“A-Apa?”
Kening Amora mengernyit. Ia tidak bisa mencerna ucapan pria itu dengan cepat karena pengaruh alkohol yang diminumnya, tetapi satu hal yang diketahuinya adalah pria itu akan membunuhnya kalau tidak mematuhi ucapannya.
Sebelum Amora sempat merespon, tangannya telah ditarik keluar oleh pria itu dari ruangan tersebut. Demi mempertahankan nyawanya dan keluar dari situasi aneh itu, Amora hanya bisa memasrahkan dirinya untuk mengikuti keinginan pembunuh tersebut.
Mereka menyusuri koridor hotel dengan langkah cepat. Samar-samar Amora mendengar beberapa orang tengah mengejar mereka di belakang. Lebih tepatnya mengejar pembunuh itu!
‘Apa-apaan ini?’ teriak Amora di dalam hati dengan wajah tercengang.
Meskipun kepalanya masih terasa melayang karena alkohol, tetapi ia dapat merasakan bahaya yang terjadi di sekelilingnya. Dalam sekejap rasa takut memenuhi diri gadis itu.
Akan tetapi, Amora dapat merasakan keteguhan yang menguatkannya sedang mengalir dari tangannya yang sedang tergenggam erat oleh pria yang berjalan di depannya.
‘Perasaan aneh apa ini?’ batinnya. Debaran jantung Amora berpacu semakin cepat seiring dengan rasa panas yang menjalar di tubuhnya. Dengan langkah terseret-seret, Amora mengikuti pria itu tanpa menoleh lagi ke belakang.
Karena langkah pria itu semakin cepat daripada sebelumnya, Amora pun tersandung dengan kakinya sendiri. Berjalan saja sudah susah baginya, tetapi ia malah disuruh berlari!
Tidak aneh jika ia terjerembap dengan mengenaskan sekarang. Namun, pria itu malah membantunya berdiri, lalu menggendong tubuh Amora di kedua belah tangannya.
Amora benar-benar bingung. Padahal pria itu bisa saja membunuhnya, lalu meninggalkannya karena sudah merepotkannya. Akan tetapi, sebaliknya, Amora malah merasa sedang dilindungi olehnya.
“Kyaaaa!” Amora berteriak histeris.
Kedua netranya terpejam erat tatkala mendengar suara desingan peluru yang melesat di dekatnya. Ia pun melingkarkan kedua lengannya di leher kokoh pria itu agar tidak terjatuh.
Suara desingan peluru yang lain kembali terdengar hingga akhirnya Amora membenamkan wajahnya pada dada bidang pria yang sedang menggendongnya itu. Terdengar keselarasan irama suara detak jantung dirinya dan pria itu di telinganya.
Perlahan Amora membuka matanya ketika ia tidak lagi mendengar suara apa pun di belakang dan sekitar mereka. Amora baru menyadari bahwa pria itu telah membawanya masuk ke dalam lift. Amora tidak tahu apakah ia harus menghela napas lega atau tidak karena masalahnya dia sedang berada di dalam lift berdua saja dengan seorang pembunuh!
Dengan ketakutan yang memenuhi kepalanya, Amora mengangkat sedikit wajahnya dan bertemu dengan bibir maskulin pria itu. Ia pun meneguk salivanya dengan kasar.
“Tu-Turunkan aku,” cicitnya.
Akan tetapi, pria itu mengabaikan permintaannya hingga pintu lift terbuka kembali. Seorang pria lainnya telah menyambut Amora dan pembunuh itu di depan lift. Ia menyelipkan sesuatu di tangan pembunuh itu dan mereka berbicara dengan kalimat yang tidak terlalu jelas di telinga Amora.
Napas Amora terasa semakin berat. Pandangannya juga semakin mengabur, lalu ia kembali menyandarkan kepalanya pada pundak pria pembunuh itu.
Sayup-sayup Amora hanya merasakan pria itu terus melangkah dan memasuki sebuah kamar, lalu tubuhnya dibaringkan di atas ranjang yang empuk dengan hati-hati olehnya.
