Aku menyayangi dan mencintainya, tapi bukan sebagai saudara, melainkan pasangan. Tadinya, kupikir rasaku ini sama dengan rasanya, tapi ternyata aku salah. Saat aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku, dia dengan tega menolak cinta ini. Hatiku sakit, dan sejak saat itu aku benar-benar membenci Kak Juna.
view more"Kak, aku cinta sama Kakak!" Aku menyeru, memberanikan diri mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di hati, yang selama ini membuatku gelisah siang dan malam.
Aku sendiri tak tahu pasti sejak kapan benih cinta itu tumbuh. Namun, perasaan ini semakin hari semakin membuncah. Aku berharap, dengan pengakuan ini, Kak Juna mengerti perasaanku yang sebenarnya—bukan sebagai adik, melainkan sebagai seorang kekasih. Dan tentu saja, aku ingin perasaanku ini dibalas dengan rasa yang sama, sekuat dan sedalam cintaku padanya. "Apa? Cinta? Serius kamu, Dek?" Kak Juna tampak terkejut, matanya membulat sempurna. Responnya wajar, mungkin dia sama sekali tak menyangka aku akan mengungkapkan perasaanku lebih dulu. "Iya, Kak. Aku mencintai Kakak, tapi bukan sebagai saudara, melainkan pasangan. Kakak mau 'kan, jadi pacarku?" Aku memperjelas, suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkannya. Dengan keberanian yang tak pernah kurasakan sebelumnya, aku mencium bibirnya. Cup! Ini merupakan ciuman pertamaku. Dan dialah orang yang kutinggalkan jejak pertamaku ini. Bibir Kak Juna terasa dingin, namun lembut, seperti salju yang mencair perlahan di bawah sinar matahari. Bibir yang selama ini kuimpikan, sekarang kurasakan sentuhannya. Rasanya... tak terlukiskan. Aku senang dan bahagia. "Dek!" Dia tiba-tiba mendorong bahuku, menghentikan ciuman yang baru saja dimulai. Sentuhannya sedikit kasar, membuyarkan mimpi indahku. Wajah Kak Juna memerah, keringat dingin membasahi wajah dan lehernya. "Enggak, Dek! Ini nggak bisa! Kakak nggak bisa!" Kak Juna menggeleng cepat, seolah menolak keras kenyataan yang baru saja terjadi. "Enggak bisa apanya, Kak?" tanyaku, bingung dan sedikit kecewa. Aku tak mengerti penolakannya. Tangannya yang dingin perlahan menyentuh pipiku, sentuhannya lembut namun terasa begitu jauh, seperti membatasi jarak di antara kita. Mata kami bertemu, dalam tatapan itu tersirat kesedihan yang dalam. "Cinta itu... yang kamu katakan tadi, kamu harus segera menghapusnya!" suaranya bergetar, kata-katanya menusuk hatiku seperti sebilah pisau. "Maksudnya?" Bingung, aku bertanya kembali. Menghapus? Kenapa harus dihapus? Bukankah selama ini dia juga mencintaiku? Bukankah tatapan, sentuhan, dan sikap posesifnya selama ini menunjukkan lebih dari sekadar kasih sayang seorang kakak? "Kamu nggak boleh cinta sama Kakak, kita ini saudara. Kita kakak adik, apakah kamu lupa itu?" Suara Kak Juna tegas, mencoba meyakinkanku, namun kata-katanya terasa dingin dan menyakitkan. "Aku ingat, tapi kita cuma saudara tiri, Kak. Tidak apa kalau saudara tiri saling mencintai, toh di agama nggak ada larangan." Aku mencoba membela diri, mencari celah dalam penolakannya. "Itu memang benar. Tapi tetap saja nggak boleh!" Kak Juna menggeleng keras, menolak keras argumenku. "Kamu nggak boleh mencintai Kakak, Dek." "Kakak sendiri bukannya mencintaiku juga, kan? Aku tau itu." Aku menatapnya tajam, mencoba mencari kejujuran di balik matanya yang berkaca-kaca. Kak Juna tampak terkejut, dia terdiam sejenak, lalu bicara. "Kamu sepertinya salah paham. Cinta yang selama ini Kakak berikan padamu bukan cinta yang sama seperti apa yang kamu pikirkan. Cinta Kakak adalah cinta seorang Kakak terhadap adiknya, nggak lebih dari itu, Dek." Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahku. "Kakak bohong!" Aku berteriak, dadaku bergemuruh. Selama ini, aku yakin, lebih dari sekadar kasih sayang saudara yang dia berikan. Sikap posesifnya yang berlebihan, larangan-larangannya agar aku tak dekat dengan siapa pun, bahkan larangan pacaran—semuanya menunjukkan lebih dari itu. Dia lebih dari seorang kakak bagiku. Dia posesif, melebihi Papi dan Mami. Dan itu, menurutku, adalah bukti cinta. Tapi, kenyataannya... sangat menyakitkan. "Kakak nggak bohong, Dek," jawab Kak Juna, suaranya terdengar berat, mencoba meyakinkanku, namun matanya tak mampu menyembunyikan kesedihan. "Apa kamu pikir Kakak ini pria gila? Kakak nggak mungkin memiliki perasaan kepada adik sendiri. Selain itu, kamu juga tau kalau Kakak sudah punya pacar, Kakak mencintai Friska dan kami akan bertunangan." Aku terkejut, mataku membulat tak percaya. Benar, dia memang sudah punya pacar, tapi... aku selalu merasa ada yang janggal dalam hubungan mereka. Aku selalu merasa Kak Juna tidak sepenuhnya mencintai Mbak Friska. Itulah yang memberiku keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, aku berharap dia akan memilihku, meninggalkan Mbak Friska. Apakah selama ini aku salah menilai? Pertanyaan itu bergema di kepalaku, menghantamku dengan kerasnya kenyataan. "Apa Kakak serius?" Aku masih tak menyerah, mencoba mencari secercah harapan yang mungkin masih tersisa. "Kakak serius mau bertunangan dengan Mbak Friska?" "Kakak serius, Dek. Bahkan dua rius bila perlu," sahutnya sambil perlahan-lahan menggenggam tanganku, mencium keningku. "Jadi Kakak mohon... kamu harus mengerti dengan posisi kita, tentang hubungan kita. Mulai sekarang... lupakan rasa cinta itu, dan anggap ciuman tadi tidak pernah terjadi di antara kita. Tapi kamu tenang saja... rasa cinta dan sayang Kakak padamu tidak akan pernah pudar. Selamanya kamu akan memiliki tempat di hati Kakak." Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku, mengalir tanpa bisa dihentikan. Hatiku sakit, hancur berkeping-keping, seperti kaca yang jatuh dan berserakan. Butuh keberanian dan kematangan mental untuk mengungkapkan perasaanku pada Kak Juna, tapi setelah semuanya aku ungkapkan, dia dengan mudah menolakku. Dia bahkan memintaku melupakan ciuman pertamaku, ciuman yang selama ini kuimpikan bersamanya. Kak Juna jahat! Kupikir kita bisa bersatu, kupikir rasa kita menyatu, tapi ternyata hanya akulah yang mencintai seorang diri, hanya aku yang berjuang sendiri. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Sakit sekali rasanya. Aku... Aku membenci Kakak! "Lho, Dek, kenapa menangis?" Apakah setelah semuanya yang terjadi masih harus dipertanyakan alasan aku menangis? Kakak benar-benar tidak peka sekali. Ketidakpekaannya menambah rasa sakit yang sudah menggebu di dadaku. Tangan Kak Juna perlahan mengusap kedua pipiku, sentuhannya yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan asing. Lalu, dia menarik kedua pipiku untuk memaksaku tersenyum. "Jangan sedih, nanti cantiknya hilang. Sekarang kita pulang, yuk! Ini sudah malam, takutnya Mami dan Papi nungguin kita." Kata-katanya terdengar begitu ringan, seolah-olah masalah besar yang baru saja terjadi adalah hal yang sepele. Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, gerakanku penuh amarah dan kepedihan. Aku tak mampu lagi menahan air mata yang terus mengalir. Aku berjalan lebih dulu menuju mobil, meninggalkan Kak Juna. * * * "Assalamualaikum." Salam Kak Juna memecah kesunyian rumah. Kami berdua masuk ke dalam rumah disambut oleh Mami yang berdiri di ruang tengah, raut wajahnya tampak khawatir. "Walaikum salam. Kok kalian pulangnya malam? Kenapa?" Mami mendekat, tangannya lembut mengusap puncak rambutku, sentuhan yang terasa begitu hangat di tengah badai yang menimpa hatiku. Sebelumnya, aku dan Kak Juna pergi berdua untuk nonton bioskop. Akulah yang sengaja mengajaknya, karena selama ini Kak Juna selalu sibuk dengan bisnis ikan lelenya. Aku rindu padanya, ingin menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan indah seperti dulu. Tapi sayangnya, semuanya tak seindah yang kubayangkan. Kenangan indah itu telah tergantikan oleh luka yang mendalam. "Tadi macet parah di jalan, Mi. Ada kecelakaan." Kak Juna menjawab bohong, suaranya terdengar terpaksa. Aku tahu maksudnya, semua ini demi menutupi apa yang telah terjadi di antara kami. "Aku mau ke kamar, ngantuk," kataku, suaraku terdengar lesu, tanpa semangat. Aku berlalu begitu saja, meninggalkan mereka berdua di ruang tengah. Kudengar samar-samar Mami bertanya pada Kak Juna, "Kenapa pulang-pulang Silvi cemberut? Kalian berantem?" Namun, aku tak punya niat menguping, tak punya energi untuk mendengarkan penjelasan Kak Juna. Aku hanya ingin menyendiri, menenangkan hatiku yang hancur. Hari ini sudah cukup. Aku sangat lelah, lelah secara fisik dan emosional. Hatiku sakit, luka yang baru saja kuterima terasa begitu dalam. Aku capek dengan cintaku ini, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Andai saja bisa kukubur semua rasaku, mungkin sudah sejak lama aku melakukannya. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana caranya melupakan seseorang yang begitu dalam terpatri di hati?Di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi... Friska membuka mata perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya lembut ruangan. Dinding berwarna krem, lukisan abstrak yang menggantung, dan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Ini bukan bangsal biasa, melainkan kamar rawat VVIP yang mewah. Namun, kemewahan ini justru membuatnya merasa asing. Dan dia berpikir sekarang sudah berpindah alam. Benar apa yang Mommy Indri khawatirkan. Friska memang berniat mengakhiri hidupnya. Baginya, hidup tanpa Juna terasa hampa, tak ada lagi alasan untuk bernapas. "Baru tau aku kalau di akhirat itu suasananya mirip seperti ruangan rumah sakit. Kupikir seperti taman bunga," ucapnya dengan suara lemah. Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Bicara apa kamu, Friska?!" seru Daddy Irfan yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Friska terperanjat, tubuhnya yang masih lemah mencoba bangkit dari tempat tidur namun
(21+)"Dek ... apa Kakak boleh menyentuhmu?" Juna berbisik lembut, suaranya bergetar menahan gejolak yang membuncah dalam dirinya. Matanya menatap dalam ke mata Silvi, mencari jawaban yang sejujurnya.Silvi terdiam, jantungnya berdegup kencang.Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan hatinya diliputi perasaan campur aduk antara malu, ragu, takut, dan hasrat yang menggelora. Ini adalah kali pertama baginya, sebuah gerbang menuju dunia baru yang belum pernah dia jamah."Aku ... aku nggak tau, Kak," bisiknya lirih. Pipinya merona merah, panas menjalar ke seluruh tubuhnya.Juna mengelus lembut pipi Silvi, merasakan kehalusan kulitnya di bawah jemarinya. "Nggak apa-apa, Dek. Kakak nggak akan memaksa. Kalau kamu belum siap... Kakak akan menunggu. Sampai kapan pun kamu siap."'Gagal lagi deh, mau buat cicit untuk Opa,' batinnya sedih.Ada guratan kekecewaan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan di wajahnya, meski Juna telah berusaha untuk tersenyum.Melihat itu, Silvi menjadi tidak enak
"Lho, Dek ... kamu kenapa?"Juna, yang tiba untuk menjemput Silvi, terkejut mendapati raut wajah istrinya yang begitu sendu. Ada guratan kesedihan yang dalam di sana, membuat hatinya mencelos khawatir.Tanpa sepatah kata pun, Silvi langsung membuka pintu mobil dan masuk, membiarkan Juna bertanya-tanya dalam benaknya.Juna segera menyusul, masuk ke dalam mobil. "Cerita sama Kakak, kamu ada apa? Apa ada yang menjahati kamu di kampus? Katakan, akan Kakak kasih dia pelajaran!" Ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.Dia sudah menggulung kedua lengan bajunya, memperlihatkan otot-ototnya yang kekar. Dia benar-benar akan memberikan pelajaran setimpal jika ada yang berani menyakiti Silvi, batinnya bergejolak."Jalan dulu, nanti aku cerita setelah sampai rumah, Kak," jawab Silvi lirih. Dia lalu menyandarkan bahunya di penyangga kursi dengan lemah, seolah seluruh energinya terkuras habis.Juna mengangguk, meski rasa penasarannya semakin membuncah. Dia menancapkan gas mobilnya, meninggalkan area un
"Mami kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?"Suara Papi Tian tiba-tiba memecah keheningan pagi itu, membuat Mami Nissa yang sedang berdiri di balkon tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang.Dengan gerakan cepat, dia menyembunyikan layar ponselnya yang menampilkan percakapan dengan salah satu anak buahnya. Dia tak ingin Papi Tian sampai tahu tentang rencananya. Bisa dipastikan, suaminya itu akan naik pitam.Walaupun terpisah jarak, Mami Nissa selalu ingin memastikan Juna dalam keadaan baik dan tidak kekurangan apa pun. Karena itulah, dia sampai rela menyewa orang untuk membuat skenario seolah-olah Juna memenangkan kuis, hanya demi bisa mengirimkan uang 50 juta ke tangannya.Papi Tian melangkah mendekat, raut wajahnya menyimpan tanya. Mami Nissa berusaha setenang mungkin, menyunggingkan senyum yang dipaksakan."Eh, enggak kok, Pi. Ini Mami lagi lihatin foto-foto lama... Si Juna sama Silvi waktu kecil. Ya ampun, gemesin banget mereka berdua," kilahnya, berusaha meyakinkan. Dengan sigap
"Anggap saja kita akan bermain kuis, Mas," jawab Om Ipil, senyumnya terlalu lebar, nyaris seperti seringai. "Dan kebetulan kuis ini bertujuan untuk bagi-bagi rezeki saja, karena memperingati hari ulang tahun saya.""Benar, Mas, apa kata teman saya. Kami memang sering bagi-bagi rezeki ke orang lain, dan sekarang Mas lah yang sedang beruntung karena berhasil terpilih," tambah Om Upil, nadanya terlalu bersemangat, seperti seorang sales yang berusaha menjual produknya. Dia menepuk-nepuk pundak Juna, terlalu keras, seolah ingin memastikan dia tidak kabur.Juna terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan kedua pria aneh itu. Otaknya berputar, mencari logika dalam situasi yang absurd ini. Jika memang benar alasannya karena ingin bagi-bagi rezeki, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tapi, di sisi lain, dia sangat membutuhkan uang. Menolak rezeki sama dengan menolak pertolongan Allah."Baiklah, aku bersedia," jawab Juna, setelah bergelut dengan pikirannya. Dia mengambil keputusan dengan ber
"Love, aku ...." "Selamat pagi, anak-anak." Suara bariton seorang dosen pria tiba-tiba memecah keheningan kelas. Sosoknya yang tegap dan berwibawa baru saja memasuki ruangan, membawa setumpuk buku di tangannya. "Ayo, duduk di kursi masing-masing, kita akan mulai kelas pagi ini." Ucapan Silvi tertelan begitu saja. Dia merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, bercampur antara rasa gugup dan kecewa. Kehadiran dosen itu menggagalkan niatnya untuk berbicara dengan Love saat ini. Mau tidak mau, Silvi pun mengurungkan niatnya. Dengan langkah gontai, dia segera menuju kursinya dan duduk. Matanya masih sesekali melirik ke arah Love, yang tampak menghindari tatapannya. 'Nanti saja deh, pas istirahat,' batin Silvi, mencoba menenangkan diri. Dia berharap, saat istirahat nanti, Love bersedia mendengarkannya. Dia sudah menyiapkan kata-kata yang akan diucapkannya, berharap Love bisa mengerti dan memaafkannya. * * Di tempat berbeda. Setelah membeli dua ponsel pintar terbaru, satu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments