“Sempurna!”Seulas senyuman lebar menghiasi wajah Amora ketika ia menatap penataan produk yang baru saja dilakukannya di salah satu rak display. Ia mendorong troli kosong ke dalam gudang penyimpanannya dan melihat sosok Biana yang sedang mengatur beberapa barang yang baru saja masuk.“Bia, apa ada yang perlu aku bantu?” tanya Amora kepada gadis itu.“Tidak apa-apa, Amora. Ini aku juga sudah mau selesai,” jawab Biana seraya menghitung jumlah produk yang masuk dan mencatatnya ke dalam kertas kecil yang dibawanya.Amora mengangguk tipis. Ia melangkah menuju rak khusus untuk penyimpanan barang para karyawan yang bekerja di WW Mart tersebut. Ia mengambil tas ranselnya yang tersimpan di sana.“Oh iya, bagaimana dengan semalam? Apa laki-laki itu masih menginterogasimu?” tanya Amora yang kini telah berjalan menuju kursi kosong yang tersedia di gudang penyimpanan itu. Biana menoleh sekilas, kemudian menjawab, “Tidak. Dia langsung pergi tidak lama setelah aku meneleponmu.”Amora tertegun. Ia c
“Tuan Carter, apa Anda memiliki kriteria wanita idaman? Apa menurut Anda ... saya pantas menjadi pendamping hidup Anda?”Seorang wanita muda berpakaian seksi dengan belahan dada yang menantang sedang menatap nakal sosok Mark Carter. Asisten Regis tersebut sejak tadi hanya memasang ekspresi datar dengan sorot mata penuh selidik kepada kandidat kencan butanya siang ini.Ia dapat melihat jelas jika wanita itu sedang mencari perhatian darinya dengan melemparkan senyuman genitnya. Namun, Mark tidak sedikit pun tergerak oleh godaan wanita itu."Saya tidak memiliki kriteria apa pun, Nona Clarkson. Saya hanya ingin mencari seseorang yang dapat memberikan keuntungan kedua belah pihak," jawab Mark dengan berterus terang akan tujuannya mengikuti perjodohan tersebut.“Oh ya? Saya sangat menyukai lelaki yang memiliki prinsip. Saya rasa … Anda adalah kriteria pria idaman yang saya cari, Tuan Carter,” jawab wanita itu dengan nada mendayu m
“Anda sudah terlambat sepuluh menit dari waktu janjian kita, Nona Lysander.”Seorang pria asing berusia sekitar tiga puluhan sedang melirik arloji mahalnya, lalu menatap Amora yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas sofa empuk yang berhadapan langsung dengannya.Terlihat setangkai bunga mawar mewah yang disematkan pada kerah jas pria itu. Bunga itu memang sengaja dipersiapkan agar pasangan kencan butanya alias Amora Lysander dapat mengenalinya.Manik mata Amora menatap lurus wajah pria itu yang tampak memendam emosi terhadap dirinya. Nada suara pria itu juga terdengar cukup sinis.“Maaf sudah membuat Anda menunggu lama, Tuan,” ujar Amora yang terpaksa mengakui kesalahannya dengan enggan.Amora tahu jika keterlambatannya memang patut dikritik, tetapi sejak awal ia memang tidak berniat untuk memenuhi janji kencan butanya. Jika bukan karena memikirkan denda yang harus dibayarkan kepada pihak pasangan kencannya, ia tidak akan datang ke kafe itu.Sebelumnya Amora berniat meminta penje
Syok! Satu kata itulah yang pantas menggambarkan ekspresi wajah Amora saat ini. Wanita itu benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan pria yang paling tidak ingin ditemuinya. Regis Lorenzo tiba-tiba saja datang mengusik kencan butanya dan memanggilnya ‘Sayang’. Tentu saja hal ini membuat Amora bertanya-tanya.‘Apa dia sudah gila? Kenapa dia memanggilku dengan sebutan seperti itu?’ Amora hanya bisa menggerutu di dalam hatinya dengan histeris karena ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Ia masih berpikir mungkin saja lidah pria itu sedang keseleo sehingga tanpa sengaja memanggilnya seperti itu. “Sepertinya Anda salah orang, Tuan,” ucap Amora yang mencoba meluruskan kesalahan Regis. Sayangnya, Amora tidak pernah menyangka jika Regis malah tersenyum tanpa rasa bersalah dan berkata, “Apa kamu masih marah denganku, Sayang? Maafkan aku karena sudah membatalkan kencan kita kemarin.” “Apa?” Amora kembali terperangah. Sebelum wanita itu sempat mempertanyakan kebingungannya,
