Malam itu Aileen dan Arvino menonton film bersama di kamar hotel. Sebuah film romantis klasik yang alurnya sederhana, tapi menyentuh. Aileen beberapa kali tersenyum dan terharu, lalu memiringkan badan, bersandar ke lengan Arvino."Kalau dipikir-pikir… cinta di film tuh kelihatan sederhana, ya. Tapi kenapa di dunia nyata terasa jauh lebih rumit?" gumam Aileen.Arvino tertawa pelan. “Karena di film, semuanya disusun sempurna. Di dunia nyata, cinta tumbuh pelan-pelan, penuh kompromi, tapi lebih nyata.”Aileen menoleh menatap Arvino. “Tapi aku kadang penasaran… rasanya seperti apa… saat cinta itu… diwujudkan sepenuhnya.”Arvino menatap Aileen lembut. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu. Tapi ia juga tahu, mereka punya komitmen. Ia mengusap rambut Aileen perlahan."Aku mau kamu merasakan semuanya dengan utuh, tapi di waktu yang tepat. Saat kamu sudah jadi istriku. Saat semuanya sah, tanpa ada rasa ragu atau bersalah."Aileen menunduk, malu, namun merasa hatinya hangat oleh kalimat itu.“Ma
Aileen menghela napas panjang sambil menikmati hangatnya air di dalam bathtub. Uap menyelimuti seluruh ruangan, membuatnya merasa rileks dan segar setelah semalaman penuh dengan mimpi aneh yang mengguncang pikirannya.Selesai mandi, ia melilitkan handuk putih dan berjalan santai ke kamar. Rambutnya masih basah, pipinya memerah karena suhu air yang hangat. Ia membuka lemari besar di sisi kamar, mencari pakaiannya. Tapi… aneh.Kosong.Tidak ada satu pun pakaian yang ia kenali. Bukan gaunnya, bukan koper kecil yang ia tahu pasti dibawanya ke Paris.“Loh? Kok... nggak ada baju aku?” gumamnya, bingung.Baru saja ia menoleh, pintu kamar terbuka… dan muncullah Arvino, lengkap dengan pakaian santainya dan secangkir kopi di tangan. Ia membeku melihat Aileen berdiri hanya dengan handuk, di tengah kamar, menatapnya dengan wajah kaget.“Eh—ini… kamar saya, kan?” tanya Arvino cepat, bingung namun juga menahan tawa.Aileen menepuk dahinya, lalu menutup wajah dengan satu tangan. “Ya Tuhan… aku salah
Tiga bulan berlalu sejak Aileen pertama kali menerima kasus sengketa lahan milik Arvino. Persidangan demi persidangan dilalui dengan cermat. Bukti-bukti kuat, pendekatan humanis kepada warga, dan strategi hukum yang matang membuahkan hasil: gugatan terhadap perusahaan Arvino resmi ditolak pengadilan. Hak kepemilikan sah kembali ke pihaknya.Aileen sempat tak percaya saat hakim mengetuk palu dengan tegas. Di bangku klien, Arvino menatapnya dengan mata berbinar, lalu berdiri dan memberi anggukan penuh makna. Sejak saat itu, semuanya berubah.Setiap dua atau tiga hari, Arvino muncul di kantor firma hukum tempat Aileen bekerja. Bukan dengan tumpukan berkas, tapi dengan dua gelas kopi dalam carrier cardboard dan senyum santai yang mulai terasa akrab.“Masih suka caramel macchiato, kan?” tanyanya pada suatu pagi, meletakkan kopi dan sebotol infused water di meja Aileen.Aileen sempat menatapnya curiga. “Ini konsultasi atau... kebiasaan baru?”Arvino tertawa pelan. “Ya, keduanya. Tapi kebany
Sembilan bulan berlalu, dan di usia 45 tahun, Anya berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki dengan proses persalinan normal. Tak ada kata yang cukup menggambarkan rasa syukur di hati Anya dan Dewa. Mereka menyebut bayi itu sebagai keajaiban kedua, setelah Aileen yang kini telah dewasa. Dewa tak pernah lepas dari sisi Anya sejak detik pertama rasa kontraksi muncul, dan ia juga yang pertama kali menggendong bayi mungil itu setelah tangis pertama terdengar menggema di ruang bersalin.Aileen berdiri di luar ruangan dengan mata berkaca-kaca, tak percaya bahwa di usianya yang dua puluh tahun, ia kini resmi menjadi kakak kandung. Bukan adik tiri, bukan saudara sambung—melainkan satu darah, satu rahim, dari ayah dan ibu yang sama. Ia masuk ke ruangan saat bidan mengizinkan, memandang adiknya yang masih merah dengan tangan gemetar. “Halo, kecil... aku kakakmu,” bisiknya, lalu mencium kening adiknya dengan penuh haru.Dewa mengusap rambut Anya yang tampak lelah namun bahagia. “Kamu luar biasa
Matahari pagi menyusup pelan dari balik tirai kamar, menyorot lembut ke sela-sela kain seprai yang kusut. Anya terbangun lebih dulu, tubuhnya masih lelah tapi jiwanya terasa damai. Ia menoleh sebentar ke arah Dewa yang masih terlelap dengan napas tenang dan wajah yang terlihat sepuluh tahun lebih muda saat tertidur.Dengan pelan, Anya bangkit dari ranjang. Udara pagi menyentuh kulitnya, membuatnya menggigil sebentar, namun ia tersenyum. Di lantai, pakaian dalamnya berserakan—jejak malam yang tak perlu diucapkan. Ia mengambil satu per satu dengan gerakan tenang, lalu mengenakannya kembali. Tak ada rasa malu. Yang ada hanya ketenangan seorang perempuan yang tahu bahwa cintanya tak perlu disembunyikan.Langkahnya ringan menuju dapur. Anya mulai menyiapkan sarapan seperti biasa, seolah tak ada yang berubah—padahal semuanya sudah berbeda. Suara wajan, harum roti panggang, dan aroma kopi mulai memenuhi ruang kecil itu. Tangannya bekerja cekatan, tapi pikirannya jauh ke mana-mana. Bukan gala
Tiga minggu setelah tragedi itu, langit Jakarta sering mendung, seolah ikut merasakan duka yang belum reda. Namun di antara mendung itu, perlahan sinar terang mulai menyelusup masuk ke hidup Anya.Dewa datang ke rumah. Wajahnya tampak lebih tua dari terakhir kali Anya melihatnya, tapi juga lebih tenang. Keduanya duduk di ruang tamu, dalam diam yang penuh pengertian. Setelah menghabiskan secangkir teh buatan Anya, Dewa berkata, “Aku sudah terlalu lama membiarkan semuanya tidak jelas. Tapi sekarang aku ingin memperbaiki semuanya.”Anya menatapnya. “Apa maksudmu?”Dewa menatap matanya dalam. “Anya, menikahlah denganku.”Tak ada keraguan dalam suara Dewa. Bukan lagi ucapan seorang laki-laki yang takut pada peraturan perusahaan, atau pada masa lalunya sendiri. Ini suara dari seseorang yang sudah kehilangan banyak dan tak ingin kehilangan lebih.Anya menarik napas panjang. Hatinya berdebar, tapi kali ini bukan karena bingung… tapi karena yakin. “Ya. Aku mau.”Malam itu, sebelum tidur, Anya