“Kau menghilang saat peperangan besar yang terjadi 19 tahun silam, lalu kami berdua tanpa sengaja menemukanmu dan merawatmu hingga sekarang,” jelas ibunya.
“Kami sungguh-sungguh tidak tahu kalau kau sebenarnya adalah cucu raja yang hilang. Maafkan kami, Lana. Karena telah merahasiakan hal ini selama bertahun-tahun darimu.” Wajah mereka tampak lesu, seperti tidak memiliki gairah hidup. “Ayo, ibu akan membantumu berkemas.” Lana tidak tahu harus bereaksi seperti apa, bahkan saat ibunya keluar dari kamarnya dengan membawa dua koper besar miliknya pun, Lana masih belum beranjak dari posisinya. “Jangan biarkan mereka menunggu lama,” ibunya menarik lengan Lana dan membawanya keluar untuk menemui pria paruh baya itu. “Lalu bagaimana dengan kalian?” tidak ada jawaban, kedua orang tuanya hanya tersenyum kecil, namun Lana bisa melihat kesedihan di mata mereka. Pria itu dan beberapa yang lainnya masih menunggunya di depan rumah. “Tuan putri, silakan.” Dia membuka salah satu pintu mobil dan mempersilakan Lana untuk masuk. Lana mengabaikannya dan memilih untuk merengek pada orang tuanya. Benar-benar berharap hal ini hanya mimpi semata. Dia bahkan menepuk kedua pipinya beberapa kali untuk memastikan. *** Lana memandangi istana Kerajaan Estrela yang begitu besar dan megah. Dengan pilar-pilar berwarna emas yang menjulang tinggi, bersahutan dengan atap baja di atasnya. Setiap ukiran tembok yang Lana lihat, menciptakan keindahan di setiap sudutnya. Untuk sesaat Lana terdiam, matanya seperti sedang dimanjakan oleh berbagai hal di sekitarnya. Dan hal pertama yang dilihatnya saat Lana memasuki istana adalah, Raja Alastor yang tampak tenang duduk di singgahsananya. Pria itu menarik napas panjang sembari mengetukkan jarinya beberapa kali ke sisi kursi kebesarannya. Kemudian senyum lebar terukir di wajah tegasnya saat Lana mengangkat wajah untuk menatapnya. Itu adalah pertemuan pertama mereka setelah 19 tahun lamanya. “Sangat mirip.” “Dia terlihat seperti kembarannya!” Seruan kebahagiaan itu menggema ke seluruh ruangan. Lana mundur satu langkah saat Raja Alastor berjalan mendekatinya sembari merentangkan kedua tangan. Bersiap untuk memeluknya. “Apa yang mulia yakin tidak ingin menyelidikanya lebih lanjut?” Belum sampai pria tua itu melakukan niatnya, langkahnya lebih dulu terhenti oleh pertanyaan Lana. “Aku mungkin bukanlah orang yang anda maksud,” lanjutnya. “Kau adalah Lucia. Lucia Klaine. Cucuku, satu-satunya pewaris Kerajaan Estrela. Tidak salah lagi.” Lana menelan salivanya susah payah. Masih berusaha menyadarkan diri sendiri kalau ini semua memang kenyataan. ‘Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin tiba-tiba menjadi seorang tuan putri, kan?’ kenyataan ini datang secara tiba-tiba, dan Lana merasa tidak siap. Raja Alastor kemudian meminta Victor, pria yang tadi menjemput Lana, untuk menunjukkan buktinya. “Tanda bintang di punggung sebelah kirimu. Di dunia ini, hanya kau yang memilikinya. Dan juga, helaian rambutmu yang kami dapatkan saat audisi. Kami menggunakannya untuk melakukan tes DNA.” Lana mengingat-ingat lagi kejadian pagi tadi. Saat orang-orang dari kerajaan memintanya untuk melepaskan pakaiannya dengan alasan sebagai prosedur untuk menjadi abdi kerajaan. ‘Dan apa katanya tadi? Tes DNA? Secepat itu?’ Lana tidak tahu harus merasa takjub atau justru ngeri. “Tidakkah perilaku kalian ini melanggar privasiku?” protesnya. Ada kekesalan yang tertahan dalam nada bicaranya. “Kakek akan melakukan apa pun demi bisa menemukanmu.” “Kau tahu, betapa kakekmu ini sangat merindukanmu? Selama 19 tahun aku selalu menantikan hari ini. Hari di mana akhirnya aku bisa melihatmu lagi, sayangku,” lanjutnya. Melihat kesedihan dan rasa haru di wajah pria tua itu, Lana berusaha menahan diri. “Begitu ya,” kata Lana kikuk. “Kau pasti lelah, pergilah beristirahat.” “Istirahat? Apakah aku juga perlu tinggal di sini?” “Kau adalah cucu kandungku, tentu saja kau harus tinggal di sini bersama kakekmu.” “Itu…” Lana menggantung ucapannya, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menolak permintaan kakeknya. “Apa jangan-jangan kau lebih suka tinggal di rumah kecil yang hampir roboh itu?” “Itu rumah orang tuaku, meskipun sederhana dan tidak besar, tapi aku nyaman berada di sana,” Lana tidak bisa menyembunyikan kekesalannya saat Raja Alastor membahas tentang tempat tinggalnya. “Terserah kau saja, tapi aku sudah menghabiskan 19 tahunku untuk mencarimu. Setelah kau kembali, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.” “Sepertinya aku memiliki pemikiran yang berdeda dengan yang mulia raja. Terima kasih atas keramahannya. Sampai jumpa lagi.” “Kau mau ke mana?” “Pulang ke rumah kecil yang hampir roboh milik orang tuaku,” jawabnya lantang, Lana bahkan tak segan mengangkat tinggi dagunnya di hadapan kakeknya. “Tunggu sebentar, mungkin kakek sedikit berlebihan. Tolong maafkan pria tua ini, oke? Tinggalah di sini setidaknya untuk beberapa hari,” ucap Raja Alastor, berusaha mencegah kepergian Lana dari istana. Lana memutar bola matanya malas, mengabaikan permintaan kakeknya dan tetap melangkah pergi sebelum suara panggilan kakeknya pada Victor menggema dengan keras. Detik berikutnya, pria itu muncul di dalam ruangan, diikuti oleh beberapa maid dan juga pengawal istana. Mereka semua berdiri membentuk lingkaran, seolah memenjarakan Lana, mencegahnya untuk tidak pergi. “Tuan putri, mohon tetap tinggal di sini,” setelah mengatakan kalimat itu, Victor menunduk penuh hormat. Lana berbalik untuk melihat kakeknya sebelum berbicara lagi. “Baiklah, aku akan tinggal di sini.” “Luciaku memang anak yang baik,” pria itu tersenyum puas. “Satu hal lagi, bisakah yang mulia berhenti memanggilku Lucia? Namaku Lana, dan aku tidak terbiasa dipanggil dengan nama selain itu.” Kakeknya tampak terkejut, namun kemudian berhasil menguasai diri dan tersenyum. “Sesuai keinginanmu, Lucia.” Lana melotot saat kakeknya lagi-lagi salah memanggil namanya. “Maksudku, Lana. Alana.” “Tapi tetap saja, nama belakangmu adalah Klaine. Karena kau adalah