Setelah puas mengamati wajah Lana, pria itu perlahan bergerak, berjalan mengitari tubuh Lana yang berdiri kaku.
“Tidakkah kau merasa tatapanmu itu sangat tidak sopan dan kurang ajar?” Lana mendengus kesal sembari berputar mengikuti pergerakan pria itu.
“Aku tidak perlu bersikap sopan pada orang yang berniat mengincar kekuasaan.”
“Ehem… begini, Tuan Muda Kai. Dia ini adalah Tuan Putri Lucia Klaine.” Victor menyela sebelum keduanya terlibat dalam kesalahpahaman yang lebih parah.
“Apa kau yakin?” sebelah alis pria itu terangkat, meragukan kebenaran dari kata-kata Victor sebelumnya.
“Ya, semuanya sudah dipastikan.”
“Aku hanya tidak ingin kalian tertipu,” pria itu berbicara dengan nada rendah, namun ucapannya terdengar kejam dan menyebalkan.
“Di zaman sekarang ini banyak sekali orang yang menggunakan berbagai cara untuk menipu orang lain,” lanjutnya.
Perkataan pria itu berhasil menyulut emosi Lana yang sudah sejak tadi dia tahan. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya sebelum menyembur pria itu dengan kemarahan.
“Siapa yang kau sebut penipu? Seharusnya kau tanyakan itu pada mereka. Kenapa mencariku dan membawaku ke sini, kakek bahkan mengatakan kalau aku adalah cucunya, sekarang kau malah—”
“Kakek? Sepertinya kau cukup terbiasa dengan pengucapan itu,” pria itu memotong sebelum Lana menyelesaikan ucapannya.
“Selain tidak sopan, apakah kau juga selalu berbicara sekasar ini?”
Pria itu mengabaikan pertanyaan Lana dan malah berbalik menuduhnya.
“Kau sudah lama merencanakan ini, benar?” pria itu memincingkan matanya, menatap mencemooh pada Lana yang sudah kehabisan kesabaran.
“Kau ini—” Lana menggertakkan gigi-giginya.
Dia tidak tahu siapa pria di hadapannya ini. Mereka baru bertemu sekali dan dia sudah menyerukan gong permusuhan terhadapnya.
“Sepertinya tuan putri kecil ini mudah sekali marah,” dia lalu tersenyum mengejek.
“Siapa yang kau panggil anak kecil? Aku ini wanita dewasa yang berusia 22 tahun!” Lana melotot saat mengatakannya.
Melihat situasi yang tidak terkendali, Victor mencoba menengahi dan berbicara dengan pria itu.
“Tuan muda. Semua bukti menyatakan kalau dia benar-benar adalah Tuan Putri Lucia. Apa kau tidak bisa melihat kemiripan wajahnya dengan mendiang Tuan Putri Althea?”
“Di dunia ini, memang ada beberapa orang yang memiliki kemiripan. Tapi bukan berarti mereka memiliki hubungan darah, kan?” kali ini pria itu menatap Victor dengan sinis.
Tatapannya bahkan lebih dingin dari gunung es.
“Begini saja. Aku akan memastikannya sendiri, dengan begitu aku bisa tahu tanda itu asli atau tidak.”
“Tanda? Tanda apa?” Lana butuh beberapa detik untuk mencerna kalimat pria itu, sebelum akhirnya dia bergerak cepat untuk memeluk dirinya sendiri dan menyandarkan punggungnya pada tembok terdekat.
“Tentu saja tanda yang membuktikan kalau kau adalah Lucia Klaine,” ucapnya menantang.
“Jangan mimpi! Aku tidak akan membiarkannya,” tolaknya keras.
“Jangan harap pria mesum sepertimu bisa mengambil keuntungan dariku!”
“Pria mesum, katamu?” pria itu meninggikan suaranya, tidak terima atas julukan yang diberikan Lana padanya.
Lana berdeham dan mengangguk. Merasa puas karena berhasil memprovokasi pria itu.
“Kau tidak perlu repot-repot mencurgaiku, lagipula aku juga tidak berniat tinggal di sini,” setelah mengatakan itu, Lana berbalik dan hendak pergi, sebelum suara tepukan tangan yang cukup keras menggema ke seluruh ruangan dan menghentikan langkahnya.
“Kau bahkan tahu cara untuk mundur agar bisa menang.”
“Tuan muda, kumohon jangan mencari masalah lagi,” Victor mendesis penuh permohonan.
Victor merasa sikap pria itu terlalu berlebihan, dan dia takut Lana akan merasa tidak nyaman karenanya.
“Ada baiknya kau menyelidiki ulang,” pria itu berbicara penuh peringatan sembari menepuk bahu Victor sebelum berlalu pergi.
“Maafkan atas kesalahpahaman ini, tuan putri. Tuan Muda Kai biasanya tidak terlalu banyak bicara. Mungkin hari ini suasana hatinya sedang tidak baik, jadi dia bersikap seperti itu.”
Sementara Lana menatap kepergian pria bernama Kai itu dengan raut kesal. Rasanya dia ingin menangis karena diperlakukan seperti itu.