Manik mata hazel Amora menyipit tajam. Ia berusaha memusatkan pandangannya ke sekitarnya dan mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. ‘Jangan-jangan … dia mau membunuhku di sini?’ batinnya yang membuatnya tersentak.
Amora pun beringsut bangkit dari ranjang, tetapi sayangnya, tubuh dan pikirannya tidak dapat bekerja sama dengan baik. Pria itu kembali menghampirinya, lalu menyodorkan segelas minuman kepadanya dan memerintahnya untuk meminumnya. Akan tetapi, Amora tidak melakukannya. Ia tidak sebodoh itu menerima minuman dari seorang pembunuh!
Amora menepis tangan pria itu hingga gelas tersebut hancur berantakan di atas lantai. Ia tahu tindakannya itu telah mengundang kemarahan pria itu. Ia berpikir pria itu akan mengakhiri nyawanya sekarang, tetapi ternyata pria itu tidak melakukan tindakan apa pun.
Dibandingkan rasa takut, rasa gelisah yang muncul di dalam diri Amora terasa semakin membesar. Ia melangkah dengan terhuyung-huyung, tetapi hampir saja terjatuh karena kecorobohannya sendiri.
Akan tetapi, sepasang tangan besar telah menahan pinggangnya dari belakang sehingga Amora tidak jatuh dengan sangat memalukan. Masih dengan wajah tertunduk, Amora menepis tangan pria itu dari pinggangnya.
Tanpa melewatkan kesempatan sedikit pun, Amora kembali melangkah menuju pintu keluar. Namun, pria itu telah lebih dulu mencapai pintu dan bergerak dengan cepat menutup pintu kamar hotel tersebut.
Wajah Amora berubah pias. Tidak ada lagi tempat bagi gadis itu untuk melarikan diri. Kini ia seperti seekor tikus yang terperangkap di dalam jebakan. Gadis itu terus berjalan dengan langkah terhuyung-huyung mengitari seluruh ruangan.
‘Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus mati di sini? Aku belum mau mati. Sebentar lagi aku akan menjadi istri Chris. Aku tidak mau mati!’ jerit Amora dengan panik di dalam kepalanya.
Lutut Amora membentur sudut-sudut meja dan kursi di dalam kamar tersebut karena kepanikannya sendiri. Gadis itu tidak bisa mengatur langkahnya sendiri. Pengaruh alkohol sedang merengut akal sehatnya sehingga keseimbangan di dalam dirinya menjadi terganggu.
Amora tersentak ketika ia memutar tubuhnya dan menemukan pria itu telah berdiri tepat di hadapannya!
Amora memundurkan langkahnya hingga ia terjebak di sudut ruangan. Tubuhnya gemetar tatkala punggungnya menyentuh dinding kamar yang dingin di balik blouse sabrina-nya yang tipis.
Meskipun Amora masih tidak bisa melihat jelas wajah pembunuh itu, tetapi ia berusaha keras untuk memusatkan pandangannya kepada pria itu dengan penuh keberanian.
“T-Tolong … jangan bunuh saya,” pinta gadis itu dengan penuh harap.
Mendengar ucapannya, sudut bibir pria itu perlahan terangkat tipis. Senyuman pria itu kembali menimbulkan sensasi aneh yang muncul di dalam diri Amora.
“Jangan takut. Saya tidak akan melukaimu.”
Bisikan pria itu terdengar sangat lembut di telinga Amora. Pria itu mendekati wajahnya dan menyeka peluh di kening Amora dengan jemarinya. Sentuhan itu malah membuat gadis itu terbuai.
Sungguh, Amora tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tubuhnya seolah ingin menyambut sentuhan lembut dari pria itu sekali lagi.
Aroma musk yang menguar dari tubuh pria itu ikut membuatnya menggila, lalu pikirannya menjadi semakin kacau dan ia bergerak menyentuh wajah pria itu dengan punggung tangannya tanpa bisa ia kendalikan lagi.
Tiba-tiba saja wajah pria itu terlihat mirip dengan calon suaminya dan membuat sudut bibir Amora melengkung sempurna. Ilusi yang muncul membuat Amora menjadi lebih berani.
“Kamu sangat tampan, Sayang,” gumam Amora yang tidak dapat lagi membendung gelora yang terus memberontak di dalam dirinya.
Jemari Amora bergerak semakin liar dan lancang. Menyusuri tulang selangka pria itu, lalu berhenti pada dada bidang yang telah membuatnya menjadi gelap mata.
Lebih gilanya lagi, Amora malah menarik paksa kemeja pria itu hingga dua kancing kemeja terlepas dan berjatuhan ke lantai. Ia meneguk salivanya dengan kasar ketika otot-otot dada yang seksi dari pria itu terekspos lebih jelas.
Rasa panas menyelimuti tubuh Amora hingga ia merasakan gelenyar aneh yang muncul di dalam dadanya. Jemari lentiknya bergerak menyusuri dada pria itu, lalu menyingkirkan kemeja yang menghalangi pandangannya dengan gerakan yang sensual.
Amora mengangkat sedikit wajahnya yang akhirnya bertemu dengan bibir maskulin yang perlahan terbuka dan berkata, “Nona, sepertinya Anda—"
Tanpa memberikan kesempatan pria itu berbicara, Amora telah mendaratkan bibirnya di sana. Tubuh pria itu terpaku selama beberapa detik, tetapi aroma manis dari bibir Amora membuatnya sulit untuk menolak kelembutan tersebut.
Pria itu pun membalas ciuman yang kaku dari Amora, lalu menuntunnya menjadi lebih cepat dan bergairah. Beberapa detik kemudian, pria itu melepaskan ciuman tersebut lebih dulu.
Dengan napas yang terengah-engah, pria itu bertanya, “Nona, apa Anda sadar dengan yang Anda lakukan sekarang?”
Sayangnya, Amora tidak mengindahkan pertanyaan pria itu. Ia kembali memagut bibir yang telah membuat pikirannya melayang jauh. Kenikmatan yang telah membuainya tidak lagi membuatnya sadar bahwa tindakan yang dilakukannya ini akan membuatnya sangat menyesal keesokan harinya.
Ciuman panas yang menggila yang tengah dilakukan Amora telah memacu hormon yang membangkitkan hasrat di dalam tubuh pria itu. Perlahan tapi pasti, pria itu menangkup wajah Amora dengan satu tangannya yang besar, lalu membalas kembali ciuman itu dengan tidak kalah memburunya.
Satu tangannya yang lain telah menyusup masuk ke dalam blouse sabrina yang dikenakan gadis itu. Di sela-sela ciumannya, Amora mendesah dengan sentuhan yang diberikan pria itu pada puncak kembarnya yang telah tidak tertutup apa pun.
Pria itu menuntun langkah Amora hingga mereka berada di atas ranjang kamar hotel tersebut. Masih tanpa melepaskan ciumannya, pria itu mengungkung tubuh Amora, lalu helai demi helai kain yang menutupi tubuh mereka telah berakhir di atas lantai.
"Apa kamu tidak akan menyesalinya, Nona? Aku tidak akan berhenti kalau kamu tidak menahanku sekarang," ujar pria itu mengingatkannya.
Pria itu tahu jika Amora sedang dalam pengaruh obat perangsang, tetapi keindahan yang terpampang nyata di hadapannya sulit membuat seorang pria normal sepertinya tidak terlena.
Kedua manik mata hazel Amora dapat melihat betapa indahnya pahatan otot yang membungkus tubuh pria itu. Sudut bibirnya mengembang sempurna ketika ia melihat bayangan wajah Chris pada wajah pria itu.
Amora pun melingkarkan kedua lengannya pada leher kokoh pria itu dan berkata, “Jangan berhenti. Buktikan kehebatanmu, Sayang.”
Tantangan yang terlontar dari bibir Amora membuat semangat pria itu membara. Ia kembali mencumbu bibir gadis itu dengan rakus seolah tiada hari esok lagi ia menuntaskan dahaganya.
Lumatan yang dipenuhi gairah yang tak tertahankan lagi membuat keduanya larut dalam kenikmatan yang melebur menjadi satu. Sentuhan yang lembut dari tangan pria itu membuat bibir Amora terus melenguh dan mendesah tanpa henti.
Suara erangan juga terdengar dari bibir Amora tatkala benda pusaka pria itu berhasil menerobos dinding tipis miliknya yang sedikit demi sedikit luruh. Setelah menanam benihnya di dalam inti berharga Amora, pria itu menarik dirinya menjauh.
Pria itu tercenung ketika melihat cairan merah seperti kelopak bunga merah segar yang indah tertinggal di atas seprai ranjang itu. Perlahan sudut bibirnya terangkat sempurna. Terlihat sebuah kebanggaan yang luar biasa dari rona wajah pria itu karena berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat berharga malam ini.
Pria itu kembali mendekati Amora, lalu kembali memacu dirinya untuk memuaskan hasrat Amora yang belum sepenuhnya tuntas. Beberapa kali desahan lolos dari bibir Amora ketika pria itu menyentuh titik-titik sensitifnya dan membawanya menuju puncak tertinggi dalam permainan yang semakin memanas.
Ketika permainan tersebut berakhir, pria itu memberikan kecupan ringan pada kening gadis yang telah menjadi wanitanya. Amora terlihat sangat lelah, tetapi juga terukir kepuasan di wajahnya. Manik mata hazel yang teduh milik Amora menghangatkan ekspresi pria itu.
Akan tetapi, kehangatan itu menjadi dingin tatkala mendengar gumaman kecil yang bergulir dari bibir Amora, “Chris, ternyata kamu memang hebat. Aku mencintaimu.”
Wajah pria itu seolah membeku mendengar panggilan yang disertai pujian lembut yang tertuju bukan untuknya. Perlahan wajahnya berubah nanar. Ia memandang tajam wanita yang kini telah terlelap dengan dengkuran halus di hadapannya saat ini.
Pria pemilik nama lengkap Regis Lorenzo tersebut mengeratkan rahangnya. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu merebahkan tubuhnya di samping wanita itu. Meskipun Regis tahu jika wanita itu berada dalam pengaruh obat perangsang, tetapi salah mengenalinya sebagai pria lain benar-benar melukai harga dirinya yang tinggi.
‘Beraninya wanita ini!’ geram Regis di dalam hati.
Cinta satu malam penuh gairah itu telah berakhir, tetapi Amora telah membangkitkan kemarahan seorang penerus dunia hitam yang dijuluki sebagai pangeran kegelapan!
Amora meneguk salivanya dengan kasar. Kedua bola matanya membulat besar tatkala ia mendapati punggung kekar yang asing di atas ranjang yang sama dengannya. Tatapannya berubah horor ketika melihat tato bergambar kepala naga yang menyeramkan di punggung sosok tersebut.‘Apa yang terjadi padaku? Bukankah semalam aku bersama Chelsea dan yang lain? Kenapa aku bisa ….’Manik mata hazel Amora mengerjap berulang kali. Menatap langit-langit kamar yang asing di dalam ingatannya. Ia benar-benar terkejut saat mendapati dirinya dalam kondisi tanpa sehelai benang pun.Hanya selimut tipis yang menutupi tubuh polosnya itu. Amora bangkit dengan sangat cepat, tetapi rasa sakit yang luar biasa hebat seakan merobek bagian intimnya itu membuat gerakan Amora terurungkan.Kepala Amora berdenyut hebat. Ia mencengkeram kedua sisi kepalanya dan berusaha menggali ingatannya. Suara tawa dan pujian serta ucapan selamat dari para teman seangkatannya itu terngiang di dalam ingatannya, lalu terlintas bayangan diriny
