Hujan deras mengguyur kota malam itu, menciptakan irama yang samar menenangkan namun penuh kesedihan. Di apartemennya yang luas, Devandra duduk sendirian di ruang kerja, tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Sebuah gelas bourbon hampir kosong berada di atas meja, sementara tangan kirinya memegang sebuah bingkai foto tua.
Foto itu sederhana, tetapi menyimpan begitu banyak kenangan. Seorang bocah kecil dengan senyum polos berdiri di samping seorang wanita cantik yang memeluknya penuh kasih. Wanita itu adalah ibunya—sosok yang dulu menjadi dunianya, sebelum segalanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia harapkan. Kilasan Masa Lalu Devandra kecil duduk di tangga rumah mewahnya, memeluk boneka singa lusuh kesayangannya. Di ruang tamu, suara teriakan memecah keheningan malam. Ayahnya berdiri dengan wajah merah padam, memandang ibunya dengan penuh amarah. “Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu menyembunyikan uang dariku!” bentaknya kasar. "Aku hanya ingin menyimpan sedikit untuk kebutuhan Devandra. Apa salahnya?" jawab ibunya, suaranya bergetar. Tamparan keras mendarat di wajah ibunya, membuatnya terjatuh. Tubuh kecil Devandra menggigil di sudut tangga, memandangi pemandangan yang membuat hatinya remuk. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dalam diam. Hari-hari yang penuh kehangatan berubah menjadi mimpi buruk. Ibunya, yang dulu penuh senyum, semakin sering menangis. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindung, malah menjadi ancaman terbesar. Hingga suatu malam yang tak terlupakan, ibunya membuat keputusan yang mengubah segalanya. “Maafkan Mama, Dev,” ucapnya lembut sambil membelai rambut anak laki-lakinya. “Mama tidak kuat lagi.” "Jangan pergi, Ma. Tolong jangan tinggalkan aku," Devandra kecil memohon dengan air mata bercucuran. Namun, pelukan kecilnya tak mampu menahan keputusan ibunya. Malam itu, Devandra kehilangan orang yang paling ia cintai. Kembali ke Masa Kini Devandra memandang foto itu dengan mata yang kosong, lalu meletakkannya di atas meja. Luka lama itu terus menghantuinya, menancapkan duri-duri kecil di hatinya setiap kali ia mencoba melangkah maju. Baginya, cinta bukanlah kebahagiaan—cinta adalah luka yang tidak pernah sembuh. Namun, kehadiran Nayara mulai mengusik keyakinannya. Wanita itu memiliki sesuatu yang berbeda, sesuatu yang perlahan-lahan melembutkan dinding keras yang ia bangun di sekeliling hatinya. "Aku ingin percaya lagi," gumamnya pelan. "Tapi... apakah aku mampu mencintai tanpa menyakiti?" Devandra menarik napas panjang, memutuskan untuk menyimpan kenangan pahit itu di sudut pikirannya—setidaknya untuk malam itu. --- Pagi yang sibuk di kantor tidak mampu mengalihkan pikiran Devandra dari Nayara. Setiap kali wanita itu lewat, ia merasa hatinya bergetar. Devandra tahu ia semakin tenggelam dalam perasaan yang seharusnya ia hindari. Namun, ia juga sadar bahwa bayangan masa lalu masih menjadi penghalang besar. Menjelang sore, ia memanggil Nayara ke ruangannya. “Kamu ingin membahas laporan ini?” tanya Nayara sambil meletakkan dokumen di meja. Devandra menggeleng perlahan, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Tidak. Ada hal lain yang ingin aku bicarakan.” Nayara terlihat bingung. “Apa itu?” Devandra berdiri, berjalan menuju jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin jujur padamu, Nayara. Tentang siapa aku sebenarnya.” Nayara memandangnya penuh perhatian, mencoba membaca raut wajah Devandra yang kali ini terlihat rapuh. “Maksudnya?” tanyanya hati-hati. Devandra terdiam beberapa saat, lalu berbalik menghadap Nayara. “Aku mendekati mu bukan maksud untuk bermain-main, aku tau ini memang aneh karena aku bukan atasan yang mudah di dekati tapi, aku bukan pria yang seperti kamu pikirkan. Di balik semua ini, aku menyimpan banyak luka. Aku hanya takut, Nayara. Takut kalau aku mencoba mendekatimu, aku hanya akan menyakitimu." Nayara menatapnya, ragu untuk menjawab. Kata-kata Devandra terasa berat, seperti ada beban yang selama ini ia pendam sendirian. “Ada banyak hal yang belum kamu tahu tentangku, Nayara. Dan sebelum semua ini berkembang lebih jauh, aku merasa kamu berhak tahu.” Nayara menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, jantungnya berdegup cepat. “Apa maksudmu, Devandra?” Devandra berjalan perlahan menuju meja kerjanya, mengambil sebuah map tua dari laci. Ia membuka map itu, memperlihatkan foto seorang wanita yang tersenyum lembut. “Ini... ibuku. Wanita yang mengajarkan aku apa itu cinta. Tapi juga wanita yang meninggalkan aku dalam malam terburuk dalam hidupku.” Nayara terdiam, mencoba mencerna kata-kata Devandra. Ia tidak menyangka pria yang selalu tampak begitu dingin dan berwibawa ini menyimpan luka sedalam itu. “Aku tumbuh dalam keluarga yang... tidak seharusnya disebut keluarga,” lanjut Devandra, suaranya lebih pelan. “Ibuku meninggal setelah meninggalkan rumah, dan sejak itu, aku tidak pernah mempercayai apa pun yang disebut cinta. Bagiku, cinta selalu membawa luka. Itu sebabnya aku menjadi seperti ini—dingin, menjaga jarak dari semua orang.” Nayara merasa dadanya sesak. Ia bisa merasakan rasa sakit yang disimpan Devandra bertahun-tahun lamanya. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya—keberanian Devandra untuk membuka diri, untuk membiarkannya melihat sisi yang paling rapuh dari dirinya. “Devandra...” Nayara akhirnya berbicara, suaranya lembut. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku berterima kasih karena kamu mau jujur padaku.” Devandra menatapnya, mata gelapnya menyimpan harapan yang tersembunyi. “Aku tidak berharap kamu langsung mengerti atau menerima ini, Nayara. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa jika aku terlihat terlalu mendekatimu, itu bukan karena aku ingin memanfaatkan posisi atau situasi. Aku benar-benar ingin mencoba percaya lagi. Dan aku ingin mencoba itu bersamamu.” Kata-kata itu membuat Nayara terdiam. Ia tahu dirinya berada di persimpangan yang sulit—antara menjaga batas profesionalitas atau membiarkan dirinya merasakan sesuatu yang mungkin ia anggap mustahil sebelumnya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: kata-kata Devandra telah mengguncang hatinya. “Berikan aku waktu,” ucap Nayara akhirnya, dengan suara yang sedikit gemetar. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini.” Devandra tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Aku akan menunggu, Nayara.” Suasana hening menyelimuti ruangan itu, tapi bukan hening yang canggung. Ada kehangatan dan pengertian di antara mereka sebuah awal baru yang entah akan membawa mereka ke mana. --- To Be Continued.Di sebuah ruang kerja megah, Mahendra duduk di balik meja kayu mahoni yang besar. Ia menatap layar laptopnya, membaca laporan terbaru dari timnya yang melacak Nayara. Sorot matanya tajam, penuh determinasi. Baginya, wanita itu adalah alasan utama mengapa Devandra semakin jauh dari keluarga dan tanggung jawabnya sebagai pewaris perusahaan. Mahendra menutup laptopnya dengan kasar dan memijat pelipisnya. "Anak itu keras kepala," gumamnya pelan. "Jika dia tidak segera sadar, semua yang telah aku bangun akan sia-sia." Beberapa bulan terakhir, Mahendra merasakan perubahan besar pada Devandra. Putra nya yang dulu dingin tak tersentuh. Kini berubah hangat dan peduli bahkan penuh perhatian. Saat Nayara muncul dalam hidup Devandra. Wanita muda itu mungkin tidak sadar, tetapi kehadirannya memberi Devandra alasan untuk perubahan Devandra bahkan kini putranya semakin jauh untuk dia gapai. Nayara wanita dengan asal usul yang tidak jelas. Hidup sebatang kara di dunia ini... itu mustahil kecuali d
Nayara duduk termenung di apartemennya yang mungil di New York. Hatinya diliputi campuran emosi yang sulit ia pahami. Kecewa atas pembatalan kontraknya, bingung dengan tindakan Mahendra, dan kini ada sesuatu yang lebih rumit mengusik pikirannya, perasaannya terhadap Devandra. Selama ini, Nayara mengira Devandra hanyalah seseorang yang hadir dalam hidupnya sebagai teman kerja profesional. Namun, kenyataan bahwa ia terus memikirkan pria itu, merindukan suaranya, dan merasa hampa saat tidak bisa menghubunginya membuatnya sadar: ia telah jatuh cinta. "Kenapa harus dia?" pikir Nayara sambil memeluk lututnya di sofa. "Kenapa aku harus mencintai seseorang yang hidupnya penuh rahasia?" Perasaan itu terasa indah sekaligus menakutkan. Ia takut terluka, terutama karena Devandra adalah bagian dari keluarga yang kini menjadi sumber masalahnya. Bagaimana jika perasaannya hanya akan membawa lebih banyak kesedihan? --- Hari berikutnya, Nayara memutuskan untuk mencari udara segar di Central Park.
Nayara menghubungi agen nya dan menceritakan kabar baik itu. Agen nya sangat bahagia mendengar itu dan langsung mengatur jadwal pertemuan untuk menandatangani kontrak esok.Nayara merasa sangat bahagia dan bersemangat. Mimpi nya akhirnya terwujud. Ia akan menjadi model utama 'The Muse', salah satu perusahaan fashion terbesar di New York.Ia berjalan keluar dari kantor 'The Muse' dengan langkah yang ringan, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia merasakan seolah-olah semua yang ia lakukan selama ini terbayar lunas.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sebuah rasa kekosongan yang menyeruak di hatinya. Ia merasa sedikit hampa tanpa Devandra. Ia mengingat pertemuan terakhir mereka di Indonesia. Kata-kata Devandra masih terngiang di telinganya. "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian."Nayara tahu bahwa Devandra memiliki masalah yang besar, namun ia tak perna
Devandra kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap wajahnya yang dingin, mencerminkan kepribadiannya yang keras kepala dan tertutup. Ia selalu begitu, tak mau menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Ia terbiasa dengan dunia yang keras dan penuh bahaya.Ia mengingat perkataan Nayara, "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Namun, bagaimana bisa ia berbagi beban yang ia tanggung selama ini?Ia tak pernah melupakan kekecewaan yang dalam yang ia rasakan ketika ayahnya, Mahendra, meninggalkan ibunya dan dirinya. Kekecewaan itu menyeruak kembali ketika ia melihat Mahendra bersama istri barunya. Devandra tak pernah memaafkan ayahnya.Ayahnya yang seharusnya menjadi tiang penyangga kehidupan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan cinta, justru meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan. Devandra merasa dikhianati. Ia merasakan bahwa ibunya men
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu