"Kakak minta maaf." Juna bingung harus menjawab apa, hanya kata-kata itu yang mampu dia ucapkan sekarang.
Perlahan, dia meletakkan nampan berisi bubur ayam dan susu hangat itu di atas nakas, suara dentingan sendok dan piring terdengar nyaring di keheningan kamar, menambah rasa sesak di dada Silvi. Dia duduk di tepi tempat tidur, jarak sedekat itu dengan Silvi, namun terasa begitu jauh."Sekarang kita sarapan dulu, yuk... habis itu kamu boleh marahi Kakak sepuasnya." Suaranya terdengar tulus, namun bagi Silvi, itu hanya terdengar seperti basa-basi.Tangannya terulur hendak menyentuh dahi Silvi, sentuhan lembut yang seharusnya menenangkan, namun bagi Silvi terasa seperti penghinaan. Secepat kilat, gadis itu menepis tangan Juna, gerakannya penuh amarah dan penolakan."Aku nggak mau sarapan! Aku mau langsung pulang saja!" Silvi langsung bangkit dari tempat tidurnya, niat untuk melarikan diri kembali membara. Namun, baru saja kedua kakiSetelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia
Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah.Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh.Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas."Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk.
"Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos
Mata Silvi perlahan mengerjap, pandangannya masih kabur, berusaha fokus. Cahaya redup di ruangan itu terasa menyilaukan.Dia merasakan sentuhan lembut di dahinya, hangat dan menenangkan. Pandangannya jatuh pada Papi Tian yang duduk di kursi kecil dekat tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kelegaan dan kasih sayang yang tulus."Kamu sudah bangun, Sayang? Alhamdulillah... demammu juga sudah turun." Suara Papi Tian terdengar lembut dan menenangkan.Silvi mengangguk lemah, kepala terasa berat. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun terasa lemas.Pandangannya menjelajah ruangan, mencoba mengenali setiap sudut yang samar-samar terlihat. Hanya ada Papi Tian dan Papa Dono saja. Papa Dono duduk di sofa di sudut ruangan, posturnya tegang, wajahnya tampak sedikit lelah."Yang lain ke mana, Pi? Mami, Mama dan Kakak ... apa mereka nggak ikut ke sini?" Silvi mengerutkan dahi, mencari keberadaan keluarganya yang lain."Mami sedang masak di rumah, nanti mau dibawa ke sini. Aroma masakannya pasti suda
"Iya, itu jauh lebih baik," sahut Daddy Joe kesal."Tapi tadi jelas Daddy sendiri juga dengar dari Juna... kalau dia saja diminta oleh Papinya untuk melupakan rasa cintanya untuk Silvi, sementara hal seperti itu sangat susah dilakukan. Jadi ini bukan murni kesalahan Juna, Dad." Robert mencoba berpikiran secara logika, mencerna semua yang telah terjadi."Apapun alasannya, Juna tetap salah di sini! Padahal dia juga bisa menolak permintaan Papinya, sebelum ini terjadi!" Daddy Joe tetap teguh pada pendiriannya, dengan tegas menyalahkan tindakan Juna."Daddy nggak tau posisi Juna, kita nggak boleh menghakiminya, Dad.""Kamu itu udah disakiti masih tetap saja membela, ya, Rob? Terbuat dari apa hatimu??" Napas Daddy Joe tercekat, menahan emosi di dadanya. "Intinya sekarang... Daddy nggak mau kamu dan dia berteman lagi, titik!""Apakah setelah aku dan Juna nggak berteman aku bisa kembali bersama Silvi??""Enggak, kan? Pernikahanku sudah
Melihat Juna berlutut, sesuatu yang berat mencengkeram hati Robert.Bayangan Juna yang biasanya ceria dan penuh semangat kini tertunduk lesu, menimbulkan rasa tidak enak yang dalam. Meskipun kemarahan dan kekecewaan masih membuncah di dadanya, seutas benang keraguan mulai muncul.Informasi tentang Juna yang sengaja membawa pergi Silvi, menghancurkan hatinya berkeping-keping. Kecewa, marah, sedih, dan rasa sakit yang tak terperi memenuhi jiwanya. Kenangan pesta pernikahan yang meriah, kedekatan mereka sebagai sahabat, kini berubah menjadi duri yang menusuk-nusuk hatinya. Seolah Juna sengaja mempermalukan dia di hari bahagianya. Namun, di balik semua itu, suatu keyakinan samar mulai tumbuh dalam dirinya: Juna pasti memiliki alasan."Jun ...." Suara Robert terdengar parau, menahan gelombang emosi yang menggulung. Dengan gerakan hati-hati, dia meraih tubuh Juna, menariknya hingga berdiri sejajar. Lalu, dalam sebuah gerakan spontan Juna la