Share

Gairah Cinta Roosje
Gairah Cinta Roosje
Author: David Khanz

Bagian 1

GAIRAH CINTA ROOSJE

Penulis : David Khanz

Bagian 1

------- o0o -------

Hari itu, langit di Desa Kedawung tampak begitu cerah. Membiru dengan kemilau matahari terik memanggang bumi. Membakar perlahan hijaunya dedaunan serta hamparan luas lahan gambut di sekitar tempat tersebut. Termasuk seorang sosok tua yang tengah meneduh di bawah atap sado di depan sebuah stasiun kereta. Sesekali lelaki itu mengelap wajah dengan usapan lengan kasarnya, mengusir lelehan peluh yang mengucur deras dari pori-pori renta. Lenguh napas berat juga turut menghiasi sepanjang duduk mematung, sambil menikmati sebatang rokok daun kawung berisikan tembakau tanding. Raut gelisah tergambar samar dari bias tatapnya, saat menoleh ke arah gerbang bangunan tua di depan sana.

“Masih sepi. Kapan datangnya, ya?” gumam sosok tersebut seraya menghembuskan penuh nikmat kepulan asap nikotin dari balik bibir hitamnya. “Tak sabar rasanya, ingin segera bertemu kembali dengan Den Hanan. Pasti sekarang dia sudah jadi orang hebat,” lanjutnya berkata-kata sendiri diiringi senyum semringah.

Tidak jauh dari tempatnya berada, lelaki itu melihat ada banyak orang-orang berkerumun di dalam gedung, sisanya duduk-duduk di emperan lantai ubin stasiun dengan kesibukan tersendiri. Bercampur-baur antara penjemput dengan calon penumpang yang akan menaiki kereta, lengkap membawa barang bawaan serta tas berbagai ukuran teronggok di samping.

“Ya, Tuhan ... panas sekali di sini,” gerutu lelaki tua di atas sado tadi sambil mengipas-ngipaskan tangan ke wajah. Berulang kali mulutnya berdecak kesal dengan leletan lidah membasahi bibir. Semula bermaksud hendak melinting kembali daun kawung, namun urung dilakukan begitu terdengar suara jerit terompet klakson kereta dari kejauhan. “Keretanya datang!” serunya dengan wajah langsung berubah ceria.

Benar saja. Tak seberapa jauh dari tempat tersebut, tampak kepulan asap hitam membumbung ke angkasa dari corong kereta. Melaju perlahan mendekati stasiun pemberhentian. Berberengan dengan itu, serempak kerumunan orang-orang di sekitar sana berdiri, bersiap-siap menyambut. Tidak terkecuali lelaki tua di atas sado tadi. Dia bergegas turun, usai mengamankan tali kekang kuda pada sebuah batang pohon terdekat. “Tunggu sebentar, ya, Jalu. Aku mau menjemput Tuan Muda dulu,” ujarnya seraya menempuk-nepuk leher kuda. Binatang tersebut meringkik nyaring, seakan memahami ucapan lelaki tua itu.

Kemudian dia berjalan ke arah bagian dalam gedung stasiun, menembus kerumunan padat para pengunjung di sana dengan tubuh kecilnya. Tepat sekali, begitu jejak kaki menapaki barisan terdepan dekat batas rel, kereta sudah berhenti. Sejumlah penumpang berhamburan keluar dari gerbong dengan bawaannya masing-masing. Lelaki tua itu celingukan mencari-cari sosok yang tengah dinanti.

“Den Hanan!” teriaknya begitu mengenali seseorang yang baru keluar dari dalam gerbong kereta. Sosok tersebut menoleh, lalu balas memanggil, “Mang Dirman!”

Mereka berdua berjalan saling mendekat di antara lalu-lalang lautan manusia.

“Mang Dirman! Ya, Allah ... saya sangat kangen sekali sama Mamang,” seru seorang laki-laki muda dengan penampilan gagah yang tadi dipanggil Hanan, begitu bertemu. Dia segera menarik tubuh tua itu ke dalam pelukannya. Sejenak mereka saling berangkulan penuh kehangatan, lalu melepaskan diri dan tidak lupa menyalami.

“Ah, jangan begitu, Den,” ujar lelaki tua bernama Mang Dirman itu menarik diri begitu Hanan hendak mencium takzim punggung tangannya.

“Mengapa, Mang? Saya sudah terbiasa begitu, ‘kan, sejak kecil?” Hanan menatap Mang Dirman heran. Jawab lelaki tua tersebut, “Tidak, ah, Den. Mamang merasa tak enak.”

“Ah, Mamang ini ....” Hanan menepuk pelan lengan Mang Dirman. “Sudah selayaknya, ‘kan, yang muda mencium tangan yang dituakan saat bersalaman.”

“Jangan, Den. Tidak usah.”

Hanan tersenyum. Kemudian bertanya kembali, “Sudah lama Mamang menunggu?”

