“Papa?” Satu alis Regis terangkat ke atas. Ia menyeringai sinis. Hampir tak percaya jika kalimat seperti itu bisa dilontarkan oleh anak berusia enam tahun. Regis pun berusaha meredam kemarahannya dengan menghela napas pelan. Ia tidak menyangka seorang anak kecil yang dikiranya polos memiliki niat terselubung padanya. 'Apa sekarang mulai marak penipuan dengan menggunakan anak kecil sebagai alat kejahatan?' batin Regis menerka. Pria itu merasa telah menyia-nyiakan waktu berharganya untuk mendengarkan celotehan tak berguna dari anak tersebut, tetapi ada rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap motif anak itu. Regis menduga orang tua tak bertanggung jawab dari anak itu yang telah mengajari hal tidak baik kepada anak laki-laki tersebut untuk mencari korban yang mudah ditipu. Sayangnya, anak itu sudah salah memilih target. "Di mana orang tuamu, Bocah? Saya ingin melihat orang tua seperti apa yang sudah mengajarimu menipu seperti ini?" cetus Regis. Ucapan pria itu tanpa sengaja telah
Kedua alis Amora bertaut. Ia menatap tajam pria bertubuh tegap yang tidak melepaskan pandangan darinya. ‘Apa maksudnya bertemu lagi? Siapa dia?’ batin Amora dengan rasa curiga yang sangat besar. Tadi ia memang sempat melihat putranya sedang berbicara dengan seorang pria dari kejauhan. Namun, ia tidak melihatnya dengan sangat jelas tadi dan setelah menghampiri putranya, ia melupakan keberadaan pria itu karena sibuk menasihati putranya. ‘Jangan-jangan … dia seorang penipu atau penculik?’ batin Amora dengan sepasang netra yang mengamati penampilan pria itu dengan penuh pertimbangan. ‘tapi, apa sekarang penipu juga memperhatikan penampilan mereka agar tidak dicurigai?’ Tanpa bertanya pun, Amora tahu jika setelan pakaian yang dikenakan pria itu merupakan pakaian buatan tangan yang memiliki harga yang cukup fantastis. Dua bulan gajinya saja belum tentu cukup untuk membelinya. Walaupun memiliki penampilan yang elit, tetapi di mata Amora, pria itu tetap saja mencurigakan. Apalagi pria itu
“Nek, aku pulang.”Rayden melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu. Seorang wanita paruh baya yang sedang membersihkan rumah terlihat sangat terkejut dengan kepulangan Rayden. Padahal waktu pulang sekolah masih satu jam lagi.“Ray, kenapa kamu pulang seawal ini?” tanya wanita paruh baya yang tidak lain adalah Emma Adams.Dia adalah pengasuh Rayden sekaligus tetangga Amora yang tinggal dalam satu komplek dengan mereka.Biasanya Emma selalu menjemput dan mengantar Rayden. Kepulangan Rayden sekarang tentu saja mengagetkannya.“Ya ampun, Ray. Kenapa dengan wajahmu?”Emma bergegas menghampiri Rayden yang telah dianggapnya seperti cucunya sendiri. Ia langsung meletakkan gagang pel di tangannya, lalu menangkup wajah Rayden yang dipenuhi dengan luka.“Siapa yang sudah memukulmu, Ray?” selidik Emma dengan sangat cemas. Hatinya terasa pilu melihat luka pada wajah anak laki-laki itu.Pandangannya beralih kepada Amora yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan motornya di hal
“Ray, Mama masuk ya.” Amora mengetuk pintu kamar putranya, kemudian ia memutar gagang pintu tersebut dan membukanya. Terlihat sosok Rayden yang sedang duduk meringkuk di atas tempat tidurnya. Wajahnya terbenam di antara kedua lututnya. Amora menghela napas pelan. Ia pun menghampiri putranya tersebut. Duduk di sisi ranjangnya, kemudian mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Ray, masih sakit lukanya?” Perlahan Rayden mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Akan tetapi, Amora tetap saja bisa melihat jika putranya itu hanya memaksakan diri untuk tersenyum saja. Ia tahu jika memar di wajah putranya itu masih terasa sakit. “Maafkan Mama yang sudah melibatkanmu dalam masa lalu yang telah Mama perbuat, Ray,” cicit Amora dengan suara yang terdengar pilu. Rayden menggeleng. “Ini tidak sakit kok, Ma. Ray hanya mengantuk saja,” dalihnya berbohong lagi. Amora mengulum senyumnya. Ia menangkup wajah putranya tersebut dan berkata, “Kamu boleh bersandar pada Mama dan menangis, Ray. Mama ak
“Tuan, ini hasil gambar yang berhasil diperbesar dari tangkapan layar.” Mark menyerahkan telepon genggamnya kepada Regis melalui kaca mobil penumpang yang terbuka. Atasannya itu sedang duduk menunggu hasil pekerjaannya di dalam mobil. Mark masih berdiri di samping pintu mobil untuk menunggu tanggapan dari atasannya tersebut hingga akhirnya Regis hanya berkata, “Masuklah. Bukankah saya masih ada jadwal rapat hari ini?” Mark mengangguk. Ia bergegas duduk di kursi penumpang belakang yang berdampingan dengan atasannya tersebut. Sopir pribadi Regis—Albert Parker segera menjalankan kendaraan tersebut setelah mendapatkan isyarat dari Mark melalui anggukannya. Mark menoleh ke arah tuan mudanya yang sedang menatap layar gawai miliknya dengan penuh lekat. Tanpa menunggu perintah, ia langsung menjelaskan hasil pencariannya tersebut kepada tuan mudanya itu. “Dari hasil CCTV tadi, wanita ini memang keluar dengan terburu-buru. Sepertinya takut akan sesuatu hal.” Bibir Regis terangkat sedikit
“Maaf ya sudah memintamu datang buru-buru, Amora. Soalnya aku tidak punya waktu. Jam penerbangannya tinggal satu jam lagi.” Mendengar penuturan Biana Curtiz, Amora tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bia. Kebetulan aku juga memang lagi senggang malam ini. Tadi Nyonya Houston juga bilang aku tidak perlu masuk shift malam ini.” Biana Curtiz adalah rekan kerja Amora di WW Mart. Dia meminta Amora datang ke Restoran Baymoon, tempatnya melakukan magang sebagai pelayan restoran tersebut. Seharusnya malam ini Amora berniat menggantikan waktu kerjanya yang sempat terbengkalai tadi pagi. Akan tetapi, Della Houston—sang manajer mengatakan kepada Amora untuk datang besok pagi saja karena karyawan shift pagi ada yang mengambil cuti. Padahal Amora berharap bisa mendapatkan sedikit uang tambahan dari pekerjaan shift malamnya untuk membayar uang sewa yang belum terkumpul. Ia berpikir akan pulang dengan tangan kosong malam ini. Namun, saat dalam perjalanan pulang, Biana menghubunginya dan memintanya
“Selamat datang, Nyonya Lysander.” Alvin Jones menyapa salah satu tamunya yang baru saja tiba di depan pintu Restoran Baymoon. Pria itu bergegas menghampiri tamu paruh bayanya itu dengan sikap profesionalnya sebagai seorang manajer restoran. Namun, Amora masih tertegun syok di tempatnya. Bagaimana tidak? Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu kembali dengan sosok yang paling dibencinya setelah dirinya keluar dari kediaman keluarga Lysander! Wanita yang dipanggil dengan sebutan Nyonya Lysander oleh sang manajer tersebut adalah Julia Brown, istri dari paman Amora! Amora masih tidak dapat melupakan bagaimana sikap tantenya itu ketika dirinya diusir oleh kakeknya tujuh tahun yang lalu. Kalimat yang dipenuhi dengan penghinaan dan sindiran pedas yang dilontarkan Julia masih terngiang jelas di dalam ingatannya. “Jangan salahkan siapa pun, Amora. Tapi, salahkan dirimu sendiri yang bodoh dan juga salahkan ibumu yang sudah melahirkanmu ke dunia. Sekarang bukan darahmu saja yang kotor,
“Maaf saya terlambat. Tadi mobil saya sedikit bermasalah,” ucap seorang wanita muda yang baru saja masuk ke dalam ruangan VIP.“Akhirnya kamu datang juga, Chelsea. Tante dan Nyonya Lorenzo sudah menunggumu sejak tadi,” sahut Julia yang telah beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut kedatangannya.Wanita muda berpenampilan stylish dengan dress mini yang memperlihatkan sedikit paha mulusnya dan mantel bulu yang melingkar di lehernya itu segera menghampiri Julia dan memberikan salam dengan saling menempelkan pipi kiri dan kanannya.“Apa mobilmu rusak?” tanya Julia dengan khawatir.“Iya, Tante. Tiba-tiba saja mati mesin tadi. Jadi saya terpaksa mengurusnya dulu dan naik taksi ke sini,” jawab wanita itu seraya melirik ke arah Nyonya Lorenzo yang sejak tadi memperhatikannya.Julia pun menyadari bahwa ia belum memperkenalkan keduanya. “Nyonya Lorenzo, ini gadis yang mau saya kenalkan kepa