deh,” jelasnya.Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Tara dengan bu Nia—guru matematika mereka di ruang
Hari kamis adalah hari yang paling menyebalkan bagi seluruh penghuni kelas XI IPS 1, di mana setelah istirahat kedua ada jadwal matematika dilanjut olahraga pada jam terakhir. Selain panas matahari yang menyengat, gurunya pun sangat tidak santai.Entah Tara harus bersyukur atau tidak, ia izin tidak mengikuti jadwal tes basket hari ini karena perutnya yang mendadak melilit. Ia berjalan menuju UKS sendirian meskipun Karina sudah menawarkan diri untuk mengantarnya. Tara membuka pintu UKS yang tidak tertutup rapat sembari memegang perutnya. Tempat biasa penjaga UKS—mbak Indah duduk kali ini kosong.“Sakit, Tar?” Ini kali pertama Raka menyapanya kembali setelah sepulang mereka dari mall hari itu dan Tara memarahinya. Lelaki itu berbaring di salah satu brangkar.“Iya,” jawabnya sembari duduk di atas brangkar yang bersebelahan dengan Raka.“Maag lo kambuh lagi, ya?”Tara mengangguk. “Lo sendiri ngapain di sini? Bolos?”Raka membuka lemari obat yang ada di sebelahnya, lalu menyerahkan satu ta
Papa : Dek, kata Dio kamu sakit. Udah enakan?Sudah hampir satu bulan sejak ibunya bertanya kepergiannya ke Makassar, sang ayah tidak bertukar kabar dengan Tara.Tara Givanka : Udah, Pa.Papa : Jaga kesehatan, Dek, ibu kan kerja.Tara Givanka : Iya, Pa.Papa : Papa tunggu libur semester nanti.Tara berdecak malas membaca pesan terakhir ayahnya, ia memilih tak membalasnya lagi dan memasukan ponselnya ke dalam tas, lalu menghampiri Eva dan Dio yang sudah menunggunya di meja makan.“Perutnya udah enakan, Dek?” tanya Eva yang menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.“Udah, kok.” Tara duduk di sebelah Dio yang tak mengangkat wajahnya dari piring.“Kira-kira pulang pukul berapa?”“Nggak tahu.” Tara meneguk susu putihnya sedikit, lalu menatap ibunya dengan tanya. “Kenapa?”“Oke, langsung pulang, ya.” Eva menjeda, beralih menatap Dio. “Dio juga libur dulu lesnya.”Dio menoleh. “Kenapa?”“Nanti malam om Arsen mau ngajak dinner sama keluarganya.”Sepasang kakak-beradik itu saling tatap, seolah menga
Raka berjalan melewati kelas XI IPS 1 dengan sedikit melirik ke dalamnya. Harusnya setelah mata pelajaran penjaskes selesai ia menyusul teman-temannya ke kantin karena bel istirahat akan berbunyi lima belas menit lagi, tapi Raka memilih mampir ke kelasnya lebih dulu untuk mengganti sepatunya. Di barisan kedua dekat jendela, Raka dapat melihat Karina sibuk dengan bukunya sendirian di tempatnya.“Woy!” Nando menepuk bahunya dari belakang. “Lihatin siapa, sih, lo? Pacar atau mantan?”“Sialan lo,” Raka menepis tangan Nando yang menggelayut di bahunya. “Kepo banget jadi orang.”Nando tertawa. “Ya elah, sensitif amat lo kayak cewek PMS.”“Sensitif?! Raka hamil?” tanya Tian dari belakang.“Itu positif, tulil.” Jaffar memukul punggung Tian dengan botol kosong di tangannya.“Kok lo ngurat, sih, Jap?!” seru Tian tak terima.“Makanya otak jangan taro di rumah!” seru Nando.“Gue kantongin!” sahut Tian sewot. “Emangnya elo, otak ditaro di roomchat gebetan,” cibirnya.“Kayak yang tahu aja gebetan g