“Lumayan, Den. Hampir habis empat linting.”

Hanan mengerutkan kening. “Hhmmm, Mamang masih merokok?” Lelaki tua itu mengangguk perlahan dengan wajah tertunduk malu. “Dari dulu sudah aku bilang, merokok itu tidak baik untuk kesehatan, Mang. Masih saja bandel dikasih tahu.”

Mang Dirman mengekeh. “Iya, Mamang masih ingat, kok, nasihat Den Hanan dulu. Apalagi sekarang, Aden sudah resmi jadi seorang dokter. Pasti akan lebih cerewet mengingatkan Mamang, ‘kan?”

Hanan kembali menepuk lengan Mang Dirman. “Bisa saja Mamang ini. Belum apa-apa, sudah merasa. Syukurlah. Setidaknya, saya tidak perlu setiap saat mengingatkan Mamang.”

“Iya, Den.”

Mereka berdua tertawa-tawa sebentar. Lalu tiba-tiba tawa Hanan terhenti. “Eh, sebentar ....” ujarnya seraya menyipitkan mata. Mang Dirman terheran-heran. Tanya lelaki tua itu, “Ada apa, Den?”

Hanan menyapu pandang ke sekeliling area stasiun. Sudah mulai tampak sepi dan kereta sudah siap-siap melanjutkan perjalanan. “Saya tak melihat siapa-siapa lagi yang datang, kecuali Mamang sendiri.”

Mang Dirman tersenyum. Agaknya mulai paham arah maksud pembicaraan Hanan kali ini. “Mamang memang datang sendiri, Den.”

“Sendiri?”

“Ya, sendiri. Dengan siapa lagi? Juragan perempuan?”

Hanan menggaruk kepala. “Bukan ibu saya maksudnya. Tapi ....”

“Neng Bunga, ‘kan?” tebak Mang Dirman. Hanan tersipu. Tanya laki-laki muda itu kemudian, “Dia tak ikut datang menjemput, Mang?”

Mang Dirman tidak menjawab. Lelaki tua itu malah mengambil alih koper besar di samping Hanan. Ujarnya, “Makanya, kalau Aden ingin segera bertemu Neng Bunga, kita pulang sekarang.”

“Eh, jadi benar Bunga tidak ikut?”

“Gadis itu sedang menunggu di rumah Aden bersama Juragan perempuan,” jawab Mang Dirman diiringi langkah ringkih karena bawaannya. Berat.

“Bersama Ibu?” Hanan membantu mengangkat kopernya berdua dengan Mang Dirman.

“Ya, siapa lagi, Den?”

Lelaki muda itu tersenyum-senyum sendiri. Dia sedang membayangkan dua sosok yang selama ini dirindukan. Ibu Hanan dan Bunga. Bertahun-tahun hidup terpisah dan saling berbicara melalui secarik surat. Itu pun hanya sebulan sekali.

Mang Dirman memperhatikan raut wajah anak majikannya. Sebagai seorang yang pernah mengalami masa muda, tentu saja orang tua itu paham sekali akan apa yang tengah dirasakan oleh Hanan.

“Bunga tidak menitip pesan apa-apa pada Mamang?” Hanan menyelidik. Laki-laki tua itu menggeleng di tengah kepayahannya. Jawab Mang Dirman, “Bukankah selama ini Aden selalu berbalas surat dengan Neng Bunga, Den?”

Hanan mengangguk. Jawabnya, “Iya, sih. Tapi Bunga tidak pernah meminta dibawakan apa-apa. Seperti halnya Ibu. Terpenting, saya bisa pulang dengan selamat tanpa kekurangan dan kendala apa pun.”

“Hanya itu, Den?” goda Mang Dirman.

“Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain.” Lelaki muda itu menoleh. Memperhatikan sosok tua yang sudah akrab mengasuh dirinya sejak kecil. “Memangnya, Mamang pikir apa, hhmmm?”

“Tidak ada, Den,” jawab Mang Dirman. “Mungkin sosok perempuan lain selain Neng Bunga, mungkin?”

“Ah, Mamang bisa saja. Jangan berpikir yang aneh-aneh, deh.”

“Hehehe. Hanya bercanda saja, Den.”

Hanan tersenyum dikulum. “Iya, saya tahu.”

“Mamang tahu sekali sifat-sifat Aden. Persis seperti mendiang Juragan laki-laki, Tuan Juanda. Sejak menikahi Juragan perempuan, Ibu Aden, beliau selalu mencintai keluarganya. Tidak pernah sedikit pun Mamang mendengar Tuan laki-laki ada main hati dengan perempuan lain. Beliau sangat setia, dan itu menurun semua pada diri Den Hanan. Juga kebaikannya,” tutur Mang Dirman menguak kembali pecahan kenangan yang sempat dialami dulu sebelum Hanan lahir.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status