Share

Bagaimana Jika Aku Mati Saja ?

Dengan gerakan yang kasar, pria yang di panggil bapak oleh anak-anaknya itu mendorong tubuh puteri sulungnya hingga terjatuh. Mbok Giyem dan Yuvati tersentak kaget. Sementara Malini yang masih lemah berusaha untuk membela anaknya.

Terhuyung-huyung ia menuju dapur, mengambil sapu dan memukuli Prabawa dengan membabi buta.

"Pergi! Pergi kamu, Mas! Jangan pernah pulang kembali! Anak-anak ndak butuh kamu!"

Kanaya terisak, pun demikian dengan Suma. Walau rindu akan kehadiran bapaknya mereka tak ingin memelas minta dipeluk. Mungkin mereka paham dan sudah terlanjur benci, walau Malini tidak pernah mengajarkan untuk itu.

Kanaya, Suma dan Malini berpelukan sementara Prabawa yang dipukuli tak tinggal diam. Ia masuk ke kamar. Membuka lemari dengan kasar dan mencoba mengobrak-abrik isi lemari. Mungkin mencari sesuatu yang masih berharga di dalam kamar dingin itu.

Adegan tak menyenangkan itu bagai tontonan menyedihkan di maya Yuvati, Mbok Giyem dan Hartoyo. Namun, ketiganya tak bisa berbuat apa-apa. Walau sesungguhnya mereka sangat ingin.

"Sudah Mas! Sudah! Ndak ada apa-apa lagi di sana! Kamu lupa? Semua sudah kamu jual!"

"Diam kau Malini! Aku tahu pasti ada sesuatu di sini. Ingatanku belum buruk!"

Tak puas mengobrak abrik kamar, Prabawa menuju dapur. Membuka lemari makan sederhana di sudut ruangan lalu Melempar piring karena tak juga menemukan sesuatu yang ia inginkan.

Suara barang-barang yang pecah, tangisan Kanaya dan Suma, serta kalimat-kalimat peleraian dari Hartoyo, Mbok Giyem dan Yuvati terdengar hingga ke depan.

Suhita, ibu dari Prabawa yang baru saja pulang dari rumah saudaranya merasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu?

Belum sempat masuk ke rumah anak sulungnya, wanita tua yang amat suka berdandan dan dipenuhi perhiasan itu langsung menuju rumah Prabawa.

Melihat ibu mertua yang seperti akan ke medan tempur, Walimah tak tinggal diam. Bukan akan menjadi air hujan yang menyejukkan. Ia datang sebagai angin dan bara yang membuat perang akan semakin berkobar.

Bergegas ia mensejajarkan langkahnya dengan Suhita. Senyumnya mengembang laksana akan mendapatkan harta warisan dalam jumlah yang sangat besar.

Beberapa menit berjalan. Suhita dan Walimah tiba di sebuah rumah berukuran enam kali tiga puluh meter. Pintu terbuka lebar membuat semuanya terdengar semakin jelas.

Pemandangan yang ada di hadapan Suhita bukan membuat jiwa welas asihnya muncul tiba-tiba. Ia malah memukuli bahu Malini dan mencaci maki.

"Isteri tidak tahu diri! Suami pulang bukannya di sambut malah marah-marah dan meraung tak jelas. Dasar wanita ga bisa ngurus suami dengan baik!" hardik Suhita tanpa henti.

Yuvati dan Mbok Giyem menggelengkan kepala pelan. Memang tak seharusnya mereka melihat kejadian yang seharusnya tak mereka lihat. Mau pulang tapi bagaimana? Tak ada jeda dan kesempatan untuk Yuvati berbicara dan berpamitan.

"Tapi, Bu ... Mas Prabawa ituuu ...." Malini tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia menangis ketika sebuah tamparan mendarat keras di wajahnya.

"Sund*l! Kalau becus mengurus suami. Ga mungkin dia mau cari yang lain di luar! Letek! Ga bisa ngurus diri. Kamu ngapain aja di rumah,hah?"

Suhita berang menjambak rambut Malini dengan sekuat tenaga. Sementara Walimah menyemangati bukan melerai.

"Maaf, Bu! Bu Suhita. Berhentilah! Tolong hentikan! Apa yang ibu lihat tak seperti yang ibu bayangkan!" pinta Yuvati mencoba untuk melerai. Ia menarik bahu ibu Prabawa itu pelan. Sementara Mbok Giyem menjauhkan Malini dari cakaran dan jambakan.

"Kamu siapa? Kenapa kamu ikut-ikutan? Bukan urusan kamu! Menantu saya ini memang ga bisa dididik. Memang begitu kalau gadis miskin dari desa yang tahunya datang menikahi keluarga kaya. Hanya perlu uang dan hartanya saja. Mengurusnya tidak mau!"

"Saya ... Saya memang orang luar, Bu Suhita. Tapi ...."

"Pergi! Ini bukan urusan kamu!"

"Sudahlah, Ndoro puteri. Kita pulang saja," bisik Mbok Giyem.

"Baik. Saya akan pergi Bu Suhita. Asal ibu berjanji tidak akan memukuli Malini lagi! Kalau ibu tetap meneruskan. Saya berjanji akan mengadukan hal ini kepada perangkat desa!" gertak Yuvati.

"Ciiih ... Perangkat desa? Kamu pikir kamu siapa?"

Walimah berbisik kepada Suhati. Kalimat yang disampaikan mungkin bisa meredakan sedikit amarah. Mata tajam dengan celak berwarna gelap tak lagi membeliak seperti tadi.

