"Plak!" Satu tamparan keras melayang ke pipi Benedict."Apaan sih gigit-gigit? Kamu pikir aku ini mangsa vampire apa?"Emily menarik tali gaunnya yang nyaris robek lalu melepaskan sabuk pengaman. Namun, belum sempat dia keluar, Benedict menariknya hingga kembali ke posisi semula."Kamu mau kemana?""Tentu saja aku mau pulang.""Pulang? Apa maksudmu dengan pulang? Kamu pikir om dan tantemu akan menerimamu kembali ke rumah setelah kejadian tadi?"Emily menggigit bibirnya dengan kesal, "Ini semua gara-gara kamu. Ini salahmu. Kalau tidak karena ulahmu tadi aku tidak perlu menghadapi hal seperti ini. Sekarang, bahkan untuk pulang saja aku tidak bisa.""Apa yang sulit dengan itu? Kamu hanya perlu ikut denganku saja dan tinggal di kediamanku, Emily. The End. Masalah selesai.""Tidak semudah itu, Tuan Muda." Dia tidak mau tinggal dengan pria biadab ini dan masuk perangkap seperti ikan yang masuk ke dalam jaring.Benedict mengerutkan dahi, "Jangan katakan kalau kau bermaksud untuk mengingkari p
“Ah …” Suara erangan Emily memenuhi ruangan ketika wanita itu merasakan sentuhan kasar seorang pria tepat di bagian sensitif tubuhnya.Emily melengkungkan punggungnya, memberikan ruang untuk pria yang berada di atasnya untuk menyentuhnya lebih jauh. Entah apa yang merasuki dirinya malam itu, tapi, tak lama setelah Zack, calon tunangannya mengajak untuk bertemu di hotel malam itu, Emily seolah dirasuki oleh hasrat yang amat menggebu. “Hngh!” Lenguhan yang tertahan keluar dari mulut Emily saat merasakan milik sang pria mulai menjajahi miliknya. Karena keseluruhan ruangan yang amat gelap, wanita itu tak tahu di mana harus melayangkan tangannya. Tak kuasa menahan gairah, Emily menggenggam sejumput rambut milik pria yang terus menyerangnya dengan kecupan basah.Tepat saat itu juga, Emily merasakan sesuatu yang berbeda. Pria yang sedang bercumbu dengannya memiliki rambut pendek, padahal Zack, kekasihnya, memiliki rambut yang lebih panjang!“Kamu bukan … Zack!”***“Urgh!”Emily terbang
"Apa yang kau lakukan?" Emily tersentak, dia terkejut dengan betapa mudahnya pria ini membereskannya. Emily melancarkan satu pukulan ke arah pria itu, tapi sayangnya, pria itu bergerak lebih cepat sehingga berhasil menangkisnya. Emily melakukannya lagi dengan tangannya yang lain, tapi lagi-lagi berhasil ditangkap. Brengsek! Betapa sulitnya melukai pria ini. "Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!" Emily berteriak, tapi hanya gema suarnya saja yang menjawab. Emily bergulat untuk melepaskan diri. Dia tidak yakin ini disengaja atau tidak, tapi saat meronta, baju Emily yang sudah acak-acakan tiba-tiba robek hingga terbuka lebar, memperlihatkan dadanya yang berisi kepada pria itu. Mata pria itu menggelap saat melihat tubuh kencang wanita itu dalam pelukannya. "Lepaskan aku! Kau … kau menyakitiku.” Merasa malu dan tak berdaya, Emily merintih, air mata membasahi wajahnya. Kata-kata itu terdengar seperti menyuarakan ketidakberdayaan. Seolah-olah dengan mengatakannya, Emil
“Bajingan!” Emily hanya bisa menggumam kecil, menyaksikan pria berambut perak itu menampikkan seringai di wajah tampannya.Terlebih ketika Benedict melangkah maju, lalu menginjak ujung lembaran uang kertas yang telah Emily pegang. Emily menaikkan pandangannya, dia melihat pria berambut perak itu menatapnya dengan tatapan dingin. Ada gestur mencemooh di bibirnya meski tak kentara."Kupikir Nona berharga diri tinggi ini, benar-benar memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, ternyata, jauh panggang daripada api. Kau tidak lebih mahal dari yang kukira."Setelah mengatakan hal itu, Benedict melemparkan jas yang ada di tangannya ke arah Emily. Karena kaget, Emily jatuh terduduk ke belakang dengan lembaran uang kertas di tangannya. Sedangkan pintu itu kembali tertutup.Emily melihat ke arah jas abu-abu yang kini ada di pangkuannya. Apa jas ini diberikan pria itu untuknya? Lalu, apa-apaan itu tadi? Tega sekali pria itu mengatainya seperti itu. Emily merasakan air matanya menggenang. Dia merasa