satu-satunya cucuku yang sah,” lanjutnya. “Setuju.” “Dan kau… panggil aku kakek mulai sekarang,” lanjutnya. Selanjutnya dia menginstruksikan pada Victor untuk mengantar Lana ke kamarnya. Lana menurut dan tidak mencoba bertanya lagi. Dirinya benar-benar lelah dan butuh waktu untuk mencerna semua kejadian hari ini. Namun sebelum mereka mencapai kamar, langkah Lana lebih dulu terhenti saat seorang pria muda yang tampan dan tampak misterius muncul di hadapannya. Pria itu juga terlihat—sangat pucat. Lana tidak tahu dia datang dari mana, namun sepertinya pria itu sedang menuju ke arahnya. Lana pun memutuskan untuk diam dan menunggu. Saat sudah berdiri berhadapan, pria itu menatap Lana dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Tatapannya penuh kecurigaan, dan Lana bersumpah, dia melihat senyuman menghina muncul dari sudut bibir pria itu. “Kau siapa?” Lana tidak bisa menyembunyikan keingintahuannya. “Seharusnya aku yang bertanya padamu. Siapa kau?” tanyanya dingin. Matanya yang seterang gerhana bulan itu membidik tepat ke wajah Lana, seolah gadis itu adalah sasaran utama dari mata busur panahnya.Genggaman tangan Lana pada tangan Kai mengerat dan wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang sangat besar.“Sepertinya ada yang tidak beres,” lanjut Kai.“Kita akan mencari tahu setelah Lana lebih tenang,” jawab Louise.“Tidak perlu.”Lana menarik diri dari pelukan Kai, menghapus air matanya kasar, lalu berdiri tegak dengan dagu terangkat.“Kalau memang aku bukan siapa-siapa, tidak ada alasan lagi untuk tetap berada di sini,” tegasnya.“Lana.”“Tidak boleh.”“Kau tidak akan pergi ke mana pun. Tanpa seijinku,” suara Kai terdengar lebih tegas dan dominan, membuat Lana mau tak mau menoleh ke arah pria itu.“Untuk apa? Untuk dipermalukan?”“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” tatapan Kai berubah teduh.“Aku lelah.”“Aku tahu. Kau hanya perlu beristirahat, dan besok—““Kebetulan kalian berkumpul di sini. Saya sengaja membawa tuan putri menemui kalian semua agar dia bisa memperkenalkan diri,” suara Victor menginterupsi mereka
Lana menatap kakeknya yang sedari tadi duduk diam di kursinya, pria tua itu tidak mengatakan apa pun. Namun sikap diamnya itu justru membuat Lana semakin berpikir kalau semua ini memang benar. Sang raja bahkan tidak sekali pun melihat ke arahnya saat Victor mengatakan semua kebenarannya tadi. “Kakek…” suara Lana lirih dan hampir tak terdengar. Sebutir air matanya berhasil lolos melewati rahangnya, namun Raja Alastor tetap tidak bergerak, melirik pun tidak. Lana merasakan sakit menusuk hatinya, rasanya seperti dia baru saja dicabik-cabik oleh pedang panjang di tengah peperangan. “Tidak mungkin… tidak mungkin!” Lana mundur dan berlari menjauh sambil sesekali mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir. Hatinya hancur dan jiwanya rapuh, sekarang ini dia hanya ingin sendiri. “Lana,” suara Kai terdengar panik dan pria itu berusaha mengejar kekasihnya, mengabaikan lirikan tajam sang raja yang diarahkan padanya.
“Ya, Tuan Putri Mindy Moon dari kerajaan Kalistar.”“Kerajaan Kalistar?” tanya Lana lagi, sejujurnya dia merasa asing dengan nama kerajaan itu.“Memang bukan sebuah kerajaan besar seperti Estrela, namun Raja Alastor berteman cukup baik dengan pemimpin kami,” lanjut maid itu menjelaskan.“Oh begitu, ya. Mungkin aku hanya kurang familier saja karena tidak pernah bertemu dia sebelumnya.”“Saat ini Tuan Putri Mindy sedang mewakili kedua orang tuanya untuk memberikan penghormatan terakhir pada putra perdana menteri Estrela.”Lana tersenyum mengerti, “Pergilah.”Maid itu tersenyum lalu undur diri dari hadapan Lana dan Layla.“Dari penampilannya memang terlihat seperti bangsawan sekali, ternyata memang seorang tuan putri, sama sepertimu.”“Hm—ya,” Lana mengedikkan bahu acuh.Untuk point Layla yang memuji Mindy cantik itu memang benar. Gadis itu cantik dengan kulit putih gading dan garis hidung yang menonjol, belum lagi pinggang super kecilnya yang membua
Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Lana bergerak ke arah River yang sudah sekarat. Pria itu bahkan harus bersusah payah untuk membuka matanya dan melihat Lana. “Aku senang kau baik-baik saja,” ucapnya parau sembari mencoba tersenyum. “Diamlah, jangan berbicara lagi.” Lana meletakkan kepala River di kakinya, matanya tidak bisa berhenti menangisi keadaan River saat ini. “Aku punya satu permintaan,” Kai mengernyit, ucapan River kali ini jelas ditunjukkan padanya. “Apa?” “Aku tidak ingin menjadi monster.” “Apa maksudmu?” tanya Lana bingung. “Kau tahu apa maksudku,” lagi-lagi River mengabaikan Lana dan tetap kekeuh menatap Kai. “Kau bisa mati,” lanjut Kai. “Aku tahu. Dan aku lebih baik mati sebagai manusia daripada harus hidup sebagai monster.” “Kau yakin?” “Ya. Hanya kau yang bisa melakukannya sekarang.” “Apa maksudnya? Sebenarnya ada apa ini?” Lana menatap Kai dan River bergantian. Percakapan mereka itu seperti hanya mereka saja yang tahu apa maksudnya. “Aku
“Memang benar keturunan Estrela. Kau bahkan sama sekali tidak takut terhadapku. Dan malah menawarkan darahmu?”“Cih.”“Kalau saja kau tidak membunuh salah satu orang terbaikku.”Lana mengerutkan kening sejenak, lalu menyipitkan mata setelah memahami sesuatu.“Henry?”“Tepat sekali.”“Itu karena dia bodoh. Dan kau tentu lebih bodoh lagi karena memercayainya.”“Kau meragukan penilaianku?” rahang Jarek mengeras, terlihat pria itu tidak suka mendengar kata-kata Lana.“Ya.”Bukannya marah, Jarek malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri karena gagal membuat Lana takut.Keberanian gadis itu tidak perlu diragukan lagi. Mungkin selain karena dia adalah seorang pewaris Estrela, Lana juga adalah tunangan Kai?‘Tidak. Tidak. Lebih tepatnya, karena dia keturunan Halvard Frost!’ koreksinya dalam hati.Seperti yang dia tahu, tak ada satu pun dari Klan Frost yang takut pada apa pun. Mereka terkenal kuat dan pemberani. Jarek telah hidup lebih lama dan dia jelas tahu tentang karakteristi
“Jarek.” “Apa?” “Dia ada di sana tadi. Sepertinya juga dia yang sudah membebaskan Yael dari menara paviliun.” “Brengsek,” Kai berlari ke menara, dia perlu memastikan sendiri kalau Yael benar-benar tidak ada di sana. ‘Bagaimana ini, Jarek tahu aku sedang hamil dan sekarang dia membawa pergi Yael. Apa yang akan terjadi setelah ini,’ batinnya. Lana meremas gaun di sisi tubuhnya, tubuhnya bergetar karena Jarek sudah terang-terangan menunjukkan dirinya di Estrela. Dia bahkan mengancam Lana dan membebaskan seorang tahanan. “Tuan putri, kau baik-baik saja?” tubuh Lana nyaris ambruk kalau saja Layla tidak segera menopangnya dari belakang. “Aku ingin pulang dan beristirahat,” ucapnya pelan. Layla mengangguk tanpa banyak bertanya lagi. Dia tahu Lana sedang syok saat ini, wajahnya pucat dan pandangannya tidak fokus, terlebih lagi dirinya sedang hamil. “Pastikan tidak ada seorang pun masuk ke kamarku setelah ini.” Layla mengangguk. Dia segera membawanya kembali ke istana sebe