MasukRaya duduk di dalam mobil merah miliknya. Ia menatap gedung rumah sakit dari kejauhan. Matanya menyipit melihat sosok Arsen keluar dari pintu utama."Arsen.... Kamu benar-benar berada di kota ini?" gumamnya dengan satu tangan yang mengepal kuat, menahan emosi serta rasa cemburu yang menyelimuti dirinya. Berkali-kali ia menghubungi Arsen, namun laki-laki itu sama sekali tidak memperdulikannya. Bahkan ketika Raya berada di rumah sakit, dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan Arsen. Laki-laki itu seperti hantu, menghilang jika dirinya berada di rumah sakit. "Aku harus menemuinya sekarang," lirih Raya, kemudian ia membuk pintu, lalu melangkah menghampiri Arsen dengan terburu-buru. Raut wajahnya gadis itu langsung berubah, senyuman manis mengembang sempurna dari sudut bibirnya. "Arsen!!!" panggil Raya membuat Arsen langsung menghentikan langkah kakinya. Arsen menoleh, ia menatap dingin wanita yang kini sedang tersenyum manis pada dirinya. "Arsen... Aku senang, karena akhrinya aku
"Kau hanya masa lalunya, kau tidak pantas untuk dia pilih," Leo kembali mengucapkan kalimat yang membuat emosi dalam diri Arsen semakin membuncah. Namun sebisa mungkin laki-laki itu menahan emosinya. "Tapi aku mencintanya. Di masa lalu, maupun di masa sekarang!" tegas Arsen setelah beberapa saat ia terdiam, meredakan emosinya. "Tapi... Aku tidak akan egois, jika dia mengingat semuanya dan tetap memilihmu, maka aku akan melepaskannya, meskipun itu sangat berat." Arsen menarik nafasnya, lalu berkata lagi. "Tetapi, jika dia memilihku, maka aku akan mempertahankannya, meskipun taruhannya nyawa, aku akan tetap mempertahankannya."Arsen melirik Clarissa, lalu menatap Leo lagi, tatapan matanya sangat tajam sama seperti Leo. "Aku sudah pernah kehilangannya selama beberapa tahun. Kali ini aku tidak ingin kehilangannya lagi. Selama dia memilihku, maka aku akan memperjuangkannya." Katanya lagi dengan tegas.Leo terkekeh mendengar ucapan laki-laki di hadapannya itu. Dia merasa lucu, karena bagi
"Aku sudah mendapatkan informasi tentang Clarissa." Kata Dion di seberang telpon sana. Leo menghela nafasnya kasar, dia berdiri di dekat jendela rumah sakit. Matanya menatap langit yang terlihat cerah, namun tidak dengan hatinya yang selalu di selimuti oleh kekhawatiran. "Katakan!" Leo tidak sabar ingin mendengar semua informasi tentang kekasihnya, sebelum sang kekasih kehilangan ingatannya. "Clarissa Anindya Albert. Berusia dua puluh lima tahun. Putri satu-satunya keluarga Albert. Tinggal di kota X bersama kedua orangtuanya. Dia juga memiliki seorang sahabat bernama Raya Veronica. Menurut informasi, saat Clarissa kecil, ia terjebak dalam kebakaran yang terjadi di Villa milik keluarganya. Ketika semuanya pasrah pada keadaan, tiba-tiba saja seorang gadis kecil menerobos masuk dan membawa Clarissa keluar dari kebakaran itu. Dan gadis kecil yang menyelamatkan Clarissa adalah, Raya." Dion menjeda ucapannya sejenak, dia terdengar menarik nafasnya, lalu kembali bersuara. "Sejak saat itu
Raya meraih ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat.‘Kita harus mempercepat rencana. Dia mulai mengingat.’Pesan itu terkirim.Raya menghela napas panjang, lalu keluar dari kamar mandi dengan ekspresi yang sudah kembali lembut, topeng sempurna yang selama ini ia kenakan.Kembali ke ruang rawat.Clarissa terlihat semakin pucat. Alat monitor jantungnya mulai berbunyi lebih cepat.Leo langsung panik. "Panggil dokter. Sekarang."Mery bangkit dengan tergesa-gesa, namun Clarissa justru menarik tangan Leo dengan sisa tenaganya."Leo…" panggilnya lirih. "Aku melihat wajah seseorang… saat kecelakaan mobil itu."Leo langsung membeku di tempatnya. Sepertinya itu kecelakaan yang membuat Clarissa kehilangan ingatannya. "Seorang perempuan," lanjut Clarissa. "Dia tersenyum padaku. Bukan senyum baik… tapi senyum yang membuatku merinding.""Baby," suara Leo serak. "Aku janji, aku akan melindungimu. Siapapun orang itu… aku tidak akan membiarkannya menyentuhmu lagi."Clarissa tersenyum kecil, lema
Siang harinya... Clarissa mulai sadar kembali. Kali ini, kepalanya tidak terlalu berat. Namun rasa sakit di dadanya justru semakin nyata.Ia membuka mata dan langsung melihat wajah Mery yang tertidur di kursi samping ranjang, menggenggam tangannya erat seolah takut Clarissa menghilang.Hatinya mencelos.."Kenapa… aku merasa sangat dekat denganmu?" gumam Clarissa pelan.Leo duduk di sisi lain. Ia terbangun saat mendengar suara itu. "Kamu sudah bangun, baby?"Clarissa mengangguk. Matanya beralih pada Leo, lalu kembali pada Mery."Leo…" suaranya terdengar lirih. "Aku ingin tahu… siapa mereka sebenarnya."Kalimat itu menghantam Leo tepat di dada. Namun meskipun begitu, Leo tetap mengatakan hal yang sebenarnya. Sebelum mengatakannya, Leo menarik napasnya panjang. "Mereka orang tuamu. Keluarga kandungmu."Clarissa menelan ludah. Matanya kembali menatap ke arah Leo. "A-aku… dulu hidup bersama mereka?""Ya, sebelum ingatanmu hilang." Leo menghela nafasnya kasar, ia menatap Clarissa, lalu be
Pagi menjelang.Clarissa kembali tertidur setelah dokter memberikan obat penenang ringan. Leo duduk di samping ranjang, memandangi wajah gadis itu tanpa berkedip.Pintu terdengar di ketuk pelan oleh seseorang "Masuk," perintah Leo tanpa menoleh.Seorang perawat muncul dari balik pintu. "Tuan Leo, ada keluarga yang ingin menjenguk pasien. Mereka mengaku orang tua kandungnya."Kalimat itu membuat Leo berdiri mendadak. Dia menoleh dan menatap perawat tersebut. "Orang tua… kandung?" ulangnya memastikan. "Benar, tuan." Jawab perawat itu pasti. Belum sempat Leo berkata apa-apa lagi, pintu ruangan itu sudah terbuka lebih lebar.Mery berdiri di ambang pintu.Begitu melihat wajah Clarissa, tubuhnya langsung gemetar hebat. Air mata langsung jatuh tanpa bisa ia tahan."Assa…" suaranya memecah keheningan. "Anakku…"Leo langsung membeku di tempatnya, tatapan matanya tertuju pada Merry dan juga Ronald. Ronald melangkah mendekat, ekspresinya penuh emosi yang tertahan. "Kami hanya ingin melihatny