“Bajingan kau, Zack! Kau anggap apa akuini?""Hei, apa perlu kau berkata-kata kasarseperti itu kepadaku, Emily?" Zack melanjutkan. "Aku jadi bingung.Kemana ya Emilyku yang cantik dan baik hati pergi?”Emily merasakan ‘pisau perkataan' itu menusukparu-parunya. Sudah biasa bagi Zack untuk sesekali menyewa pendamping ataumembeli hadiah mahal demi mengesankan klien, tapi Emily tidak pernah mengirakalau dirinya akan mengalami hal yang sama. Berakhir dengan dijadikan ‘hadiah’untuk salah satu klien Zack.Ternyata menjadi calon istri, bukanlahmenjadi batasan bagi Zack untuk membuat Emily kebal dari kebiasaan pria itu.Ternyata, Emily tidak ada harganya di mata Zack.Dengan ini, Emily telah mengambil keputusan.Dia mengubah panggilan suara menjadi video, lalu setelah itu Emily mengacungkanjari tengah ke layar, "Zack ... Mulai sekarang ... kita putus, dasar bajingan!"Setelah mengatakan itu, Emily mematikansambungan. Namun, tak lama ponsel itu kembali berdering. Sopir taksi meliriknya
“Apa maksudnya om, tante? Apa kalian tak mendengarku? Zack menjualku! Menjual keponakanmu kepada pria lain hanya untuk kepentingan bisnis. Dia sama sekali tidak menghargai aku dan Om. Bagaimana mungkin aku berhubungan kembali dengannya?” Emily merasa tidak habis pikir. Bagaimana bisa, om dan tantenya tak merasa tersinggung sama sekali dan justru membela Zack?“Aku tahu, Emily. Aku mengerti perasaanmu. Tapi, kamu juga tahu kan kalau perusahaan Om bergantung pada Zack. Om tidak bisa …”Melihat Edward melemah, Regina mengambil alih, “Kau pikirkan ini, Emily. Aku dan Om-mu telah memberikan nafkah dan tempat tinggal untukmu selama ini. Kami melakukannya secara tulus dan tanpa mengharapkan pamrih," ucap tantenya, menatap Emily nanar, "Tapi, paling tidak kau tahu sedikitlah cara membalas budi, Emily. Zack melakukan itu untuk kepentingan bisnis berarti dia telah melakukan banyak pertimbangan untuk melakukannya.”“Dengan menjualku? Aku bahkan belum menjadi istrinya! Tapi, dia telah berani mel
Emily baru saja tiba di rumah Zack. Dia bermaksud membunyikan bel pintu ketika Emily menyadari kalau pintu sudah dalam keadaan sedikit terbuka.Emily dengan hati-hati berjalan ke lorong dan berhenti. Dia mendengar napas mesra seorang pria dan seorang wanita.Jantung Emily berhenti berdetak. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju kamar tidur… seketika Emily membeku. “Hibur aku dengan tubuhmu, Laila.” Laila? Nama itu terdengar tak asing baginya. Emily memekakkan telinganya, mencoba mendengarkan lebih banyak dari percakapan antara Zack, dengan seorang perempuan yang terduduk di atas sang pria. “Emily seenaknya saja meninggalkanku." Zack menghela nafas. "Namun, yang paling sial adalah ... Benedict memutuskan untuk tidak berinvestasi di perusahaanku. Aku merasa seperti orang bodoh. Aku sangat membutuhkanmu sentuhanmu, sayang.” Ucap Zack dengan manja, bibirnya melengkung ke bawah.Tiba-tiba, ruangan itu hening. Namun, yang terdengar hanyalah kecupan basah antara Zack dan wanita di atasn
“Kamu ...!”Rambut perak yang dia kenal, serta seringai yang membuatnya teringat ke malam itu seketika membuat emosi kembali memenuhi kepalanya.Emily buru-buru bangkit dari tempat tidur, bermaksud untuk kabur dari tempat itu, namun rasa pusing menusuk kepalanya hingga membuatnya pandangannya menjadi kabur.Belum sempat kaki jenjangnya menyentuh lantai, Benedict melingkarkan lengan kekarnya di pinggang Emily."Lepaskan aku!" Teriak Emily dengan keras, mencoba mencari pertolongan dari siapapun yang ada di rumah besar itu. Emily menyapukan kukunya ke wajah pria itu, membuat Benedict mengumpat dengan keras. Namun meskipun ada rasa perih yang menjalari wajahnya, Benedict tetap tidak melepaskan pegangannya.Karena melepaskan berarti menjatuhkan ke lantai. Sedangkan kondisi wanita dengan kuku bak Wolverine ini masih belum stabil.Sebagai gantinya Benedict mengangkat Emily ke dalam pelukannya lalu menjatuhkannya ke tempat tidur."Jangan berani-berani turun dari ranjang ini." Dia memperingat