“Aku tidak ingin melihatnya lagi,” putusnya.
“Hm… kalau soal itu, sepertinya agak sulit,” sahut Victor.
“Kenapa?”
Wajah Victor tampak berpikir sebelum berbicara lagi.
“Karena dia adalah Tuan Muda Kai Lautner Maverick, salah satu putra dari Klan Maverick yang merupakan kandidat terbaik untuk menjadi penerus raja. Dia juga adalah seorang dewa perang Illyrian yang baru saja kembali dari perbatasan atas perintah raja, untuk menjagamu.”
“Menjagaku? Pria sepertinya? Hah, yang benar saja.”
Lana tertawa suram.
“Benar. Raja Alastor bahkan menginstruksikan secara khusus agar memindahkan kamarnya tepat berada di sebelah kamarmu,” lanjutnya.
“Gila! Benar-benar gila.”
Lana menggeleng tak percaya, merasa frustasi dengan apa yang dilakukan kakeknya.
“Apa kau tidak pernah mendengar tentangnya sebelumnya?”
Lana menggeleng.
“Mengingat reputasi dan popularitas Tuan Muda Kai yang begitu besar di Illyrian, cukup aneh kalau kau tidak mengenalinya.”
“Sehebat itukah?” Lana bertanya karena penasaran.
Victor mengangguk, “Ya, sehebat itu.”
“Tapi dia terlihat sangat pucat. Kupikir dia sedang sakit atau semacamnya, jadi dia bertingkah menyebalkan karena tahu mungkin dirinya akan segera—mati?” Lana mengecilkan suaranya pada kata terakhir.
“Ada suatu hal yang membuat penampilannya seperti itu.”
Lana menatap Victor dengan tanda tanya besar di kepalanya.
“Belum saatnya kau tahu,” Victor tersenyum kecil, tidak berniat membahas tentang Kai Lautner lebih banyak lagi.
“Hah, sudahlah. Lagipula aku tidak peduli, dan juga tidak ingin tahu,” ujarnya acuh.
Dalam hati Lana memutuskan tidak ingin terlibat apa pun dengan pria itu.
***
Hari sudah pagi, semburat jingga perlahan naik ke permukaan. Namun Lana masih belum merasa mengantuk, terlebih lagi dia berkali-kali gagal menghubungi orang tuanya. Tidak satu pun dari panggilannya yang terhubung, dan Lana merasa bingung bagaimana harus menjalani hidupnya setelah ini.
Pikiran bahwa salah satu pria penghuni istana ini jelas-jelas memusuhinya tanpa alasan yang jelas, entah bagaimana mengusik hati Lana.
‘Meski pun aku berfantasi menjadi seorang tuan putri kerajaan, namun ketika impian itu akhirnya menjadi kenyataan, aku menyadari bahwa menjadi tuan putri bukanlah hal yang hebat. Aku merasa seperti burung di dalam sangkar emas. Terkurung,’ Lana mendengus pelan.
Dia duduk dengan lesu di atas tempat tidurnya.
“Aku merindukan orang tuaku,” ucapnya kemudian.
Lana tidak tahu, dirinya harus merasa senang atau sedih sekarang. Impiannya menjadi seorang tuan putri telah menjadi kenyataan, namun hatinya justru merasa kosong. Karena di saat yang sama, dia juga harus kehilangan sosok kedua orang tuanya.
Setelah beberapa saat meratapi nasibnya yang berubah 180 derajat, Lana akhirnya bangkit dan memutuskan untuk pergi menemui orang tuanya.
“Selamat pagi, tuan putri. Apa tidurmu nyenyak semalam?” Seseorang muncul di kamar Lana.
Itu adalah orang yang sama dengan yang waktu itu ditemuinya saat audisi kerajaan.
“Kau—?”
“Aku sungguh tidak salah menilaimu. Kau begitu berani mengutarakan ide dan keinginanmu di depanku. Anak muda, sudah saatnya kau bertindak agresif dan ambisius.”“Terima kasih, yang mulia.”“Tapi itu karena kau tidak pernah hidup menderita!” seru sang raja kemudian, membuat Kai terkejut dengan respons yang tiba-tiba itu.“Kau tidak pernah hidup tanpa nama besar dan kekuasaan. Jadi kau membenci kehidupan yang membuat orang lain iri. Apakah hidup selama bertahun-tahun ini masih kurang bagimu? Kenapa kau sulit sekali merasa puas dengan apa yang sudah kau miliki, dan memilih melakukan hal bodoh yang kau sendiri tidak yakin itu akan berhasil atau tidak,”“Jadi apa gunanya cita-cita dan ambisi, kalau kau tidak memiliki kedudukan dan dukungan kekuasaan di belakangmu? Kau hanya akan menyesalinya suatu hari nanti.”Raja Alastor berkata panjang lebar untuk meyakinan Kai.“Tanpa mencobany
Louise langsung beranjak dari sofa begitu mendengar keputusan sang raja. Pria itu saling melempar pandangan dengan Lana, lalu mengusap wajahnya kasar, merasa frustasi.“Kau persiapkan dirimu dengan baik, dan berlatihlah lebih keras lagi agar kelak kau benar-benar layak untuk menjadi raja di Estrela.”Setelah mengatakan itu, Raja Alastor segera pergi dari ruang tengah. Meninggalkan Lana dan Louise berdua dengan pikiran mereka masing-masing.Louise melihat Lana dengan tatapan, ‘Kita harus bagaimana sekarang?’Sementara Lana hanya bisa mengedikkan bahu, tidak tahu harus berkata apalagi sekarang. Dari awal dirinya sudah setuju bahkan sebelum kakeknya itu menyebut nama Louise. Jadi sekarang dia hanya bisa menerima semuanya tanpa protes lagi.***Lana tahu dia sudah bersikap agak kasar terhadap Kai, tapi itu juga karena dia merasa begitu defensif.“Entah bagaimana, menurutku kita tidak akan pernah bertemu lagi.
“Kenapa menatapku seperti itu? Bukan aku yang memarahimu.” Yelena bersungut jengkel mendengar respons Kai yang sama sekali tidak ramah.“Bukan urusanmu,”Kai berniat pergi, namun pertanyaan Yelena berhasil menghentikan langkahnya.“Apa kau masih akan mencintainya setelah dia mengatakan akan menjauhimu? Menurut analisaku, dia sudah benar-benar muak padamu.”“Sudah selesai bicara?”Yelena mengendikkan bahunya acuh.“Aku tidak berhak memintanya untuk memahami situasinya, situasiku. Kuakui aku memang bodoh dan sembrono sebelumnya, namun aku akan berusaha memperbaikinya. Aku tidak ingin dia berpikir cintanya bertepuk sebelah tangan.”“Setelah semua yang kau lakukan, kau sungguh berharap dia masih akan mencintaimu? Kalau aku jadi dia, aku tidak akan pernah mau melihat wajahmu lagi seumur hidup.”“Sayangnya kau bukan dia,” Kai menyeringai.&ldqu
“Kau tahu maksudku, Louise. Itu sebabnya kau menyembunyikannya dariku,” Lana menatap Louise tajam.Matanya seperti mengandung peluru yang siap ditembakkan tepat ke arah Louise, membuat pria itu tidak bisa lagi berpaling apalagi menghindar.“Pantas saja kau sangat yakin kalau tidak terjadi apa pun di antara kita semalam. Ternyata karena dia pelakunya,” Lana tertawa getir.“Lana, aku juga baru—”“Jangan membelanya lagi. Akui saja kalau adikmu itu memang brengsek,” kali ini, sorot mata Lana melembut, namun hal itu justru menakuti Louise.Matanya menerawang jauh ke depan, namun Louise tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu di kepalanya.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Louise penasaran.“Kalau dia memang tidak menginginkanku, untuk apa lagi aku mengejarnya,” kata-kata Lana menjadi tajam, membuat Louise seketika melotot, tidak menyangka L
“Argh!” teriak Lana sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.“Tuan putri? Bangun, tuan putri. Lana!”“Tolong, pengawal!” seruan Layla menimbulkan kegaduhan pagi itu.Para pengawal dan juga Victor muncul di sana, dan mendapati Lana yang tengah tergeletak tak sadarkan diri di depan kamarnya.“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Victor pada Layla.Gadis itu menggeleng sebelum melepaskan tubuh Lana untuk diangkat dan digendong menuju ranjang.“Saya tidak tahu, tuan putri sudah seperti ini saat saya datang,” jawab Layla akhirnya.Layla tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya saat melihat wajah pucat Lana yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur. Dengan cekatan dirinya mengambil baskom dari tangan seorang maid lain dan membawanya ke nakas di sisi Lana, lalu perlahan mengompres kening Lana yang terasa panas.“Mungkin dia kelelahan,” lanjut Victor sebelum pergi untuk memberitahu sang raja tentang keadaan Lana.***“Apa yang terjadi? Dia kenapa?” tanya Raja Alastor pada Elsie Maverik
“Lana, aku berani bersumpah tidak melakukan apa pun. Semalam aku memang mabuk, tapi kupastikan kalau kita tidak melakukan seperti apa yang kau pikirkan,” Louise mengangkat untuk menenangkan Lana.“Jangan sentuh aku! Nyatanya sekarang kita berada di sini, di ranjang yang sama, dan dalam keadaan yang… astaga apa yang sudah kau lakukan, Louise!” teriakan frustasi Lana menggema ke seluruh ruangan.“Sekarang aku harus bagaimana? Kehormatanku—” Lana menutup wajahnya, menangis.Louise mengulurkan tangan untuk menyentuh gadis itu, namun kemudian mengurungkan niatnya. Dia lalu meraih ponselnya di atas nakas di samping ranjang untuk menghubungi seseorang.“Halo” suara Julian terdengar di seberang telepon.“Kau di mana?” tanya Louise.“Aku di istana, sedang siap-siap ke akademi. Ada apa?”“Semalam kau pulang pukul berapa?”“Sekitar pukul sebelas, Kai menyuruhku pulang lebih dulu karena katanya ada yang ingin dia bahas denganmu.”‘Sepertinya ini memang disengaja,’ batin Louise kesal.“Baiklah, te