“Kamu masih tidak mau bicara, hah?” Suara teriakan pria tua yang menggelegar terdengar membahana di tengah ruang keluarga kediaman Lysander. Terlihat sosok Amora yang tengah duduk bersimpuh di lantai ruangan tersebut. Wajahnya tertunduk dalam. Manik mata Amora melihat sepasang kaki milik pria tua yang sedang berdiri di hadapannya dengan satu tongkat di tangannya. Dia adalah Charlie Lysander, kakek kandungnya. Plak! Tiba-tiba saja sebuah tamparan pedas yang dilayangkan pria tua itu mendarat di pipi Amora. Tubuh Amora tersungkur di lantai karena tamparan tersebut. Kedua bola mata Amora membulat besar. Buliran kristal mengalir deras di kedua pipi Amora. Salah satu tangannya memegang pipinya yang memanas karena tamparan tersebut. Ia tidak menyangka sang kakek akan memberikan pukulan atas sikap diamnya. “Cukup, Charlie! Apa kamu harus memukulnya seperti ini?” Seorang wanita tua yang sedang duduk di kursi rodanya, segera menyela tindakan Charlie yang hendak melayangkan tamparan kepada
‘Sepertinya semuanya sudah berakhir,’ batin Amora yang telah terduduk lemas. Ia berusaha meredam isak tangisnya dengan menggigit bibirnya kuat-kuat. Keputusan yang baru saja bergulir dari kepala keluarga Walden tersebut membuat Amora terhenyak. Ia hanya bisa meratapi ucapan Kelvin Walden dalam diam. Buliran bening kembali lolos dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua belah pipinya. Meskipun Kelvin telah mengeluarkan keputusannya, tetapi kakek Amora masih berusaha membujuknya. Pria tua itu tidak bisa menerima keputusan tersebut begitu saja. “Tuan Walden, sebaiknya kita bicarakan lagi. Saya tau Anda dan Nyonya Walden sangat marah karena hal ini. Saya juga merasa sangat malu. Tapi, undangan sudah kita sebar. Bagaimana bisa kita membatalkannya begitu saja?” cetus Charlie Lysander. Sebagai seorang yang lebih tua, tentu saja merupakan sebuah penghinaan bagi Charlie untuk menundukkan wajahnya kepada orang yang lebih muda darinya. Akan tetapi, pria tua itu tidak memiliki pilihan lain k
Ucapan Chris membuat hati Amora merasa lega. Setidaknya masih tersisa sedikit rasa di dalam hati pria itu untuknya walaupun dirinya bukan lagi wanita yang pantas untuk bersanding di sisinya. Lain halnya dengan Cassandra, wajah wanita itu langsung berubah nanar. “Kenapa? Kamu masih ingin menikahi wanita kotor itu?” bentaknya. Cassandra mengacungkan telunjuknya ke arah Amora dengan penuh amarah. Membuat Amora tersudutkan dengan kata-kata kasarnya tersebut. Helaan napas panjang bergulir dari bibir Chris. Pria itu mencoba menimpali dengan tetap tenang, “Bukan begitu, Ma. Aku tidak mencintai Bianca. Bagaimana bisa Mama menyuruhku menikahinya?” “Cinta bisa dipupuk nanti,” timpal Cassandra dengan ketus. Kedua netra Chris terbelalak lebar mendengar ucapan ibunya itu. “Mama!” Nada suara Chris mulai meninggi. Membuat Cassandra terperangah selama beberapa detik. Namun, wanita itu kembali melayangkan ancamannya, “Kalau kamu tidak ingin melihat Mama mati di hadapanmu, lebih baik kamu mengikut
[Tujuh tahun kemudian]“Hei, anak haram!”Bocah laki-laki berparas mungil nan tampan menghentikan langkahnya ketika seorang teman sebayanya yang bertubuh gemuk menghalangi pintu masuk kelasnya. Ia menatap lurus bocah sebayanya itu dengan ekspresi yang datar.Anak laki-laki tampan bernama Rayden Lysander tersebut menghela napas pelan. Entah sudah ke berapa kalinya temannya itu memanggilnya dengan sebutan kasar tersebut. Seperti biasanya, ia memutuskan untuk tidak mempedulikan ledekan temannya itu.Rayden kembali melanjutkan langkahnya. Namun, bocah berwajah bulat itu malah membentangkan kedua tangannya sehingga langkah Rayden terurung.“Apa kamu tidak mendengarku, Anak Haram?!” bentak Benjamin Brown, bocah laki-laki bertubuh gempal tersebut.“Kamu berbicara denganku, Ben?” tanya Rayden dengan nada yang terdengar polos.Wajah Benjamin langsung memerah karena merasa dipermainkan Rayden. “Memangnya siapa lagi anak haram di sini kalau bukan kamu?” cetusnya seraya mengacungkan tangannya ber
“Amora, tolong nanti kamu bersihkan lantai koridor empat ya!”Seorang wanita paruh baya memanggil Amora yang sedang menyusun beberapa produk makanan ke dalam etalase. Wanita muda berpakaian seragam karyawan toko bernama Amora Lysander itu menoleh.“Ada anak yang menumpahkan minumannya tadi,” lanjut wanita paruh baya itu.Dia adalah Della Houston, manajer toko WW Mart tempat Amora bekerja saat ini.“Baik, Nyonya Houston. Saya akan ke sana setelah ini,” sahut Amora.Della pun kembali berkeliling ke area toko yang lain untuk memeriksa kelengkapan barang dan kebersihan serta operasional toko tersebut.Helaan napas lelah bergulir dari bibir Amora. Ia sudah bekerja sejak pukul lima pagi tadi dan belum sempat beristirahat untuk meminum seteguk air. Toko serba ada tempatnya bekerja merupakan toko yang beroperasi 24 jam penuh.Toko tersebut berlokasi di area yang cukup padat aktivitasnya sehingga tidak mengherankan jika banyak pengunjung yang datang berbelanja ke toko tersebut.Meskipun lelah,
“Lihatlah nodanya sekarang semakin melebar!”Gadis pelajar itu merebut sepatunya dari tangan Amora. Wajahnya terlihat sangat kesal. Namun, Amora tahu jika gadis itu hanya ingin mencari masalah dengannya saja.Amora tidak tahu apa tujuan gadis itu menyudutkannya, tetapi ia berpikir untuk segera menyelesaikannya dengan pikiran yang tenang. Ia tidak ingin tersulut oleh emosi remaja angkuh itu.Amora kembali menghela napas panjang. Ia akui jika noda sepatu gadis itu memang melebar karena ia menggosoknya tadi.“Jika Anda ingin meminta ganti rugi, saya tidak sanggup membayarnya,” aku Amora. Ia kembali mengambil sepatu dari tangan gadis itu dan lanjut berkata, “Tapi, kalau Anda mau memberikan saya kesempatan dan waktu. Saya akan membersihkannya di rumah nanti.”Gadis itu terlihat kesal, tetapi ia tidak bisa mempersulit Amora lebih jauh lagi karena pandangan para pengunjung yang lain membuat posisiya tersudutkan.Suara desas-desus mulai terdengar dari bibir mereka tentang sikap semena-menanya
"Maaf saya sedikit terlambat." Amora baru saja tiba di sekolah putranya. Ia telah berada di dalam ruang guru di mana terlihat sosok wali kelas Rayden yang sedang duduk bersama seorang wanita berpenampilan serba elit dari atas hingga ujung kakinya. Tidak seperti Amora yang datang dengan penampilan kusut karena debu dan peluh yang menempel pada tubuhnya. Namun, ia tetap tersenyum dengan percaya diri. "Tidak apa-apa, Nyonya. Silakan duduk." Daisy Miller yang merupakan wali kelas dari Rayden Lysander, mempersilakan Amora untuk duduk bersamanya. Ia pun menjelaskan hal yang terjadi terkait masalah yang melibat dua anak didiknya kepada kedua wanita yang duduk menghadapnya di dalam ruangan itu. "Begitulah ceritanya, Nyonya Lysander. Saya mendengar jika Rayden yang memulai lebih dulu dalam perkelahian itu," ujar Daisy. Ia mendapatkan informasi tersebut berdasarkan kesaksian dari para anak didiknya. Wanita itu tidak tahu jika semua kebohongan itu tercipta karena tekanan yang diberikan Ben