Malini masih menangis memeluk kedua anaknya. Saat Yuvati berpamitan, pulang. Ia sempat berkata dengan tegas kepada Prabawa agar mengembalikan uang yang dirampasnya tadi.

"Ingat Prabawa! Kau harus mengembalikan uang tadi. Uang hasil jualan istrimu! Bukan pria yang terhormat dan gagah, jika merampas dari tangan perempuan yang tak berdaya!"

Yuvati menatap Prabawa dengan tatapan mata yang tajam. Lalu memandangi Suma yang tersedu-sedu. Sungguh ia merasa tak tega.

"Malini, saya pulang dulu. Jika ada sesuatu. Jangan sungkan untuk datang ke rumah dan mengadukan segala sesuatunya kepada saya!"

"Inggih, Bu Yuvati ...." jawab Malini pelan.

"Jangan main tangan lagi, Prabawa. Bu Suhita. Perkataan saya tadi tidak main-main. Suami saya banyak berkenalan dengan orang-orang penting!"

Mbok Giyem menarik lengan Yuvati perlahan. Padahal majikannya itu belum lega menyampaikan segala unek-uneknya. Sampai di dalam mobil berulang kali wanita itu mendengkus kesal.

"Hmmm ... Isteri Mas Chandrakanta ada empat. Tapi tak satupun dari kami pernah mendapatkan perlakuan yang kasar. Malang sekali nasib Malini ...." ucapnya gamang.

Sepulangnya Yuvati, Mbok Giyem dan Hartoyo dari rumah itu tidak membuat Suhati dan Prabawa menghentikan kelakuan buruknya. Mereka masih saja menunjuk-nunjuk wajah Malini. Kali ini hanya Kanaya dan Suma yang menjadi pelindungnya.

Tubuhnya yang lemah membuatnya tak bisa melawan banyak. Ditambah lagi karena banyak pikiran dan kurang makan. Malini lesu. Tak bisa berpikir dengan baik.

Kedua anaknya menangis melihat Malini yang diam membisu. Matanya kosong menatap ke arah pintu depan.

Melihat musuhnya tak berdaya, Suhita amat sangat puas. Ia mengajak Prabawa pulang ke rumah dan berjani akan mengobati luka di wajah dan ujung bibirnya.

"Aduh ... Aduh ... Anak kesayangan ibu jadi begini. Kita pulang saja, Nak. Jangan ke sini lagi. Memang benarlah wanita ini tidak bisa mengurus suaminya dengan baik!"

Walimah tersenyum licik. Ia merasa senang atas penderitaan yang di hadapi Malini dan kedua anaknya. Tak ada rasa belas kasihan sedikitpun. Mungkin hatinya sudah berubah warna. Atau mungkin sudah tergadai oleh sesuatu yang dianggapnya lebih berharga.

"Bu ... Ibu ...." Kanaya memanggil Malini yang masih menangis tanpa suara. Air matanya mengalir deras.

"Bu ...." peluk Suma dengan erat. Anak laki-laki baik itu menciumi wajah ibunya yang penuh dengan air mata.

"Ibu ... Bapak jahat sama ibu, ya ...." bisik Suma lagi. Malini belum menggubris.

Kanaya mengguncang bahu Malini pelan. Memeluk dari belakang dan mencoba memberi penguatan.

"Bu. Ibu wanita yang hebat. Kanaya bangga menjadi anak ibu. Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan ke pasar? Atau ibu mau pergi ke mana? Biar Kanaya dan Suma antarkan!"

Malini masih termenung. Mungkin memikirkan mati hari ini akan lebih baik. Tak akan lagi ada kesusahan dan kepahitan hati yang akan mendera jiwa dan raganya.

"Su-sungai .... Ibu mau ke sungai ...." lirih bibir pecah dan pucat itu berucap.

Kanaya dan Suma saling pandang. Lalu mengangguk. "Iya kita jalan-jalan ke sungai ya, Bu! Tapi ibu sarapan dulu.

Tangan kecil milik Kanaya lincah membuatkan makanan untuk ibunya. Ia lupa bahwa tadi ketika memasak beras menjadi tertunda karena kedatangan Yuvati. Namun, gadis itu tersenyum puas. Ketika berhasil menyelamatkan beberapa lembar uang yang dirampas bapaknya lalu terjatuh di dekat kakinya.

"Aku bisa belanja sedikit hari ini. Untung tidak semua uang bisa diambil bapak. Kasihan ibu ...." gumamnya pelan.

Kanaya membuat telur dadar. Ia melihat jam besar tua di ruang tengah. Sudah jam tujuh pagi. Waktunya untuk bersekolah. Tapi ibu dan adiknya lebih membutuhkan kehadirannya saat ini.

"Bu. Maaf. Tadi Kanaya belum selesai memasak nasi. Jadi ibu dan Suma makan telur dadar dulu, ya."

Malini mengangguk. Air matanya belum berhenti. Benaknya membayangkan dirinya ketika kecil berada dalam pelukan orang tuanya. Ia merindukan hal itu.

Meninggalkan satu suapan, Kanaya berlari mendekati termos air panas berkilat. Menuang air dalam mangkuk lalu memberi sedikit garam.

"Biar Suma saja, Mbak ...."

Anak laki-laki itu berlari ke kamar. Mengambil kausnya yang sudah kekecilan lalu merendamnya sebentar dalam mangkuk berisi air hangat dan garam lagi.

Malini mendesis sebentar merasakan hangat di ujung bibirnya yang tengah di obati Suma dengan obat ala kadarnya.

"Bagaimana jika aku mati saja? Tapi seperti apa kehidupan Suma dan Kanaya, nanti?" gumam Malini sangat pelan.

Matanya nanar. Lalu kembali menangis lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status