Share

Bagian 2

GAIRAH CINTA ROOSJE

Penulis : David Khanz

Bagian 2

------- o0o -------

“Mamang tahu sekali sifat-sifat Aden. Persis seperti mendiang Juragan laki-laki, Tuan Juanda. Sejak menikahi Juragan perempuan, Ibu Aden, beliau selalu mencintai keluarganya. Tidak pernah sedikit pun Mamang mendengar Tuan laki-laki ada main hati dengan perempuan lain. Beliau sangat setia, dan itu menurun semua pada diri Den Hanan. Juga kebaikannya,” tutur Mang Dirman menguak kembali pecahan kenangan yang sempat dialami dulu sebelum Hanan lahir.

“Seperti itu, ya, Mang?”

“Ya, semuanya. Mirip sekali. Bahkan sampai Den Hanan hadir di tengah-tengah keluarga, kecintaan Tuan laki-laki pada keluarga tetap tak berubah. Hingga menjelang ....”

“Ah, sudahlah, Mang. Bagian yang itu jangan Mamang ungkit-ungkit lagi. Saya semakin tak mampu menahan kerinduan ini akan kehadiran sosok Ayah.” Raut wajah Hanan sedikit berubah murung.

“Maafkan Mamang, Den. Mamang tak bermaksud membuat Aden sedih,” kata Mang Dirman tiba-tiba merasa bersalah.

Hanan mengusap bahu orang tua tersebut, usai membantu mengangkat koper dan meletakannya di dalam sado. “Tidak apa-apa, Mang. Saya juga tahu, pasti banyak orang selain saya yang juga turut merindukan Ayah. Beliau memang pantas dirindukan.”

“Untuk itulah, kehadiran Den Hanan di tengah-tengah masyarakat akan mampu mengobati rasa rindu mereka. Harapan Mamang, sih, seperti itu.”

“Kali ini Mamang tidak sedang bercanda, ‘kan?” Hanan menatap mata tua itu. Berkaca-kaca dengan sorot kebahagiaan tiada tara bisa bertemu kembali dengan orang yang sejak kecil dia asuh.

“Mamang sudah berjanji pada mendiang istri Mamang dulu, hidup Mamang akan dihabiskan untuk mengabdi pada keluarga Tuan laki-laki. Selama ini, hanya keluarga Aden saja yang mampu memberikan kenyamanan dan menganggap diri Mamang sebagai bagian dari keluarga Tuan Juanda. Mamang memang bekerja di rumah Den Hanan, tapi Mamang tidak pernah dianggap sebagai pembantu.” Genangan bening di pelupuk mata itu mulai meleleh menyusuri pipi tuanya. Dengan sigap, Hanan segera menghapus dengan jemari tangan. Lembut dan penuh kasih sayang.

“Sudahlah, Mang,” ujar laki-laki muda tersebut seraya menarik Mang Dirman ke dalam pelukannya. “Bagi saya, Mamang adalah bagian terpenting dalam keluarga saya. Tentunya bagi Ibu juga.”

“Den ....”

“Maafkan Hanan kecil, jika dulu sering membuat Mamang muda kesal. Kini, Hanan besar menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya karena selama ini sudah berkenan menjaga Ibu, selagi saya pergi menuntut ilmu di Jakarta. Entah, apakah saya bisa membalas budi atas jasa-jasa Mamang ini atau tidak. Tapi ... percayalah, selama saya hidup, Mamang tidak akan pernah akan saya biarkan menangis sedih.”

“Den ....”

“Apalagi, Mang?” tanya Hanan belum juga melepaskan pelukannya.

“Mamang susah bernapas. Badan Aden ... bau asem.”

“Eh ....” Serta merta Hanan melepas pelukan. Lalu mengendus-endus tubuh serta kedua ketiaknya. “Oh, iya. Saya lupa. Sepanjang perjalanan tadi memang panas sekali di dalam kereta. Saya sampai mandi keringat walaupun jendela gerbong sudah dibuka. Maaf, ya ....”

“Tidak apa, Den. Tapi ... mata Mamang rasanya mulai berkunang-kunang,” ujar Mang Dirman yang tentu saja bermaksud menggoda anak majikannya tersebut.

“Kalau begitu, biar saya saja yang memegang tali kendali kuda,” balas Hanan seperti diingatkan akan kegemarannya beberapa tahun silam.

“Aden masih bisa membawa sado?”

Hanan berpikir sejenak. “Rasanya tidak terlalu sulit. Tapi tak ada salahnya, ‘kan, kalau dicoba lagi.”

“Yakin?”

“Ayolah ....” Hanan menaiki sado dan langsung duduk di bagian depan, diikuti oleh Mang Dirman di belakangnya usai melepas tali pengikat kuda pada sebuah pohon besar. “Bismillahirrahmaanirrahiim ....”

“Ayo, Jalu. Kamu masih ingat siapa yang saya bawa sekarang ini?” tanya Mang Dirman pada kudanya. Binatang tersebut meringkik keras.

“Dia masih mengingat saya, Mang,” seru Hanan seraya tertawa-tawa.

“Baguslah. Berarti Mamang tidak perlu repot-repot lagi mengenalkan si Jalu pada Aden. Hahaha.”

Perlahan kuda pun mulai melangkah. Menggerakkan roda sado, meninggalkan area stasiun Kampung Kedawung menuju hunian keluarga Hanan. Sekaligus, mendatangi dua sosok terkasih yang kini tengah menantikan kedatangannya.

------- o0o -------

Sado berjalan perlahan menyusuri jalanan tanah dan berumput. Sekaligus menguar kembali ingatan Hanan akan kondisi tempat dimana dia terlahir dan dibesarkan dulu. Hingga menjelang dewasa, terpaksa harus ditinggalkan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Menjadi seorang dokter adalah cita-cita laki-laki muda itu sedari kecil. Mengabdi dan bisa lebih dekat dengan warga kampung seperti mendiang Tuan Juanda dulu, salah satu tokoh masyarakat yang memiliki banyak tanah dan turut menggarapnya bersama-sama warga sekitar.

Bukan hal mudah untuk mendapatkan harta kekayaan sebanyak dan seluas itu dulu, karena ayah Tuan Juanda, kakeknya Hanan, adalah salah seorang tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, sekaligus merebut kembali tanah-tanah yang banyak dikuasai oleh para Meneer tersebut. Kemudian diwariskan secara turun temurun dan kini dalam pengawasan keluarga Hanan.

Ibu Hanan tidak ingin anaknya hanya berkutat pada masalah kekayaan keluarga, wanita itu berharap Hanan menjadi sosok yang berguna bagi masyarakat luas. Makanya dia rela menjual hampir separuh tanahnya demi membiayai pendidikan Hanan, anak semata wayang.

Beberapa tahun hidup berpisah dan hanya berkomunikasi melalui surat, akhirnya kini Hanan kembali pulang usai menyelesaikan jenjang pendidikannya. Menjadi seorang dokter dan diharapkan bisa membantu sesama, terutama warga miskin yang masih buta tentang masalah kesehatan. Waktu itu memang tidak mudah untuk mendapatkan pendidikan bagus, di tengah kecamuk perang melawan penjajah Belanda yang berniat kembali menguasai bumi nusantara. Ibu Hanan bersikeras memberangkatkan anaknya ke Jakarta walaupun risiko kehilangan putra kandung satu-satunya sekalipun.

Doa seorang ibu nyatanya teramat makbul. Akhirnya dengan berbagai usaha dan perjuangan, Hanan kini sudah menjadi sosok yang patut dibanggakan.

“Mang ....” panggil Hanan tiba-tiba pada Mang Dirman sambil menatap ke depan. Tepatnya ke arah sesosok perempuan muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon besar sambil meringis dan mengurut-urut kaki. “Kita harus berhenti sebentar, Mang.”

“Memangnya ada apa, Den?” tanya Mang Dirman heran.

“Mamang tidak lihat di depan sana? Ada seorang perempuan. Sepertinya sedang butuh pertolongan ....” ujar Hanan.

Mang Dirman tidak menjawab.

Sesaat kemudian, Hanan menarik tali kendali kuda untuk menghentikan laju sado. “Sebentar, saya akan menemui perempuan itu dulu, Mang.”

Laki-laki muda itu turun dari atas sado, bergegas mendatangi sosok perempuan yang dimaksud.

“Halo ... selamat siang,” sapa Hanan begitu mendekat. Seorang perempuan berkulit putih dengan rambut pirang dan mengenakan pakaian khas tidak sebagaimana umumnya warga setempat.

Perempuan itu mengangkat kepala. Namun ringis di wajahnya tak kunjung berhenti. “Oh, syukurlah ada yang datang juga akhirnya. Dari tadi saya menunggu seseorang yang lewat, tapi belum satu pun ada,” ujarnya dengan gaya bicara seperti kebanyakan lidah orang-orang Eropa sana.

Hanan sedikit terkesiap. Paras perempuan itu begitu cantik. Dengan bola mata hijau, hidung mancung, dan bibir merah merekah.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status