Amora meneguk salivanya dengan kasar. Kedua bola matanya membulat besar tatkala ia mendapati punggung kekar yang asing di atas ranjang yang sama dengannya. Tatapannya berubah horor ketika melihat tato bergambar kepala naga yang menyeramkan di punggung sosok tersebut.
‘Apa yang terjadi padaku? Bukankah semalam aku bersama Chelsea dan yang lain? Kenapa aku bisa ….’
Manik mata hazel Amora mengerjap berulang kali. Menatap langit-langit kamar yang asing di dalam ingatannya. Ia benar-benar terkejut saat mendapati dirinya dalam kondisi tanpa sehelai benang pun.
Hanya selimut tipis yang menutupi tubuh polosnya itu. Amora bangkit dengan sangat cepat, tetapi rasa sakit yang luar biasa hebat seakan merobek bagian intimnya itu membuat gerakan Amora terurungkan.
Kepala Amora berdenyut hebat. Ia mencengkeram kedua sisi kepalanya dan berusaha menggali ingatannya. Suara tawa dan pujian serta ucapan selamat dari para teman seangkatannya itu terngiang di dalam ingatannya, lalu terlintas bayangan dirinya yang terus minum tanpa henti kala itu.
Amora pun menyadari jika dirinya menjadi mabuk setelahnya. Netranya membola besar tatkala bayangan percintaan panas yang telah dilakukannya semalam berkelebat dengan sangat cepat di dalam kepalanya. Sontak, ia pun menoleh kepada pria di sampingnya saat ini.
“Aku dan dia ….”
Amora bergegas menutup mulutnya dengan syok. Ia tidak berani membuka suaranya karena khawatir akan membangunkan pria di sampingnya.
‘Gila! Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku bisa melakukan hal itu dengannya?’ jerit Amora histeris di dalam hati.
Raut wajah samar yang sesekali muncul di dalam ingatannya membuat Amora syok, lalu ia menyadari jika dirinya sudah berhalusinasi dengan menganggap pembunuh itu sebagai calon suaminya saat bercinta semalam.
‘Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku malah mengira dia adalah Chris!'
Amora benar-benar tidak mengerti kenapa ia bisa bertindak seperti itu. Meskipun ia sudah mabuk, tetapi tidak seharusnya ia melakukan hal segila ini.
Hati Amora benar-benar hancur saat mengetahui hal bodoh lainnya yang dilakukannya tanpa ia sadari. Cairan kristal telah menganak sungai di pelupuk matanya, lalu perlahan berjatuhan dan membasahi kedua belah pipinya.
‘Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa yang harus aku katakan pada Chris nanti?’
Berbagai pertanyaan memenuhi pikiran Amora. Ia benar-benar sangat menyesal. Namun, semua telah terjadi. Ia tidak bisa memutar waktu untuk mengembalikan hal yang telah diberikannya.
Amora merutuki kebodohannya karena sudah menghancurkan kebahagiaannya sendiri. Sedikit lagi ia akan menjadi milik Chris seutuhnya, tetapi ia malah menyerahkan kesuciannya kepada pria asing!
‘Amora Lysander, kamu bukan hanya bodoh. Tapi, kamu benar-benar sudah gila!’
Amora memukul kedua sisi kepalanya sendiri berulang kali. Ketika ia merasakan pergerakan di sampingnya, ia langsung menghentikan pukulannya dan membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tidak ingin membuat pria asing di sampingnya itu terbangun.
Lebih bodohnya lagi, Amora tidak bisa menuntut pertanggungjawaban dari pria itu karena ia teringat bahwa pria itu adalah pembunuh yang ditemuinya semalam. Amora tidak ingin nyawanya juga ikut terengut akibat kecerobohannya itu.
Perlahan Amora beranjak dari ranjang. Rasa sakit di bagian intimnya itu masih membuatnya sulit bergerak, tetapi ia harus segera pergi dari kamar itu sebelum kesadaran pembunuh itu kembali. Ia bergegas memungut helaian pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu mengenakannya dengan sangat cepat.
Sebelum meninggalkan ruangan itu, Amora mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan dolar dari dalam saku celana jins ketatnya. Ia berharap sejumlah uang itu dapat membuat pria itu melupakannya dan sebagai bayaran untuk menutup mulutnya atas kejadian semalam.
"Semoga kita tidak bertemu lagi, Tuan Pembunuh," gumam Amora dengan suara bisikan yang hanya dapat didengar dirinya sendiri.
Dengan jalan mengendap-endap, Amora keluar dari kamar tersebut. Ia berjalan masuk menuju lift, lalu menekan tombol pada panel lift menuju ke lobi hotel.
Netra Amora memandang angka yang terus bergerak turun. Perasaannya sangat kacau saat ini. Ia masih tidak percaya jika keperawanannya telah direngut oleh seorang pembunuh!
Amora menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Meskipun masih tidak percaya hal itu terjadi padanya, tetapi tidak ada jalan baginya untuk kembali. Ia tidak tahu harus memasang wajah seperti apa saat bertemu dengan Chris nanti. Pria itu pasti tidak akan bisa menerima dirinya yang telah kotor dan hina seperti ini.
Ketika ia sedang sibuk memikirkan hal tersebut, lift telah sampai di lantai dasar. Amora pun berjalan keluar dari lift dengan langkah gontai. Ia menyeka sisa-sisa air mata di wajahnya dengan kasar.
‘Sebaiknya aku mencari waktu untuk membicarakan masalah ini dengan Chris nanti,’ putus Amora di dalam hati. Akan tetapi, keraguan muncul di dalam dirinya.
‘Tapi, apa nanti dia bisa menerimanya?’ batin Amora yang menjadi sangat gelisah.
Ia yakin pria itu akan sangat marah dan kecewa jika mengetahui kebenaran yang terjadi pada dirinya. Amora menggelengkan kepalanya dengan kuat, lalu memutuskan untuk menutupi hal tersebut dari calon suaminya untuk sementara waktu.
Akan tetapi, ternyata ia tidak diberikan kesempatan sedikit pun oleh Tuhan karena Chris tiba-tiba saja memergokinya keluar dari hotel itu. Pria itu baru saja berniat masuk ke dalam hotel, tetapi langkahnya terhenti ketika berpaspasan dengan Amora di depan pintu masuk lobi tersebut.
“Ch-Chris ….” Suara Amora terdengar sengau dan serak saat memanggil nama calon suaminya itu.
“Amora? Kamu habis menangis?" selidik pria itu.
Hal yang pertama kali yang terlihat oleh Chris adalah sepasang netra kekasihnya yang sembap. Namun, kebingungannya seolah terjawab saat melihat penampilan Amora yang sangat berantakan.
Amora terperanjat. Ia segera memalingkan wajahnya dan bertanya dengan gugup, “C-Chris … kenapa kamu bisa ada di sini?”
Netra pria itu telah memicing tajam. Menganalisa penampilan Amora dengan seksama.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Amora. Apa yang sudah kamu lakukan semalaman? Aku mendapat kabar untuk menjemputmu pagi ini di hotel, lalu kamu keluar dengan keadaan seperti ini.”
Mendengar penuturan Chris, Amora tersentak. Ia kembali menoleh kepada Chris yang telah memasang ekspesi wajah yang penuh selidik terhadapnya.
“Si-siapa yang menyuruhmu untuk menjemputku? Aku tidak—”
“Apa itu penting?” Nada suara Chris yang menyela Amora terdengar dingin.
Ini adalah pertama kalinya Amora mendapatkan perlakuan yang sangat asing dari calon suaminya tersebut.
“Apa yang kamu lakukan di hotel ini, Amora?” Chris langsung mengajukan pertanyaan di dalam kepalanya itu.
Meskipun pria itu takut mendengar jawaban dari kekasihnya, tetapi ia harus mengetahui dengan pasti dari bibir wanita itu.
Amora tertunduk dalam. Kedua netranya mulai terasa panas. Cairan kristal kembali menumpuk di pelupuk matanya. Lidahnya terasa kelu. Ia tidak tahu harus bagaimana menceritakan kondisinya saat ini kepada calon suaminya itu.
Sikap diam Amora telah menjawab semua pertanyaan di dalam benak Chris Walden. Manik mata pria itu menilik kembali penampilan calon istrinya itu dengan seksama.
Chris mendapati begitu banyak jejak kemerahan di bagian tulang selangka wanita itu. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu apa arti dari jejak tersebut. Itu adalah jejak-jejak percintaan yang baru saja dilakukan calon istrinya dengan pria lain!
Dada Chris berdenyut perih. Ia merasa ada sebuah bongkahan besar yang sedang menghantam dadanya dengan sangat kuat. Ingin rasanya ia memaki dan membentak wanita itu, tetapi melihat kondisi mental calon istrinya itu dan situasi di sekitar mereka, ia pun mengurungkan niatnya tersebut.
“Chris, aku—"
“Kita bicarakan saja di rumahmu.” Pria itu kembali menyela, lalu memutar tubuhnya dengan acuh tak acuh.
Kemarahan, kekecewaan dan kebencian telah bercampur aduk di dalam kepala Chris. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana mempersiapkan hatinya untuk mendengar cerita dari bibir wanita itu.
Amora menatap sendu punggung Chris. Sikap dingin yang ditujukan padanya telah memberikan jawaban kepadanya. Mana mungkin Chris akan menerima keadaannya yang kotor seperti ini. Ia saja merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Apalagi Chris!
***
Regis Lorenzo baru saja bangun dari tidurnya. Ia menatap kosong sisi ranjang di sampingnya, lalu menyeringai sinis.
“Wanita bodoh itu benar-benar tidak pamit, huh?” gumamnya.
Padahal pagi ini ia berniat menginterogasi wanita yang telah berbagi kehangatan dengannya semalam, tetapi sayangnya, wanita itu memilih untuk pergi tanpa pesan apa pun. Padahal selama ini semua wanita berusaha mengambil hatinya dan memperlakukannya bak soerang raja.
Wajah Regis berubah nanar tatkala menemukan sejumlah uang di atas nakas yang berada di samping ranjangnya. Tangan besarnya meremas lembaran uang tersebut dengan perasaan yang berkecamuk hebat.
Wanita yang sudah menggodanya dan merengut benih dari pusaka keperkasaannya itu semalam malah meninggalkannya seperti seorang laki-laki bayaran untuk memuaskan nafsunya saja. Regis benar-benar merasa dirinya terhina dan tidak berharga di mata wanita itu.
“Berengsek!” maki Regis dengan penuh amarah.
Regis melempar uang di tangannya itu ke atas hingga lembaran uang itu bertebaran di sekelilingnya. Ia pun menyambar celananya yang teronggok di lantai dan mengenakannya dengan cepat, lalu mengambil kemejanya yang tergeletak di atas ranjang. Sayangnya, kancing kemejanya sudah tidak utuh lagi karena ulah wanita itu semalam.
Regis akui jika dirinya benar-benar sangat puas dengan percintaan yang dilakukannya dengan wanita asing itu. Akan tetapi, ia tidak bisa menerima penghinaan yang secara tidak langsung ditujukan untuknya.
Embusan napas kasar bergulir dari bibir Regis. Ia berpikir untuk mencari wanita itu untuk mendapatkan penjelasan dan pertanggungjawaban. Akan tetapi, ia tidak tahu harus mencari wanita itu ke mana.
Namanya saja Regis tidak tahu. Ia menyesal karena semalam malah memilih untuk beristirahat akibat kelelahan yang menderanya setelah pertempuran panas mereka. Hasilnya, ia malah kehilangan wanita itu pagi ini.
“Sial! Seharusnya semalam aku menanyakan namanya,” gerutu Regis dengan kesal.
Perlahan kekesalan Regis teralihkan. Sepasang netranya menyipit tajam ketika melihat sebuah benda berkilau yang terselip di antara seprai ranjang yang berantakan. Ia pun meraih benda tersebut yang merupakan salah satu anting yang tertinggal oleh wanita itu semalam.
Sudut bibirnya terangkat sempurna ketika menemukan anting berbentuk hati yang bertahtakan berlian tersebut.
“Wanita itu sepertinya ingin bermain-main denganku,” gumamnya dengan nada dingin.
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d