Dada Amora bergerak naik turun dengan cepat. Ia tampak kesusahan mengikuti langkah Regis yang berjalan di depannya. Pria itu masih menggenggam pergelangan tangannya dengan erat seolah khawatir jika Amora akan melarikan diri darinya jika dibiarkan lepas begitu saja."Tuan, berhenti! Sepertinya dia sudah tidak mengejar kita,” ucap Amora dengan napas tersengal-sengal. Tadi Amora sempat menoleh ke belakang dan tidak menemukan sosok Felix Wright yang mengikuti mereka seperti yang dikhawatirkannya. Sekarang ia berpikir tidak perlu lagi melarikan diri dari pasangan kencannya tersebut mengingat bagaimana tadi Regis mengancamnya.Akan tetapi, Regis masih meneruskan langkahnya dan menarik Amora bersamanya. Padahal wanita itu berharap Regis dapat membiarkannya pergi.“Tuan!” panggil Amora lagi dengan nada yang lebih keras dibandingkan sebelumnya. Deru napasnya tampak terputus-putus karena berusaha mengimbangi langkahnya dengan Regis.Akhirnya lambat laun langkah Regis pun terhenti. Kini mereka
“Apa yang Anda inginkan?” Amora langsung bertanya tanpa basa-basi kepada Regis. Ia tidak berniat untuk membohongi pria itu lagi terkait identitasnya. Berdasarkan pemahamannya terhadap keluarga Lorenzo yang dibacanya melalui penelusuran internet, Amora tahu jika pria itu memiliki kekuasaan penuh untuk mendapatkan informasi dengan mudah asalkan pria itu menginginkannya. Bukanlah hal baik jika ia masih bersikukuh dengan kebohongannya. Regis tidak menjawab pertanyaan Amora secara langsung. Ia melirik Mark yang baru saja keluar dari kafe. Hanya dengan lirikan sekilas itu saja Mark sudah dapat memahami maksud dari atasannya tersebut. Ia pun mengeluarkan kunci mobilnya dan menekan tombol kecil untuk mematikan alarm mobil serta membukakan pintu yang terkunci. Regis tersenyum puas, kemudian ia membuka pintu mobil bagian belakang dan berkata kepada Amora seraya mempersilakan wanita itu, “Masuklah, Nona." "Kenapa harus berbicara di mobil?” balas Amora dengan curiga. Regis mengedikkan bahun
‘Jadi dia sudah mengingat semuanya? Bagaimana ini? A-apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus mengakuinya?’ Amora menggigit bibirnya dengan kuat. Ia tidak tahu menjawab seperti apa, selain mengakui semua hal yang telah dilihatnya selama tujuh tahun yang lalu. Namun, berbagai persepsi negatif yang muncul telah memenuhi benaknya dan membuat ketakutannya berlipat ganda. ‘Tapi, bagaimana kalau … kalau nanti dia membunuhku langsung di tempat seperti yang dilakukannya pada waktu itu?’ Momok mengerikan yang terbayang di dalam benaknya itu membuat Amora mengurungkan niatnya untuk mengakui semuanya. Ia tidak tahu Regis akan bertindak seperti apa terhadap pengakuannya tersebut. Ia khawatir akan membuat pria itu murka dan malah melibatkan Rayden kelak. “Tidak perlu takut, Nona Lysander. Saya hanya ingin berdiskusi saja dengan Anda dan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kenangan indah kita malam itu,” ujar Regis. Kedua tangan Amora terkepal erat. Ia semakin yakin jika Regis hampi
Regis mengulum senyumnya. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya dari tangan dan rahang Amora, kemudian ia mengusap bibirnya yang basah sejenak.“Sepertinya rasa bibirmu masih sama seperti dulu. Hanya saja menciummu tadi seperti sedang berciuman dengan duri landak. Terlalu kaku dan menyakitkan,” ledek Regis.Amora melotot. Ia ingin mengumpat kasar, tetapi akhirnya membuang napasnya dengan penuh kekesalan.“Apa salahnya Anda mengakuinya, Nona Lysander? Apa menghabiskan malam dengan saya sangat mempermalukanmu, hm?”Amora memutuskan untuk tidak ingin meladeni ucapan pria itu dan mengusap pelan kedua pergelangan tangannya yang memerah karena cengkeraman pria itu tadi.Diam-diam sudut matanya memperhatikan Regis yang sedang mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu menyodorkan benda berkilau di telapak tangannya itu kepada Amora.“Saya rasa Anda tidak akan lupa dengan benda ini, bukan?” tanya Regis dengan penuh percaya diri.“Itu ….”Amora langsung menggigit bibirnya, kemudian kembali me